Masjid Mevlana Konstanz Jerman

Sekitar 4.000 umat muslim bermukim di Konstanz. Hampir separuhnya merupakan generasi ke dua atau ke tiga dari pendatang Turki. Salah satunya Kurban Aras, anggota Dewan "Komunitas Muslim Turki". Ahli pembuat sepatu berusia 48 tahun itu mengenang, saat organisasinya memulai dialog dengan masyarakat Kristen dan dewan kota, sebelum mesjid dibangun tahun 2000. Mereka sama sekali tidak menghendaki munculnya rasa saling curiga. Mesjid itu bahkan dibangun dengan menara setinggi 35 meter, ketika itu yang paling tinggi di Jerman.

„Kami tinggal di sini, di Jerman. Kami warga Jerman yang baru. Dan anak-anak kami akan menetap di sini. Karena itu kami juga harus membangun mesjid baru yang bagus di sini. Untuk itu kami berbicara dengan masyarakat sekitar. Gereja-gereja juga mendukung kami," dikatakan Kurban Aras.

Sebelum mesjid dibangun, berkali-kali perhimpunan umat Muslim mengundang mayarakat yang skeptis untuk menghadiri pertemuan. Wakil umat Kristen ikut berpartisipasi dalam pembangunan dan ikut hadir dalam pesta selamatan. Dari situlah muncul kelompok kerja bagi pertemuan umat Kristen dan Islam.

10 tahun berlalu dan mesji Mevlana menjadi bagian dari panorama kota. Warga Muslim tampaknya berhasil membangun kepercayaan masyarakat kota Konstanz. Bukan hanya berpartisipasi dalam acara-acara yang dilakukan pemerintah kota, tetapi juga aktif dalam kegiatan kepemudaan. Tujuan resmi yang ingin dicapai pengurus mesjid adalah "berkontribusi bagi pemahaman yang baik antara warga Muslim dan non-Muslim, dan menawarkan peluang bagi umat Muslim untuk merasa sebagai bagian dari masyarakat kota Konstanz.

Mesjid Mevlana juga menarik perhatian warga di negara tetangga, Swiss. Dalam referendum yang digelar tahun 2009 lalu, mayoritas rakyat Swiss itu menolak pembangunan mesjid baru dengan menara. Ismail Toprak, wakil imam di mesjid Mevlana menyambut gembira fenomena baru ‚wisata menara mesjid'. Dengan bangga ia menuturkan bahwa semakin banyak warga Swiss, Muslim maupun non-Muslim yang berkunjung ke mesjid Mevlana.

Di mesjid ini, khutbah disampaikan dalam Bahasa Jerman, yang dipahami sebagian besar warga Swiss. Faktor bahasa ini juga yang merupakan nilai tambah, mengingat umat Muslim yang datang ke mesjid Mevlana berasal dari negara yang berbeda-beda, terang Toprak, yang berasal dari Turki.

"Kita di Jerman, atau di negara lain, harus menggunakan bahasa negara yang bersangkutan sebagai bahasa pertama untuk khotbah. Dan bahasa lainnya sebagai bahasa ke dua. Generasi penerus kami hanya memahami Bahasa Jerman. Kalaupun mereka mengerti Bahasa Turki, mereka tidak memahami istilah-isitlah Islam dalam Bahasa Turki," demikian papar Ismail Toprak. (Sumber: Suara-Islam)