Beberapa waktu lalu Indonesian Corruption Watch (ICW)
melaporkan menteri agama terkait dugaan korupsi Dana Abadi Umat (DAU).
Dana yang merupakan hasil efisiensi pelaksanaan ibadah haji dan
bersumber dari masyarakat tersebut diduga telah diselewengkan. Sebagian
besar orang di negeri ini mungkin tidak terkejut dengan temuan ICW itu,
bukan karena tidak perduli, tapi lebih karena menganggap temuan itu
sebagai kejadian yang biasa terjadi di lingkungan departemen agama dan
lembaga pemerintahan lainnya. Sudah tentu hal ini sangat memprihatinkan
dan merupakan salah satu permasalahan paling berat yang kita dihadapi.
Namun,
ada hikmah atau pembelajaran berharga dan menarik di balik pengungkapan
korupsi DAU yang luput dari amatan publik. Pada waktu diwawancarai oleh
salah satu stasiun televisi swasta, menteri agama merasa tidak bersalah
karena penggunaan DAU tersebut telah sesuai dengan aturan yang berlaku.
Secara tersirat, menteri tidak menampik tudingan ICW mengenai penggunaan
dana tersebut, hanya saja menganggap hal itu tidak melanggar hukum.
Menteri beralasan bahwa penggunaan DAU telah sesuai dengan peraturan
presiden dan peraturan menteri agama, dimana dalam kedua peraturan
perundang-undangan tersebut dinyatakan bahwa menteri agama memperoleh
tunjangan bulanan dari DAU yang besarannya mencapai 5 sampai 10 juta dan
berhak menggunakan DAU untuk persoalan-persoalan tertentu.
Pandangan
sang menteri merupakan gambaran umum bagaimana orang di negeri ini
menempatkan hukum. Hukum telah direduksi hanya sebatas peraturan
perundang-undangan, dipandang memiliki kedudukan tertinggi, setiap
tindakan dikatakan sah atau tidak salah jika telah sesuai atau tidak
melanggar undang-undang. Dalam struktur norma, hukum memang menempati
kedudukan tertinggi mengalahkan norma-norma lain, seperti adat dan
agama.
Sayangnya,
yang disebut hukum, sekali lagi, adalah hukum yang tertulis saja atau
peraturan perundang-undangan. Hanya jenis hukum ini yang dipercaya
memiliki kekuatan mengikat karena memang secara tegas mengatur sanksi
dan dibuat oleh lembaga negara yang berwenang. Adapun norma hukum non
tertulis dipandang tidak memiliki kekuatan hukum, sehingga bisa tidak
diindahkan.
Pangkal
dari pandangan di atas adalah teori ilmu hukum yang disebut asas
legalitas dimana semua hukum yang mengatur negara harus dalam bentuk
tertulis. Orang tidak akan dinyatakan bersalah atau boleh melakukan
suatu tindakan sebelum ada ketentuan hukumnya.
Pandangan
ini tentu saja memiliki sisi positif, karena dapat lebih menjamin
terciptanya kepastian hukum. Namun pandangan ini sering kali
disalahgunakan. Ajaran tentang supremasi hukum dengan sangat lihai
digunakan untuk menutupi suatu tindakan yang tidak terpuji. Suatu
tindakan yang sebenarnya menyalahi norma agama, misalnya, dipandang
bukan kesalahan selama tidak melanggar hukum atau ada ketentuan
hukumnya.
Dengan
kata lain, hukum atau lebih tepat undang-undang, telah dijadikan
satu-satunya dasar untuk menentukan sesuatu yang benar dan salah.
Kepercayaan berlebihan pada supremasi hukum telah membunuh kepercayaan
pada sumber-sumber kebenaran dan kebajikan lain seperti moral dan agama.
Pada
kasus DAU, terlepas dari ada atau tidak aturan yang menjadi dasar
tindakan menteri agama tersebut, dari sudut pandang awam saja aturan
yang dijadikan dasar tindakan sang menteri jelas tidak patut. DAU
merupakan dana yang berasal dari masyarakat yang seharusnya digunakan
untuk kegiatan yang berkaitan dengan ibadah haji, bukan untuk kegiatan
atau kepentingan pribadi dan atau kepentingan lain. Oleh karena berasal
dari masyarakat, seharusnya dana tersebut dikembalikan ke masyarakat
jika ada kelebihan, meski tidak ada aturan untuk mengembalikannya.
Seharusnya
sang menteri lebih terbuka dan leluasa memaknai hukum dan bersedia
mengambil kebajikan lain dari luar hukum tertulis. Bukankah dalam agama,
kita dilarang untuk memakan yang bukan hak kita? DAU secara substansial
adalah hak para jamaah haji yang diperuntukkan untuk mengurus
pelaksanaan ibadah haji.
Bertindak
tanpa adanya ketentuan hukum tertulis tidak selamanya keliru. Dalam
agama, seseorang bahkan diperbolehkan untuk melakukan tindakan yang
diharamkan, misalnya berbohong, dengan tujuan mulia dan baik.
Pandangan
di atas memang rentan dimaknai salah. Selama ini sering kita dengar
pejabat atau pelaksana pemerintahan bertindak tidak dengan aturan yang
ada. Disinilah masalah sesungguhnya, bagaimana agar sikap ‘melanggar
aturan’ tersebut digunakan untuk hal-hal yang baik, bukan untuk korupsi
seperti selama ini terjadi. Para pejabat harus berani untuk melanggar
hukum yang tidak sesuai dengan norma dan hati nurani. Toh puncak penegakan hukum berujung pada manusianya juga.
Para
pejabat dan masyarakat umumnya perlu melakukan pembenahan atau perubahan
paradigma berfikir dalam memandang hakikat supremasi hukum. Hukum
tertulis bukanlah satu-satunya standar kebajikan. Adanya tidak lantas
membunuh norma lain yang bisa jadi lebih baik. Dengan menganut supremasi
hukum tidak berarti norma lain dikesampingkan.
Disamping
itu, hukum bukanlah matematika yang punya rumus tertentu, melainkan
suatu penormaan terhadap perilaku yang sifatnya sangat fleksibel. Sangat
diperbolehkan, melakukan tindakan yang terpuji, meskipun dengan itu
melanggar ketentuan undang-undang. Lagipula tidak ada yang menjamin
bahwa produk perundang-undangan di negeri ini semuanya baik. Berapa
banyak perundang-undangan kita yang bermasalah, baik secara formil
maupun materil. Siapapun tahu jika undang-undang merupakan produk
politik yang sangat sarat kepentingan dan biasanya melindungi atau
menguntungkan pihak yang membuatnya.
Gambaran
mengenai akutnya permasalahan perundang-undangan di negeri ini dapat
dilihat dari banyaknya perkara yang masuk ke Mahkamah Konstitusi yang
meminta judicial review. Tidak jarang undang-undang yang baru
saja disahkan sudah dilaporkan karena dipandang tidak sesuai dengan UUD
1945. Keadaan yang sama, bahkan lebih parah, terjadi pada peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang, seperti peraturan presiden,
peraturan menteri sampai peraturan daerah.
Pandangan
yang me-matematika-kan hukum sudah saatnya ditinggalkan karena sudah
usang. Mengutip pendapat Satjipto Rahardjo dalam suatu kesempatan,
pandangan positivisme seperti ini muncul karena pengaruh saat dicetuskan
berabad lalu. Hans Kelsen, nabi aliran ini, sangat terpengaruh oleh
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terjadi saat itu,
sehingga hukum juga dipandang dapat menerapkan kaidah-kaidah ilmu
pengetahuan tersebut.
Hukum
sudah seharusnya dimaknai dengan bijak dan proporsional dan yang
terpenting adalah bagaimana agar penegakan hukum itu sebesar-besarnya
untuk kebutuhan masyarakat.http://agusfirman.wordpress.com/2009/05/14/arti-supremasi-hukum/