Ada Hikmah di Negeri Sakura | contoh cerpen karangan
- “Assalamu’alaikum”, ku
dengar salam suami.
“Wa’alaikumussalam”, jawabku tanpa beranjak dari meja setrika. Ah, kebiasaan jelekku di tahun kelima pernikahan. Tampak beda di kala awal-awal nikah dulu. Mendengar motornya pun, sudah berlari ke arah pintu. Mulai krisis rupanya ruhiyahku….
“Dik, sini sebentar”, berkata suamiku sambil menekan power komputer.
“Sebentar, sedikit lagi Mas, tinggal baju Dede yang belum disetrika”. Duh, bertambah lagi dosaku yang tidak segera memenuhi panggilan suami.
“Sini… Sebentar aja, penting nih”.
Kulihat sepintas di layar komputer. Oh, rupanya suami dari warnet. Tampak tampilan e-mail di komputer. Yah, suami biasanya ke warnet, hanya membuka e-mail tanpa membacanya. Kecuali beberapa e-mail penting. E-mail dari temannya dan temanku biasanya hanya di kopi, dan dibaca santai di rumah. Menghemat biaya katanya.
Kumatikan setrika, dan berjalan menghampirinya, setelah mengambil segelas air putih di meja makan. Tampak e-mail dari Prof. Seiko Taniguchi, professor Jepang yang telah tiga tahun ini sering dikontak suami, agar bersedia menjadi supervisornya. Tanpa semangat kubaca e-mail itu. Tertegun. Tak Percaya. Kaget dan entah apalagi, “... See you in Fukuoka.”, itulah kalimat terakhir yang membuat jantungku berdegup kencang. Kutengok ke belakang, ternyata suami sudah tidak di atas kursi lagi, melainkan sedang sujud syukur di tempat yang biasa kami pakai untuk shalat. Ah, rupanya tadi di warnet belum sempat sujud syukur Segera ku susul dia, sujud bersama, dengan rasa penuh syukur. Alhamdulillaah, akhirnya keinginan kita untuk melanjutkan sekolah di Negeri Sakura terpenuhi juga. Air mata berlinang, meluapkan rasa gembira yang tak terkira. Alhamdulillaah, syukurku tak henti-hentinya.
Dua bulan setelah pengumuman itu, berpamitan dengan tetangga, teman dan saudara, akhirnya kutinggalkan tanah air demi sebuah tujuan dan harapan yang kami bangun semenjak ada cita-cita melanjutkan sekolah di luar negeri.
Kupandangi sesaat, sebelum kutinggalkan rumah sangat sederhana, tipe 21, luas 75m persegi yang belum selesai dibangun. Tersenyum, mengingat kata anak tetangga, “Masak rumah seperti ini mau ditempati to, wong belum jadi kok”, bahasa Indonesia medok Jawa khas Semarang. “Ah, insya Allah nanti kan berubah…”, ups! Tak kulanjutkan khayalanku. Astaghfirullaah.
***
Jepang, akhirnya kita sekeluarga bisa berkumpul di negeri ini. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Setelah melihat kondisi dan keadaan di Jepang, ternyata tak semua cita-cita dan impianku terlaksana. Impian ingin melanjutkan sekolah lagi, kandas di jalan. Mengingat susahnya mencari beasiswa di sini. Sekolah dengan biaya sendiri, rasanya tidak mungkin. Akhirnya, ku semangat belajar nihonggo, aku ingin menguasai bahasanya. Namun, itu pun hanya semangat sesaat yang tak mampu kupertahankan, melihat sangat susahnya nihonggo, kursus yang hanya setengah-setengah, karena memang hanya kursus gratisan, dan bila ingin kursus yang benar-benar kursus, biaya juga tak terjangkau, akhirnya aku pun menyerah juga. Aku bukan tipe orang yang bisa belajar sendiri.
Terkadang terbersit keinginan untuk bekerja, mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Kendala bahasa menjadi hambatan utama. Kalau dihitung-hitung pun jatuhnya tak seberapa, kebijakan-kebijakan Jepang di sini. Semakin besar pendapatan, pajak yang dikenakan juga semakin tinggi, baik itu asuransi kesehatan, biaya sekolah anak, sewa rumah, akhirnya uang yang tersisa tak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan. Sedangkan bila aku tak bekerja, suami yang gakusei di hitung zero penghasilan, dan hampir semua kebutuhan hidup di subsidi, mulai sekolah anak gratis, sewa rumah murah serta asuransi kesehatan murah.
Tidak hanya aku yang ingin bekerja, ibu pun sempat berpesan, supaya memanfaatkan waktu sebaik mungkin selama di Jepang, baik sekolah ataupun bekerja, dan hampir semua saudara-saudara mempunyai harapan yang sama.
Aku teringat Bu De, ketika menghaturkan sebuah amplop putih saat Pak De meninggal, “An, kamu sudah kerja?”, katanya serasa tidak enak menerima uang bukan hasil keringatku sendiri.
“Duh, Bu De, uangku dan uang suami kan sama saja...”, pikirku tanpa berani mengatakan langsung. Hanya jawaban, “Belum Bu De, nyuwun pangestunipun kemawon”, jawabku dengan mata memerah.
Teringat lagi aku, saat-saat kuliah dulu. Jarak yang begitu jauh, menyebabkan aku pulang setengah tahun sekali, saat libur semester. Tiap kali main ke sana, selalu pulangnya diambilkan uang dari stagennya, sambil memelukku beliau bilang, “An, jangan dilihat besarnya ini hanya tondo tresno ya...” Aku pun terharu menerimanya. Yach, apalah artinya uang seribu dua ribu di tahun 1998-an, setelah krisis. Mungkin hanya sebungkus nasi rames di warung dekat kostku.
***
“BUZZZ!”, terdengar dari komputer ada yang memanggil.
Ah, rupanya temanku di nun jauh di pulau sana di Jepang ini. Teman yang hanya bertemu di dunia maya, namun begitu dekat di hati ini. Alhamdulillaah, atas rahmat Allah dengan kemajuan teknologi di Jepang ini, membuatku memiliki banyak sahabat yang bisa saling menasihati, menghibur dan bercanda. Dan mengalirlah serangkaian nasihat yang menyejukkan hati ini.
Sambil berchatting ria, aku baca milis muslimah di Jepang ini. Milis yang penuh hikmah, pengetahuan dan ukhuwwah. Walaupun selama ini hanya menjadi peserta pasif, rasanya tidak pede menuangkan tulisan dalam milis ini, mengingat kemampuan yang tak seberapa. Senang dengan obrolan, sharing yang kubaca. Berbunga hati ini bila ada yang menyapa. Dan iri hati ini melihat muslimah lain yang bisa begitu aktif menulis.
Selesai chatting dan puas membaca e-mail yang masuk, aku search di Google mencari resep masakan. Yap! Ini menarik, dadar gulung coklat isi vla. Dadar gulung asli, isi enten-enten justru menguras kantong, mengingat harga kelapa parut di sini lumayan mahal. Teringat aku di Indonesia, wuah…mana pernah aku bikin penganan untuk keluarga. Tinggal ke warung dan beli jadi. Paling-paling bikin pisang goreng saja. Hampir setahun di sini, kuingat-ingat kue yang telah berhasil aku buat, soes, ponds cake, cake pisang, pudding caramel, klepon juga risoles serta sosis solo dan makanan yang sangat tradisional sekali, timus ubi jalar, bahkan menjadi resep andalan bila ada matsuri. Ah, di sini aku jadi penjual timus, hehehe… Tersenyum aku mengingat semua itu.
***
“KRINGG!”, terdengar telepon berbunyi.
Temanku mengajak rapat TPA dilanjutkan belajar bahasa Arab bersama orang Mesir. Alhamdulillaah, di negara yang tidak beragama ini aku justru ada semangat untuk mengkaji Islam lebih jauh. Di Indonesia, guru bahasa Arab berlimpah, waktu pun banyak. Namun tak pernah terpikirkan untuk belajar bahasa Arab secara serius. Alhamdulillaah...
TPA... Mana pernah terpikir olehku untuk mengajar TPA di komplek rumahku. Ada satu dua orang anak yang terpaksa ikut TPA RT lain, yang jaraknya agak jauh dari rumah. Dan tak pernah sedikit pun terpikir untuk membantu, atau sekedar menyumbangkan tenaga. Ah, makanya aku sempat malu, namun juga bersyukur, keluarga yang sekarang menempati rumahku, merintis sebuah TPA khusus untuk RT rumahku. Dan berupaya mendirikan sebuah mushalla di depan rumah kami, yang kebetulan masih tanah kosong. Alhamdulillaah, semoga bila saatnya pulang nanti, lingkungan rumahku sudah agamis. Ah, dasar maunya enak sendiri. Kenapa dulu tak pernah berusaha untuk menciptakan lingkungan yang baik untuk anak-anak.
***
Alhamdulillaah, walaupun tidak bisa memenuhi harapan ibuku dan juga harapanku sendiri untuk sekolah ataupun bekerja mengumpulkan uang sebanyak-banyak, namun banyak sekali hikmah di negeri Sakura ini. Dan itu semua tidak bisa dinilai dengan barang ataupun uang sebesar apapun.
Yah, inilah yang nanti akan kuceritakan kepada semua keluarga, bila saat pulang nanti disambut dengan pertanyaan, “Kamu di Jepang ngapain aja?...” Seperti juga beberapa saudara yang selalu menanyakan kegiatanku disela-sela obrolan saat telepon atau e-mail. Ah...
Fukuoka, Ramadhan 2004.
Tuk para isteri penyulut semangat suami menuntut ilmu.
Daftar Istilah :
Nihonggo : bahasa Jepang
Gakusei : mahasiswa
Nyuwun pangestunipun kemawon : mohon doanya
Tondo tresno : tanda kasih
Matsuri : pesta rakyat
“Wa’alaikumussalam”, jawabku tanpa beranjak dari meja setrika. Ah, kebiasaan jelekku di tahun kelima pernikahan. Tampak beda di kala awal-awal nikah dulu. Mendengar motornya pun, sudah berlari ke arah pintu. Mulai krisis rupanya ruhiyahku….
“Dik, sini sebentar”, berkata suamiku sambil menekan power komputer.
“Sebentar, sedikit lagi Mas, tinggal baju Dede yang belum disetrika”. Duh, bertambah lagi dosaku yang tidak segera memenuhi panggilan suami.
“Sini… Sebentar aja, penting nih”.
Kulihat sepintas di layar komputer. Oh, rupanya suami dari warnet. Tampak tampilan e-mail di komputer. Yah, suami biasanya ke warnet, hanya membuka e-mail tanpa membacanya. Kecuali beberapa e-mail penting. E-mail dari temannya dan temanku biasanya hanya di kopi, dan dibaca santai di rumah. Menghemat biaya katanya.
Kumatikan setrika, dan berjalan menghampirinya, setelah mengambil segelas air putih di meja makan. Tampak e-mail dari Prof. Seiko Taniguchi, professor Jepang yang telah tiga tahun ini sering dikontak suami, agar bersedia menjadi supervisornya. Tanpa semangat kubaca e-mail itu. Tertegun. Tak Percaya. Kaget dan entah apalagi, “... See you in Fukuoka.”, itulah kalimat terakhir yang membuat jantungku berdegup kencang. Kutengok ke belakang, ternyata suami sudah tidak di atas kursi lagi, melainkan sedang sujud syukur di tempat yang biasa kami pakai untuk shalat. Ah, rupanya tadi di warnet belum sempat sujud syukur Segera ku susul dia, sujud bersama, dengan rasa penuh syukur. Alhamdulillaah, akhirnya keinginan kita untuk melanjutkan sekolah di Negeri Sakura terpenuhi juga. Air mata berlinang, meluapkan rasa gembira yang tak terkira. Alhamdulillaah, syukurku tak henti-hentinya.
Dua bulan setelah pengumuman itu, berpamitan dengan tetangga, teman dan saudara, akhirnya kutinggalkan tanah air demi sebuah tujuan dan harapan yang kami bangun semenjak ada cita-cita melanjutkan sekolah di luar negeri.
Kupandangi sesaat, sebelum kutinggalkan rumah sangat sederhana, tipe 21, luas 75m persegi yang belum selesai dibangun. Tersenyum, mengingat kata anak tetangga, “Masak rumah seperti ini mau ditempati to, wong belum jadi kok”, bahasa Indonesia medok Jawa khas Semarang. “Ah, insya Allah nanti kan berubah…”, ups! Tak kulanjutkan khayalanku. Astaghfirullaah.
***
Jepang, akhirnya kita sekeluarga bisa berkumpul di negeri ini. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Setelah melihat kondisi dan keadaan di Jepang, ternyata tak semua cita-cita dan impianku terlaksana. Impian ingin melanjutkan sekolah lagi, kandas di jalan. Mengingat susahnya mencari beasiswa di sini. Sekolah dengan biaya sendiri, rasanya tidak mungkin. Akhirnya, ku semangat belajar nihonggo, aku ingin menguasai bahasanya. Namun, itu pun hanya semangat sesaat yang tak mampu kupertahankan, melihat sangat susahnya nihonggo, kursus yang hanya setengah-setengah, karena memang hanya kursus gratisan, dan bila ingin kursus yang benar-benar kursus, biaya juga tak terjangkau, akhirnya aku pun menyerah juga. Aku bukan tipe orang yang bisa belajar sendiri.
Terkadang terbersit keinginan untuk bekerja, mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Kendala bahasa menjadi hambatan utama. Kalau dihitung-hitung pun jatuhnya tak seberapa, kebijakan-kebijakan Jepang di sini. Semakin besar pendapatan, pajak yang dikenakan juga semakin tinggi, baik itu asuransi kesehatan, biaya sekolah anak, sewa rumah, akhirnya uang yang tersisa tak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan. Sedangkan bila aku tak bekerja, suami yang gakusei di hitung zero penghasilan, dan hampir semua kebutuhan hidup di subsidi, mulai sekolah anak gratis, sewa rumah murah serta asuransi kesehatan murah.
Tidak hanya aku yang ingin bekerja, ibu pun sempat berpesan, supaya memanfaatkan waktu sebaik mungkin selama di Jepang, baik sekolah ataupun bekerja, dan hampir semua saudara-saudara mempunyai harapan yang sama.
Aku teringat Bu De, ketika menghaturkan sebuah amplop putih saat Pak De meninggal, “An, kamu sudah kerja?”, katanya serasa tidak enak menerima uang bukan hasil keringatku sendiri.
“Duh, Bu De, uangku dan uang suami kan sama saja...”, pikirku tanpa berani mengatakan langsung. Hanya jawaban, “Belum Bu De, nyuwun pangestunipun kemawon”, jawabku dengan mata memerah.
Teringat lagi aku, saat-saat kuliah dulu. Jarak yang begitu jauh, menyebabkan aku pulang setengah tahun sekali, saat libur semester. Tiap kali main ke sana, selalu pulangnya diambilkan uang dari stagennya, sambil memelukku beliau bilang, “An, jangan dilihat besarnya ini hanya tondo tresno ya...” Aku pun terharu menerimanya. Yach, apalah artinya uang seribu dua ribu di tahun 1998-an, setelah krisis. Mungkin hanya sebungkus nasi rames di warung dekat kostku.
***
“BUZZZ!”, terdengar dari komputer ada yang memanggil.
Ah, rupanya temanku di nun jauh di pulau sana di Jepang ini. Teman yang hanya bertemu di dunia maya, namun begitu dekat di hati ini. Alhamdulillaah, atas rahmat Allah dengan kemajuan teknologi di Jepang ini, membuatku memiliki banyak sahabat yang bisa saling menasihati, menghibur dan bercanda. Dan mengalirlah serangkaian nasihat yang menyejukkan hati ini.
Sambil berchatting ria, aku baca milis muslimah di Jepang ini. Milis yang penuh hikmah, pengetahuan dan ukhuwwah. Walaupun selama ini hanya menjadi peserta pasif, rasanya tidak pede menuangkan tulisan dalam milis ini, mengingat kemampuan yang tak seberapa. Senang dengan obrolan, sharing yang kubaca. Berbunga hati ini bila ada yang menyapa. Dan iri hati ini melihat muslimah lain yang bisa begitu aktif menulis.
Selesai chatting dan puas membaca e-mail yang masuk, aku search di Google mencari resep masakan. Yap! Ini menarik, dadar gulung coklat isi vla. Dadar gulung asli, isi enten-enten justru menguras kantong, mengingat harga kelapa parut di sini lumayan mahal. Teringat aku di Indonesia, wuah…mana pernah aku bikin penganan untuk keluarga. Tinggal ke warung dan beli jadi. Paling-paling bikin pisang goreng saja. Hampir setahun di sini, kuingat-ingat kue yang telah berhasil aku buat, soes, ponds cake, cake pisang, pudding caramel, klepon juga risoles serta sosis solo dan makanan yang sangat tradisional sekali, timus ubi jalar, bahkan menjadi resep andalan bila ada matsuri. Ah, di sini aku jadi penjual timus, hehehe… Tersenyum aku mengingat semua itu.
***
“KRINGG!”, terdengar telepon berbunyi.
Temanku mengajak rapat TPA dilanjutkan belajar bahasa Arab bersama orang Mesir. Alhamdulillaah, di negara yang tidak beragama ini aku justru ada semangat untuk mengkaji Islam lebih jauh. Di Indonesia, guru bahasa Arab berlimpah, waktu pun banyak. Namun tak pernah terpikirkan untuk belajar bahasa Arab secara serius. Alhamdulillaah...
TPA... Mana pernah terpikir olehku untuk mengajar TPA di komplek rumahku. Ada satu dua orang anak yang terpaksa ikut TPA RT lain, yang jaraknya agak jauh dari rumah. Dan tak pernah sedikit pun terpikir untuk membantu, atau sekedar menyumbangkan tenaga. Ah, makanya aku sempat malu, namun juga bersyukur, keluarga yang sekarang menempati rumahku, merintis sebuah TPA khusus untuk RT rumahku. Dan berupaya mendirikan sebuah mushalla di depan rumah kami, yang kebetulan masih tanah kosong. Alhamdulillaah, semoga bila saatnya pulang nanti, lingkungan rumahku sudah agamis. Ah, dasar maunya enak sendiri. Kenapa dulu tak pernah berusaha untuk menciptakan lingkungan yang baik untuk anak-anak.
***
Alhamdulillaah, walaupun tidak bisa memenuhi harapan ibuku dan juga harapanku sendiri untuk sekolah ataupun bekerja mengumpulkan uang sebanyak-banyak, namun banyak sekali hikmah di negeri Sakura ini. Dan itu semua tidak bisa dinilai dengan barang ataupun uang sebesar apapun.
Yah, inilah yang nanti akan kuceritakan kepada semua keluarga, bila saat pulang nanti disambut dengan pertanyaan, “Kamu di Jepang ngapain aja?...” Seperti juga beberapa saudara yang selalu menanyakan kegiatanku disela-sela obrolan saat telepon atau e-mail. Ah...
Fukuoka, Ramadhan 2004.
Tuk para isteri penyulut semangat suami menuntut ilmu.
Daftar Istilah :
Nihonggo : bahasa Jepang
Gakusei : mahasiswa
Nyuwun pangestunipun kemawon : mohon doanya
Tondo tresno : tanda kasih
Matsuri : pesta rakyat
Sumber : KotaSantri.com