Ya Allah, Siapkah Aku jika Engkau Ingin Bertemu? | renungan
Bismillahirohmanirohim.
Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatu saudara
saudari sobat asa blog yang kucintai karena Allah ta’ala,
“Subhannallah”kata itu tak henti henti terucap
ditutur dan fikiran asa setelah membaca artikel ini di kotasantri dot com
seraya menginginkan hal yang sama dengan apa yang terjadi pada seorang akhwat
dibawah ini,wati.
Langsung aja baca ya!tidak ada pemaksaan kok.
Pernahkah Anda melihat seseorang menjelang sakaratul
maut? Berapakali Anda melihat mereka yang terbelalak ketakutan, yang kesakitan
atau yang hanya seperti hendak tidur? Aku punya seorang teman dekat di SMU I
Binjai bernama Wati. Ia dara berjilbab yang sangat cantik, supel, berbudi,
senang menolong orang lain dan selalu menjadi juara kelas. Maka seperti
mendengat petir disiang hari, saat kudengar ia yang sudah sekian lama tak masuk
sekolah ternyata mengidap kanker rahim. Bahkan sudah menyebar hingga stadium
empat!!
Sekolah kami berduka. Para aktivis rohis amat sedih. Wati adalah motor segala kegiatan dakwah. Ide-idenya segar. Ia selalu punya terobosan baru. Ia bisa mendekati dan disukai siapapun. Sungguh, kami tak memiliki Wati yang lain. Maka betapa pedih menatapnya hari itu. Ia tergolek lemah di ranjang. Badannya menjadi amat kurus. Wajahnya pasi. Setelah sakit berbulan-bulan, hari ini ia tak mampu lagi mengenali kami!
"Wati sudah sebulan ini tak bisa bangun," kata ibunya sambil mengusap air matanya.
Namun kami berbelalak, saat baru saja ibunya selesai bicara, perlahan Wati berusaha untuk bangun. Kami semua tercengang saat ia berdiri dan berjalan melintasi kami seraya berkata dengan suara nyaris tak terdengar, "Aku mau berwudhu dan shalat Dhuha."
Serentak kami semua berebutan membimbingnya ke kamar mandi. Setelah itu ibunya memakaikannya mukena dan sarung. Sementara ayahnya kembali membaringkannya di tempat tidur karena ia terlalu lemah untuk shalat sambil berdiri. Hening. Tak seorang pun yang bersuara saat ia melakukan shalat Dhuha. Selesai shalat, saat ibunya akan membukakan mukena, ia melarang dengan halus. Lalu lama sekali dipandanginya wajah ibu, ayah dan adik-adiknya satu persatu bergantian. Dari mulutnya terus menerus terdengar asma Allah. Kami yang menyaksikan tak kuat lagi menahan tangis.
Tiba-tiba Wati tersenyum. Ia memandang kami, teman-temannya, dengan penuh sayang. Lalu kembali memandang wajah ayah, ibu dan adik-adiknya bergantian. Kini kulihat butiran bening menetes dari sudut matanya. Lalu susah payah ia mengangkat kedua tangannya dan mendekapkannya di dada. Dengan tersenyum ia menutup kedua matanya sambil mengucapkan dua kalimat syahadat dengan sangat lancar. Innalillaahi wa inna ilaihi rooji'uun. Ia telah pergi untuk selamanya. Bagai melayang aku menyaksikan semua. Dadaku berdebar, lututku gemetar. Subhanallah, ia telah kembali dengan sangat sempurna dalam usia yang baru 18 tahun. Tiba-tiba, antara ilusi dan kenyataan, aku mencium wewangian. Tubuhku bergidik. Aku menangis terisak-isak.
Allah, siapkah aku bila Engkau ingin bertemu?
Seperti dituturkan sahabat Wati kepada Helvy Tiana Rosa - Disadur dari buku Lentera Kehidupan : Cerita Luar Biasa dari Orang-orang Biasa
Sekolah kami berduka. Para aktivis rohis amat sedih. Wati adalah motor segala kegiatan dakwah. Ide-idenya segar. Ia selalu punya terobosan baru. Ia bisa mendekati dan disukai siapapun. Sungguh, kami tak memiliki Wati yang lain. Maka betapa pedih menatapnya hari itu. Ia tergolek lemah di ranjang. Badannya menjadi amat kurus. Wajahnya pasi. Setelah sakit berbulan-bulan, hari ini ia tak mampu lagi mengenali kami!
"Wati sudah sebulan ini tak bisa bangun," kata ibunya sambil mengusap air matanya.
Namun kami berbelalak, saat baru saja ibunya selesai bicara, perlahan Wati berusaha untuk bangun. Kami semua tercengang saat ia berdiri dan berjalan melintasi kami seraya berkata dengan suara nyaris tak terdengar, "Aku mau berwudhu dan shalat Dhuha."
Serentak kami semua berebutan membimbingnya ke kamar mandi. Setelah itu ibunya memakaikannya mukena dan sarung. Sementara ayahnya kembali membaringkannya di tempat tidur karena ia terlalu lemah untuk shalat sambil berdiri. Hening. Tak seorang pun yang bersuara saat ia melakukan shalat Dhuha. Selesai shalat, saat ibunya akan membukakan mukena, ia melarang dengan halus. Lalu lama sekali dipandanginya wajah ibu, ayah dan adik-adiknya satu persatu bergantian. Dari mulutnya terus menerus terdengar asma Allah. Kami yang menyaksikan tak kuat lagi menahan tangis.
Tiba-tiba Wati tersenyum. Ia memandang kami, teman-temannya, dengan penuh sayang. Lalu kembali memandang wajah ayah, ibu dan adik-adiknya bergantian. Kini kulihat butiran bening menetes dari sudut matanya. Lalu susah payah ia mengangkat kedua tangannya dan mendekapkannya di dada. Dengan tersenyum ia menutup kedua matanya sambil mengucapkan dua kalimat syahadat dengan sangat lancar. Innalillaahi wa inna ilaihi rooji'uun. Ia telah pergi untuk selamanya. Bagai melayang aku menyaksikan semua. Dadaku berdebar, lututku gemetar. Subhanallah, ia telah kembali dengan sangat sempurna dalam usia yang baru 18 tahun. Tiba-tiba, antara ilusi dan kenyataan, aku mencium wewangian. Tubuhku bergidik. Aku menangis terisak-isak.
Allah, siapkah aku bila Engkau ingin bertemu?
Seperti dituturkan sahabat Wati kepada Helvy Tiana Rosa - Disadur dari buku Lentera Kehidupan : Cerita Luar Biasa dari Orang-orang Biasa