Saat itu jam menunjukkan 4.30 Rabu, aku menerima berita duka kematian
seorang teman yang sangat aku cintai dari lubuk hatiku yang paling
dalam. Syeikh Tamim al Adnani (ajudan Syeikh Abdullah Azzam, pemimpin
jihad Afghan kala itu) di kota San Francisco , Amerika Serikat, setelah
mengalami serangan jantung
Betapa mengagumkan kematian pria ini. Pertemuan pertamaku dengannya, dan sekaligus pertemuan terakhir, sekitar pada bulan ketika aku diundang ke sebuah perkemahan yang diselenggarakan oleh Rabithah Asy Syabab al muslim al Arabi. Saat itu dia bersama denganku menyampaikan orasi yang berjudul : Ambisi untuk akherat. Dalam ceramah tersebut ia berbicara tentang berbagai keajaiban kuasa Allah yang dialaminya sendiri di Afghanistan. Diantaranya, dia bercerita saat terjadi serangan yang dilakukan tentara komunis terhadap camp yang dijaganya, ia melihat bagaimana amunisi amunisi menyerang loteng rumah yang ditempatinya, bak hujan. Ia segera berwudhu dan naik ke atas loteng rumah sambil membawa mushaf, dengan harapan amunisi itu mengenainya sehingga ia akan mati syahid dalam keadaan membaca al Quran. Ia mengatakan ,” Amunisi amunisi itu menyerang sekitarku bak hujan, tapi tak satupun mengenai diriku sedikitpun.”
Ia tidak bisa ikut serta ke medan perang karena obesitas (kegemukan). Karena itu ia pergi ke Amerika untuk menghimpun dana bagi mujahidin, sekaligus untuk mengurangi berat badannya sehingga ia bisa diterima untuk ikut serta dalam peperangan guna meraih cita citanya yang paling mulia.
Ketika aku bertemu dengannya, ia banyak berdoa agar memperoleh syahadah ‘mati syahid’, aku mengingatnya ketika ia bersamaku saat mengantar kepulanganku. Ia berkata kepadaku,”Aku mencintaimu fillah.” Dan aku mengatakan hal yang sama. Ia meminta kepadaku agar aku berdoa supaya dirinya memperoleh syahadah dan perkara perkara mulia lainnya. Ternyata Allah mentakdirkan meninggal di Amerika, yang jauh dari asap meriam dan peluru kendali yang telah menghiasi hidupnya selama bertahun tahun.
Demikian itu ketentuan Allah. Tidak ada seorang pun yang mati pada hari di luar hari kematiannya. Dan tidak ada seorang pun yang bisa menentukan tempat kematiannya atau cara kematiannya. Hanya Allah saja yang menentukan kematian.
Kematian Khalid bin Walid, Tamim al Adnani, dan orang orang baik lainnya merupakan ibrah ‘pelajaran’ bagi para pengecut yang tidak mau terlibat di medan dakwah yang penuh berkah, karena khawatir terhadap keselamatan diri mereka, anak anak, isteri isteri, atau bisnis mereka. Seandainya mereka berada di dalam benteng yang sangat kuat sekalipun, pastilah kematian itu akan menjemput mereka. Detik detik terakhir menjelang kematiannya, Khalid bin Walid ra berkata,” Ketahuilah, mata orang orang pengecut itu tiada pernah dapat tidur”.
-Abdul Hamid Al Bilali-
Betapa mengagumkan kematian pria ini. Pertemuan pertamaku dengannya, dan sekaligus pertemuan terakhir, sekitar pada bulan ketika aku diundang ke sebuah perkemahan yang diselenggarakan oleh Rabithah Asy Syabab al muslim al Arabi. Saat itu dia bersama denganku menyampaikan orasi yang berjudul : Ambisi untuk akherat. Dalam ceramah tersebut ia berbicara tentang berbagai keajaiban kuasa Allah yang dialaminya sendiri di Afghanistan. Diantaranya, dia bercerita saat terjadi serangan yang dilakukan tentara komunis terhadap camp yang dijaganya, ia melihat bagaimana amunisi amunisi menyerang loteng rumah yang ditempatinya, bak hujan. Ia segera berwudhu dan naik ke atas loteng rumah sambil membawa mushaf, dengan harapan amunisi itu mengenainya sehingga ia akan mati syahid dalam keadaan membaca al Quran. Ia mengatakan ,” Amunisi amunisi itu menyerang sekitarku bak hujan, tapi tak satupun mengenai diriku sedikitpun.”
Ia tidak bisa ikut serta ke medan perang karena obesitas (kegemukan). Karena itu ia pergi ke Amerika untuk menghimpun dana bagi mujahidin, sekaligus untuk mengurangi berat badannya sehingga ia bisa diterima untuk ikut serta dalam peperangan guna meraih cita citanya yang paling mulia.
Ketika aku bertemu dengannya, ia banyak berdoa agar memperoleh syahadah ‘mati syahid’, aku mengingatnya ketika ia bersamaku saat mengantar kepulanganku. Ia berkata kepadaku,”Aku mencintaimu fillah.” Dan aku mengatakan hal yang sama. Ia meminta kepadaku agar aku berdoa supaya dirinya memperoleh syahadah dan perkara perkara mulia lainnya. Ternyata Allah mentakdirkan meninggal di Amerika, yang jauh dari asap meriam dan peluru kendali yang telah menghiasi hidupnya selama bertahun tahun.
Demikian itu ketentuan Allah. Tidak ada seorang pun yang mati pada hari di luar hari kematiannya. Dan tidak ada seorang pun yang bisa menentukan tempat kematiannya atau cara kematiannya. Hanya Allah saja yang menentukan kematian.
Kematian Khalid bin Walid, Tamim al Adnani, dan orang orang baik lainnya merupakan ibrah ‘pelajaran’ bagi para pengecut yang tidak mau terlibat di medan dakwah yang penuh berkah, karena khawatir terhadap keselamatan diri mereka, anak anak, isteri isteri, atau bisnis mereka. Seandainya mereka berada di dalam benteng yang sangat kuat sekalipun, pastilah kematian itu akan menjemput mereka. Detik detik terakhir menjelang kematiannya, Khalid bin Walid ra berkata,” Ketahuilah, mata orang orang pengecut itu tiada pernah dapat tidur”.
-Abdul Hamid Al Bilali-