Apakah
Dajjal itu ada ? ( Kontroversi Seputar Dajjal )
Assalamualaikum warohmatulahi
wabarokatuh, wahai saudara saudariku sobat asa Blog yang kucintai karena Allah
SWT.
Saat ini asa blog sedang ingin membagikan
beberapa tread tentang islami yang niatnya Insyaallah agar kita bisa bersama
sama dapat mempelajari islam , satu satunya agama yang diridhoi Allah SWT ,
yang insyaallah ini dapat menjadi bekal diakhirat kelak karena “
Jika manusia telah meninggal maka
putuslah amalnya kecuali tiga macam:
1. Sedekah jariyah (yang tahan lama).
2. Ilmu yang bermanfaat.
3. Anak shaleh (berakhlak baik) yang mendo'akan kedua orang tuanya. (HR. Muslim)
1. Sedekah jariyah (yang tahan lama).
2. Ilmu yang bermanfaat.
3. Anak shaleh (berakhlak baik) yang mendo'akan kedua orang tuanya. (HR. Muslim)
terlebih dahulu asa Blog ingin
mengingatkan kepada sobat asa Blog yang kucintai karena Allah bahwa janganlah
kita bertikai hanya karena sunah atau yang sesungguhnya tidak diwajibkan ,
justru pertikaian sangat dimurkai Allah subhanawataala , yang diperlukan adalah
niat ibadah karena Allah SWT yang maha HAQ.
Hmmz,di tread ini asa blog akan membahas
mengenai Apakah Dajjal itu ada ? ( Kontroversi
Seputar Dajjal ),
Nah,apakah sobat asa Blog yang kucintai
karena Allah tertarik dengan judul Apakah Dajjal
itu ada ? ( Kontroversi Seputar Dajjal ) ini,
Nah,banyak sekali sumber sumber
yang membahas mengenai Apakah Dajjal itu ada ? (
Kontroversi Seputar Dajjal ),dan kebanyakan berbeda isinya,
Asa Blog sendiri akan mencoba
mengulas dari sudut pandang asa dan beberapa sumber yang insayaallah dapat
mendapatkan pandangan yang Objektif.
lebih jelasnya silahkan sobat asa Blog
baca perincian tread Apakah Dajjal itu ada ? (
Kontroversi Seputar Dajjal ) ini
ya,semoga bermanfaat.!
Jazzakallahu khair
Apakah Dajjal itu benar benar ada ?
Sering sekali pertanyaan ini terngiang ngiang di
fikiran saya ketika saya membaca artikel artikel seputar dajjal. mungkin sobat asa
blog juga seperti itu ya ?He94x,,,,,
Kupas tuntas
yuks !!!
Keberadaan
Dajjal merupakan salah satu topik yang menarik dan layak kaji. Pasalnya,
masalah yang satu ini sering menjadi ‘isu kondisional’ sejak dahulu kala.
Simpang siur pendapat pun sering kali bergulir di tengah umat, tentunya dengan
berbagai macam persepsi dan landasan berpikir yang berbeda. Tak ayal,
kontroversi ini menjadikan bingung banyak orang yang notabene awam.
Sebelum
menelusuri kontroversi sikap seputar Dajjal, tentunya amat penting untuk
didudukkan terlebih dahulu hakikat Dajjal yang sedang dipermasalahkan ini.
Karena hukum terhadap sesuatu, merupakan cabang dari penggambarannya. Bagaimana
mungkin seseorang bisa menghukumi bahwa Dajjal itu ada atau tidak, sementara belum
jelas baginya hakikat Dajjal yang sedang dipermasalahkan.
Hakikat
Dajjal yang Dipermasalahkan
Dajjal yang
sedang dipermasalahkan keberadaannya itu adalah seseorang dari bangsa manusia
yang Allah Subhanahu wa Ta’ala munculkan di akhir zaman (dengan segala
kekuasaan dan hikmah-Nya), sebagai fitnah (ujian) besar bagi umat manusia di
muka bumi ini1, dan sebagai salah satu pertanda kuat semakin dekatnya hari
kiamat2. Bentuk fisik Dajjal adalah: matanya buta sebelah (yang dengannya
disebut Al-Masih), pada dahinya tertulis huruf (ك ف ر) yang berarti kafir di mana tulisan
itu bisa dibaca oleh siapa saja yang di hatinya ada keimanan3, berambut sangat
keriting4, bertubuh besar, dan sudah ada saat ini di sebuah pulau yang ada di
tengah lautan (arahnya sebelah timur kota Madinah), dalam keadaan dibelenggu
dengan belenggu besi yang amat kuat5.
Ketika
muncul, dia mengaku sebagai Allah Subhanahu wa Ta’ala (padahal sesungguhnya
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak buta sebelah seperti dia) dan menyeru umat
manusia untuk menyembah dirinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala kuasakan bagi Dajjal
untuk membawa sesuatu seperti Jannah (surga) dan Naar (neraka). Jannah Dajjal
hakikatnya adalah Naar Allah, dan Naar Dajjal hakikatnya adalah Jannah Allah6.
Tempat
kemunculannya kelak dari sebuah jalan yang terletak antara negeri Syam dan
Irak. Dia pun akan tinggal di muka bumi ini selama 40 hari; hari pertama
lamanya satu tahun, hari kedua lamanya satu bulan, hari ketiga lamanya satu
pekan, hari keempat dan seterusnya lamanya seperti hari-hari biasa (24 jam).
Allah Subhanahu wa Ta’ala kuasakan pula baginya kemampuan untuk mengelilingi
dunia dengan sekejap seiring dengan berhembusnya arah angin (kecuali kota Makkah dan Madinah,
tak mampu dimasukinya karena dijaga oleh para malaikat Allah Subhanahu wa
Ta’ala). Sebagaimana pula Allah Subhanahu wa Ta’ala kuasakan baginya hal-hal
aneh lainnya yang tak dimampui oleh manusia biasa.
Kemudian
terjadilah pertempuran yang dahsyat antara Dajjal berikut pengikutnya melawan
pasukan Islam yang dipimpin oleh Al-Imam Mahdi yang diperkuat oleh Nabi ‘Isa
‘alaihissalam yang Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan dari langit. Akhirnya
Dajjal tewas dibunuh oleh Nabi ‘Isa ‘alaihissalam di daerah Bab Ludd,
Palestina7. Demikianlah hakikat Dajjal yang dipersoalkan eksistensinya itu.
Untuk mengetahui lebih rinci tentang Dajjal dan hakikatnya, silakan membaca
rubrik Kajian Utama pada edisi ini.
Rambu-rambu
Penting dalam Perselisihan dan Perbedaan Pendapat
Para pembaca yang mulia, dalam Al-Qur`anul Karim, Allah Subhanahu
wa Ta’ala Yang Maha Rahman telah memberikan bimbingan-Nya sekaligus solusi bagi
segala perselisihan, perbedaan pendapat, dan kontroversi yang mengitari
kehidupan para hamba-Nya. Termasuk perkara Dajjal yang tengah dipermasalahkan
ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ
فَرُدُّوْهُ إِلَى اللهِ
وَالرَّسُوْلِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ
وَأَحْسَنُ تَأْوِيْلاً
“Dan jika
kalian berselisih dalam suatu perkara, maka kembalikanlah kepada Allah dan
Rasul-Nya jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu
lebih utama dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa`: 59)
Al-Imam
Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “(Kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya),
maksudnya: kembalikanlah keputusan permasalahan tersebut kepada Kitabullah
(Al-Qur`an) dan kepada Rasul-Nya dengan bertanya kepada beliau semasa hidupnya
atau dengan merujuk kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sepeninggal beliau. Demikianlah keterangan dari Mujahid, Al-A’masy, dan Qatadah
rahimahumullah, dan memang benar apa yang mereka katakan itu. Barangsiapa tidak
sepakat dengan (apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala bimbingkan, pen.) ini, maka
telah cacat keimanannya karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah nyatakan dalam
ayat tersebut; (jika kalian beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hari
akhir).” (Tafsir Al-Qurthubi juz 5, hal. 261)
Kembali
(merujuk) kepada Al-Qur`an dan Sunnah Rasul-Nya dalam setiap permasalahan yang
diperselisihkan amat besar hikmahnya. Sebagaimana yang dikatakan Al-Imam
Al-Qurthubi rahimahullah ketika menafsirkan surat Ali ‘Imran ayat 103: “Allah mewajibkan
kepada kita agar berpegang teguh dengan Kitab-Nya (Al-Qur`an) dan Sunnah
Nabi-Nya, serta merujuk kepada keduanya di saat terjadi perselisihan. Ia (juga)
memerintahkan kepada kita agar bersatu di atas Al-Qur`an dan As-Sunnah secara
keyakinan dan amalan. Itulah sebab keselarasan kata dan bersatunya apa yang
tercerai-berai, yang dengannya akan teraih maslahat dunia dan agama serta
selamat dari perselisihan…” (Tafsir Al-Qurthubi juz 4, hal. 105)
Lain halnya
dengan akal (semata) yang di-Tuhan-kan oleh sebagian orang serta lebih
diutamakan daripada Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam (syariat)8. Padahal fenomena akal ini amat memilukan. Tak sedikit dari
para pemujanya yang menyesal dan bingung akibat jalan yang ditempuhnya itu.
Abu Abdillah
Ar-Razi, tokoh Mu’tazilah yang telah menyelami lautan akal tersebut pernah
mengatakan:
“Kesudahan
mengedepankan akal adalah belenggu.9
Dan
kebanyakan upaya (hasil pemikiran) para intelektual itu adalah kesesatan
Ruh-ruh kami
terasa amat liar di dalam tubuh-tubuh kami
Dan hasil
dari kehidupan dunia kami adalah gangguan dan siksaan (batin)
Tidaklah
didapat dari penelitian yang kami lakukan sepanjang masa
melainkan
kumpulan pernyataan-pernyataan (yang tak menentu)
Aku
(Ar-Razi) telah memerhatikan dengan saksama berbagai seluk-beluk ilmu kalam dan
metodologi filsafat. Maka kulihat semua itu tidaklah dapat menyembuhkan orang
yang sakit serta tidak pula memuaskan orang yang dahaga. Dan (ternyata) metode
yang paling tepat adalah metode Al-Qur`an.” (Lihat Dar`u Ta’arudhil ‘Aqli wan
Naqli, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, juz 1, hal. 160)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Engkau akan mendapati kebanyakan
para pakar di bidang ilmu kalam, filsafat, dan bahkan tasawuf yang tidak
mengindahkan apa yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah
orang-orang yang bingung. Sebagaimana yang dikatakan Asy-Syahrastani
rahimahullah:
‘Sungguh aku
telah keliling ke ma’had- ma’had (filsafat) tersebut
dan seluruh
pandanganku tertuju kepada mercusuar-mercusuarnya
Namun, tak
kulihat padanya kecuali orang yang bingung sambil bertopang dagu
dan orang
yang menyesal sambil menggemertakkan giginya’.” (Dar`u Ta’arudhil Aqli Wan
Naqli, juz 1, hal. 159)
Kontroversi
Seputar Dajjal
Secara garis
besar, ada tiga pendapat dalam permasalahan ini:
Pertama:
Dajjal dengan gambaran di atas tidak ada sama sekali. Ini merupakan pendapat
kelompok Khawarij, Jahmiyyah, dan sebagian Mu’tazilah. (Lihat Al-Minhaj Syarh
Shahih Muslim bin Hajjaj, karya Al-Imam An-Nawawi rahimahullah juz. 18, hal.
263)
Dalilnya:
1. Masalah
Dajjal tidak disebutkan dalam Al-Qur`an. Kalaulah Dajjal tersebut benar adanya
niscaya akan disebutkan dalam Al-Qur`an.
2.
Hadits-hadits seputar Dajjal bertentangan dengan akal. Mana mungkin ada manusia
(yang bukan nabi) mempunyai kemampuan seperti itu?! Lebih-lebih lagi hari
pertama, kedua, dan ketiganya tidak 24 jam. Belum pernah ada kejadian seperti
itu sepanjang sejarah umat manusia.
3. Ketetapan
adanya Dajjal akan mengundang orang untuk mengaku-ngaku sebagai Dajjal.
Tentunya yang demikian ini termasuk membuka pintu kejelekan bagi umat.
Kedua:
Dajjal dengan gambaran di atas benar adanya. Hanya saja semua yang
dipertontonkan Dajjal di hadapan umat manusia tidak ada hakikatnya, layaknya
sulap. Ini merupakan pendapat Ibnu Hazm, Ath-Thahawi, Abu ‘Ali Al-Jubba’i, dan
sebagian Jahmiyyah. (Lihat At-Tadzkirah, karya Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah
hal. 552 dan An-Nihayah Fil Fitan wal Malahim, karya Al-Hafizh Ibnu Katsir
rahimahullah juz 1, hal 164/dinukil dari Majalah At-Tau’iyah Al-Islamiyyah no.
223, tahun ke-25/1420 H hal. 95-96)
Dalilnya:
Jika semua yang ditampilkan Dajjal itu ada hakikatnya, niscaya akan menjadi
rancu antara pendusta dan yang jujur. Demikian pula antara seorang nabi dengan
yang mengaku nabi. (Lihat At-Tadzkirah, hal. 552)
Ketiga:
Dajjal dengan gambaran di atas benar adanya, dan segala apa yang ditampilkannya
di hadapan umat manusia adalah nyata bukan khayal ataupun sulap. Ini merupakan
pendapat Ahlus Sunnah wal Jamaah, seluruh ahli hadits dan ahli fiqh. (Lihat
Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Hajjaj, juz 18, hal. 263)
Dalilnya:
1. Al-Qur`anul
karim, yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ
رَبِّكَ لاَ يَنْفَعُ نَفْسًا إِيْمَانُهَا
“Pada hari
datangnya sebagian tanda-tanda Rabbmu tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang
bagi dirinya.” (Al-An’am: 158)10
2.
Hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang amat banyak jumlahnya,
hingga mencapai derajat mutawatir.
- Al-Hafizh
Ibnu Katsir rahimahullah berkata {ketika membantah para pengingkar (adanya)
Dajjal}: “Dengan pendapat tersebut akhirnya mereka keluar dari apa yang
dinyatakan para ulama. Hal itu disebabkan penolakan mereka terhadap
hadits-hadits shahih yang dinukil secara mutawatir dari Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam.” (Lihat Iqamatul Burhan, karya Asy-Syaikh Hamud bin Abdillah
At-Tuwaijiri rahimahullah/Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyyah no.13, tahun 1405 H,
hal. 103)
- Asy-Syaikh
Hamud bin Abdillah At-Tuwaijiri rahimahullah berkata: “Telah mutawatir
hadits-hadits seputar Dajjal dari jalan (sanad) yang berbeda-beda, sebagaimana
yang telah saya sebutkan dalam kitab Ithaful Jama’ah. Jika saja tidak ada
hadits-hadits tersebut kecuali hadits yang memerintahkan untuk berlindung
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari fitnah Dajjal pada (penutupan) setiap
shalat, yang demikian itu sudah cukup sebagai bukti akan adanya Dajjal dan
bantahan bagi yang mengingkarinya.” (Iqamatul Burhan/ Majalah Al-Buhuts
Al-Islamiyyah no. 13, tahun 1405 H, hal. 103)
3.
Keberadaan Dajjal merupakan hal yang disepakati Ahlus Sunnah wal Jamaah dari
kalangan ahli hadits dan ahli fiqih. Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata:
“Pasal: Iman akan adanya Dajjal dan (berita, pen.) kemunculannya adalah benar.
Ini merupakan pendapat Ahlus Sunnah wal Jamaah, seluruh ahli hadits dan ahli
fiqih.” (At-Tadzkirah, hal. 552)
Diskusi
Pendapat
1. Pendapat
pertama
- Pendapat
ini bersumber dari Khawarij, Jahmiyyah, dan sebagian Mu’tazilah yang notabene
ahlul bid’ah wal furqah. Sementara setiap muslim diperintah untuk mengikuti
jejak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, serta
menjauhi bid’ah dan para pengusungnya.
- Pernyataan
mereka bahwa masalah Dajjal tidak disebutkan dalam Al-Qur`an, tidak bisa
dibenarkan sebagaimana keterangan Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berikut
ini:
a)
Bahwasanya Dajjal (secara tersirat, pen.) masuk dalam firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala:
يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ
رَبِّكَ لاَ يَنْفَعُ نَفْسًا إِيْمَانُهَا
“Pada hari
datangnya sebagian tanda-tanda Rabb-mu tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang
bagi dirinya.” (Al-An’am: 158)
Diriwayatkan
oleh At-Tirmidzi rahimahullah dan dishahihkannya dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu secara marfu’ (disandarkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam):
ثَلَاثَةٌ إِذَا خَرَجْنَ لَمْ يَنْفَعْ نَفْسًا إِيْمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ: الدَّجَّالُ وَالدَّابَّةُ وَطُلُوْعُ الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا
“Tiga hal
apabila telah muncul (terjadi) maka tiada bermanfaat lagi sebuah keimanan bagi
seorang jiwa yang belum beriman (sebelumnya): Dajjal, daabbah, dan terbitnya
matahari dari arah barat.” (Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul
Jami’ no. 3023)
b) Telah ada
sinyal dalam Al-Qur`an tentang turunnya Nabi ‘Isa ‘alaihissalam (di akhir
zaman, pen.) sebagaimana dalam firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala:
وَإِنْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ إِلاَّ لَيُؤْمِنَنَّ بِهِ قَبْلَ مَوْتِهِ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكُوْنُ عَلَيْهِمْ شَهِيْدًا
“Tiada
seorang pun dari ahli kitab, kecuali akan beriman kepadanya (‘Isa) sebelum
kematiannya (di akhir zaman, pen.). Dan di hari Kiamat nanti ‘Isa itu akan
menjadi saksi terhadap mereka.” (An-Nisa`: 159)
وَإِنَّهُ لَعِلْمٌ لِلسَّاعَةِ فَلاَ تَمْتَرُنَّ بِهَا وَاتَّبِعُوْنِ هَذَا
صِرَاطٌ مُسْتَقِيْمٌ
“Dan
sesungguhnya ‘Isa itu benar-benar memberikan pengetahuan tentang hari kiamat.
Karena itu janganlah kamu ragu-ragu tentang hari kiamat itu dan ikutilah Aku,
inilah jalan yang lurus.” (Az-Zukhruf: 61)
Sebagaimana
pula telah sah (dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen.) bahwa Nabi
‘Isa ‘alaihissalam lah yang membunuh Dajjal, sehingga cukuplah disebutkan salah
satunya (Nabi ‘Isa ‘alaihissalam, pen.) untuk menunjukkan keberadaan yang
lainnya (Dajjal, pen.). Demikian pula karena keduanya dijuluki Al-Masih
(sehingga cukup disebutkan salah satunya saja, pen.), hanya saja Dajjal
Al-Masih yang sesat sedangkan Nabi ‘Isa Al-Masih yang membawa petunjuk.
c)
Disebutkan dalam Tafsir Al-Baghawi, bahwa penyebutan Dajjal ada dalam
Al-Qur`an, sebagaimana dalam firman-Nya:
لَخَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ أَكْبَرُ مِنْ خَلْقِ النَّاسِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُوْنَ
“Sesungguhnya
penciptaan langit dan bumi lebih besar daripada penciptaan manusia akan tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Al-Mu`min: 57)
Yang
dimaksud manusia di sini adalah Dajjal, disebutkan secara umum (manusia, pen.)
sedangkan yang dituju adalah khusus (Dajjal, pen.). Bila hal ini benar, maka ia
merupakan jawaban yang paling tepat dalam permasalahan ini, dan sebagai
penyebutan global bagi apa yang dirinci Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
(perihal Dajjal tersebut, pen.). Wal ‘ilmu ‘indallahi ta’ala.” (Fathul Bari juz
13, hal. 98)
- Pernyataan
mereka bahwa hadits-hadits seputar Dajjal bertentangan dengan akal, maka akal
siapakah yang dijadikan pijakan?! Padahal akal manusia itu berbeda-beda baik
latar belakang maupun kemampuan nalarnya. Lebih dari itu, akal manusia amat
terbatas kemampuannya, sehingga ia tidak bisa dijadikan tolok ukur untuk
menetapkan atau menolak suatu berita yang sah dalam agama ini.
Al-Imam
Asy-Syathibi rahimahullah berkata: “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala
telah memberikan batasan kemampuan akal yang tak bisa dilampaui, dan Allah
Subhanahu wa Ta’ala tidak memberikan kemampuan bagi akal untuk mengetahui
segala sesuatu yang diinginkan.” (Al-I’tisham juz 2, hal. 318)
Asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata: “Berbagai macam berita
yang diriwayatkan secara shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka
benar keberadaannya dan wajib dipercayai, baik dapat dirasakan oleh panca
indera kita maupun yang bersifat ghaib, baik yang dapat dijangkau oleh akal
kita maupun tidak.” (Syarh Lum’atul I’tiqad, hal. 101)
Asy-Syaikh
Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata: “Hakikat iman adalah keyakinan yang
sempurna terhadap segala yang diberitakan para rasul, yang mencakup ketundukan
anggota tubuh kepadanya. Iman yang dimaksud di sini bukanlah yang berkaitan
dengan perkara yang bisa dijangkau panca indera, karena dalam perkara yang
seperti ini tidak berbeda antara muslim dengan kafir. Akan tetapi
permasalahannya berkaitan dengan perkara ghaib yang tidak bisa kita lihat dan
saksikan (saat ini). Kita mengimaninya, karena (adanya) berita yang datang dari
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Inilah keimanan yang membedakan antara
muslim dengan kafir, yang mengandung kemurnian iman kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan Rasul-Nya. Maka, seorang mukmin (wajib) mengimani semua yang
diberitakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya baik yang dapat disaksikan
oleh panca inderanya maupun yang tidak. Baik yang dapat dijangkau oleh akal dan
nalarnya, maupun yang tidak dapat dijangkaunya. Hal ini berbeda dengan kaum
zanadiqah (yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafiran, -pen.)
serta para pengingkar perkara ghaib (yang telah diberitakan Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan Rasul-Nya). Dikarenakan akalnya yang bodoh lagi dangkal serta
jangkauan ilmunya yang pendek, akhirnya mereka dustakan segala apa yang tidak
diketahuinya. Maka rusaklah akal-akal (pemikiran) mereka itu, dan bersihlah
akal-akal (pemikiran) kaum mukminin yang selalu berpegang dengan petunjuk Allah
Subhanahu wa Ta’ala.” (Taisir Al-Karimirrahman hal. 23)
Berikutnya,
Allah Maha Kuasa lagi Maha segala-galanya untuk memunculkan manusia (selain
nabi) yang mempunyai kemampuan semacam itu. Sebagaimana pula Dia Maha Mampu
untuk menjadikan hari-hari Dajjal seperti yang diberitakan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam.
- Pernyataan
mereka bahwa ketetapan adanya Dajjal akan mengundang orang untuk mengaku
sebagai Dajjal sehingga ditiadakan saja, maka tidak bisa dibenarkan, karena
berita yang sah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya tidaklah boleh
ditolak dengan kemungkinan-kemungkinan semacam ini. Bahkan semua itu wajib
diimani dan diterima dengan lapang dada, walaupun ada orang yang terfitnah
dengan apa yang dipropagandakannya. (Lihat Iqamatul Burhan/ Majalah Al-Buhuts
Al-Islamiyyah no.13, tahun 1405 H, hal. 112)
2. Pendapat
kedua
Pendapat
kedua adalah pendapat yang lemah berdasarkan uraian berikut ini:
- Semua yang
diberitakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seputar Dajjal dan segala
kemampuannya (dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala) bukanlah khayal ataupun
sulap. Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Pernyataan mereka bahwa apa
yang ditampilkan oleh Dajjal itu hanyalah sulap dan khayal merupakan pernyataan
yang lemah dan tidak bisa diterima. Karena semua yang diberitakan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam seputar Dajjal dan segala kemampuannya merupakan
sesuatu yang nyata (bisa terjadi) dan akal/nalar pun bisa menerimanya. Sehingga
wajib difahami sesuai dengan hakikat/zhahirnya (yang diberitakan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam).” (At-Tadzkirah, hal. 553)
- Pernyataan
mereka: “Jika semua yang ditampilkan Dajjal di hadapan umat manusia itu ada
hakikatnya, niscaya akan menjadi rancu antara pendusta dan yang jujur, dan
tidak ada bedanya antara seorang nabi dengan yang mengaku nabi,” tidaklah bisa
dibenarkan.
Al-Qadhi
‘Iyadh rahimahullah berkata: “(Asumsi) yang demikian merupakan suatu kesalahan
dari mereka. Karena Dajjal dengan segala kemampuannya (dengan izin Allah
Subhanahu wa Ta’ala) tidaklah mengaku sebagai nabi, akan tetapi justru mengaku
sebagai Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berhak diibadahi. Padahal realita
keadaannya, baik dari segi sepak terjangnya, adanya ciri makhluk pada dirinya,
kondisinya yang cacat fisik, tidak mampu mengubah matanya yang buta sebelah
menjadi normal, dan tidak mampu pula menghilangkan tanda kafir yang ada pada
dahinya, merupakan bukti kuat bahwa dia pendusta.” (Al-Minhaj Syarh Shahih
Muslim bin Hajjaj, juz 18, hal. 243)
Jawaban
senada juga disampaikan Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah, sebagaimana dalam
kitabnya At-Tadzkirah (hal. 552).
3. Pendapat
ketiga:
- Adapun
pendapat ketiga, maka dasarnya cukup kuat. Di samping dari Al-Qur`an
sebagaimana yang diulas oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah di atas,
hadits-hadits mutawatir sebagaimana yang dinyatakan Al-Hafizh Ibnu Katsir
rahimahullah dan Asy-Syaikh Hamud At-Tuwaijiri rahimahullah, serta kesepakatan
Ahlus Sunnah dari kalangan ahli hadits dan ahli fiqih sebagaimana yang
dijelaskan Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah.
Pendapat
Manakah yang Kuat (Rajih)?
Maka
pendapat yang kuat dalam permasalahan ini tentunya pendapat ketiga yang
menyatakan bahwa Dajjal benar adanya, dan segala apa yang ditampilkannya di
hadapan umat manusia adalah nyata, bukan khayal ataupun sulap. Dasar tarjihnya
sebagai berikut:
1. Pendapat
ini didasari dalil-dalil yang kuat baik dari Al-Qur`an, hadits mutawatir, dan
juga kesepakatan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Sementara pendapat pertama dan kedua
tidak demikian adanya.
2. Segala
berita yang sah (bersumber) dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wajib
diterima dan diyakini kebenarannya. Apalagi bila berita tersebut diriwayatkan
secara mutawatir yang merupakan tingkatan tertinggi dari suatu hadits. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا
نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ
اللهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ
“Apa yang
diberitakan Rasul kepada kalian maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya
maka tinggalkanlah; dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras
hukuman-Nya.” (Al-Hasyr: 7)
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيْرًا
“Dan
barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya kebenaran, dan mengikuti
selain jalannya orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa bergelimang dalam
kesesatan dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa`: 115)
Hal itu
karena segala apa yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah wahyu yang turun dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى. إِنْ هُوَ إِلاَّ
وَحْيٌ يُوْحَى
“Dan
tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu
tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 3-4)
3. Tidak
adanya dalil dari Al-Qur`an, hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ijma’
ataupun perkataan sahabat yang mengingkari adanya Dajjal, bahkan semuanya
menunjukkan bahwa Dajjal itu ada.
4. Ingkar
terhadap keberadaan Dajjal merupakan pendapat ahlul bid’ah wal furqah dari
kalangan Khawarij, Jahmiyyah, dan sebagian Mu’tazilah. Dilihat dari
narasumbernya saja (yakni ahlul bid’ah wal furqah) sudah tidak layak, apalagi
nyata-nyata bertentangan dengan hadits mutawatir dan kesepakatan ulama Ahlus
Sunnah wal Jamaah dari kalangan ahli fiqih dan ahli hadits.
5. Keimanan
akan adanya Dajjal termasuk masalah aqidah (prinsip), sehingga disebutkan oleh
para ulama dalam kitab-kitab aqidah mereka. Di antaranya:
Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata: “(Di antara prinsip
Ahlus Sunnah, pen.) beriman akan kemunculan Al-Masih Dajjal (di akhir zaman, pen.) yang pada dahinya tertulis
huruf yang bermakna kafir, beriman dengan hadits-hadits seputar Dajjal dan
mengimani keberadaannya, serta beriman bahwa Nabi ‘Isa ‘alaihissalam akan turun
(ke muka bumi) dan membunuh Dajjal di Bab Ludd.” (Ushul As-Sunnah, hal. 33-34)
Al-Imam Al-Barbahari rahimahullah berkata: “Mengimani (berita)
kemunculan Al-Masih Dajjal (di akhir zaman, pen.) dan turunnya Nabi ‘Isa bin
Maryam ‘alaihissalam (ke muka bumi) lalu membunuh Dajjal.” (Syarhus Sunnah hal.
75)
Al-Imam Ath-Thahawi Al-Hanafi rahimahullah berkata: “Kami beriman akan adanya
tanda-tanda hari kiamat seperti munculnya Dajjal dan turunnya Nabi ‘Isa
‘alaihissalam dari langit.” (Lihat Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyyah, karya
Al-Imam Ibnu Abil ‘Izz rahimahullah hal. 754)
Al-Imam Abu Muhammad ibnul Husain, yang lebih dikenal dengan
sebutannya Ibnul Haddad Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Bahwa tanda-tanda
yang akan muncul menjelang hari kiamat seperti munculnya Dajjal, turunnya Nabi
Isa ‘alaihissalam, asap tebal, daabbah, terbitnya matahari dari arah barat, dan lain sebagainya
dari tanda-tanda yang terdapat dalam hadits-hadits shahih adalah benar.”
(‘Aqidah Ibnil Haddad, dinukil dari Iqamatul Burhan/Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyyah
no. 13, tahun 1405 H, hal. 109)
Al-Imam Ibnu
Qudamah Al-Maqdisi Al-Hanbali rahimahullah berkata: “Wajib (bagi setiap muslim,
-pen.) untuk beriman kepada semua yang diberitakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan apa yang dinukil secara shahih dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, baik perkara tersebut dapat dilihat mata maupun yang bersifat ghaib.
Kami meyakini bahwa semua itu benar dan dapat dipercaya… (hingga perkataan
beliau)… di antaranya adalah yang berkaitan dengan tanda-tanda hari kiamat,
seperti munculnya Dajjal, turunnya Nabi ‘Isa ‘alaihissalam dan akhirnya
membunuh Dajjal, munculnya Ya’juj dan Ma’juj, terbitnya matahari dari arah
barat, keluarnya daabbah, dan lain sebagainya yang telah shahih penukilannya
(dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen.).” (Lum’atul I’tiqad,
lihat syarah Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 101)
Akhir kata,
semoga sajian seputar Dajjal dan keberadaannya ini dapat difahami
sebaik-baiknya, khususnya poin diskusi pendapat dan tarjihnya. Dengan suatu
harapan yang mulia, agar kita semua berpegang teguh dengan Al-Qur`an dan Sunnah
Rasul-Nya serta keterangan para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam
permasalahan ini, sehingga mempunyai satu kesimpulan yang sama; bahwa
keberadaan Dajjal (di akhir zaman) benar adanya, dan segala apa yang
ditampilkannya di hadapan umat manusia adalah nyata bukan khayal ataupun sulap.
Wallahu
a’lam bish-shawab.
1
Sebagaimana riwayat Muslim dari hadits ‘Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu
no. 2946.
2 Sebagaimana
riwayat Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu no. 2947.
3
Sebagaimana riwayat Muslim dari hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu no.
2933 dan Hudzaifah no. 2934.
4
Sebagaimana riwayat Muslim dari hadits An-Nawwas bin Sam’an radhiyallahu ‘anhu
no. 2137.
5
Sebagaimana riwayat Muslim dari hadits Tamim Ad-Dari radhiyallahu ‘anhu no.
2942.
6
Sebagaimana riwayat Muslim dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu
no. 2938, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu no. 2933, dan Hudzaifah
radhiyallahu ‘anhu no. 2934.
7
Sebagaimana riwayat Muslim dari hadits An-Nawwas bin Sam’an radhiyallahu ‘anhu
no. 2137.
8 Ini
merupakan prinsip yang batil. Karena, kalaulah akal itu lebih utama dari
syariat niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan perintahkan kita untuk
merujuknya ketika terjadi perselisihan. Namun kenyataannya Allah Subhanahu wa
Ta’ala justru memerintahkan kita untuk merujuk kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah,
sebagaimana yang terdapat dalam Surat An-Nisa` ayat 59 di atas. Jika akal itu lebih
utama dari syariat niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan mengutus para
rasul pada tiap-tiap umat dalam rangka membimbing mereka menuju jalan yang
benar sebagaimana yang terdapat dalam surat An-Nahl ayat 36. Kalaulah akal itu
lebih utama dari syariat, lantas akal siapakah yang dijadikan sebagai tolok
ukur?! Dan banyak hujjah-hujjah lain yang menunjukkan batilnya kaidah ini.
Untuk lebih rincinya lihat kitab Dar`u Ta’arudhil ‘Aqli wan Naqli, karya
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dan kitab Ash-Shawa’iq Al-Mursalah
‘Alal Jahmiyyatil Mu’aththilah, karya Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah.
9 Yakni
tidak menemukan solusi dari masalah yang dibahasnya.
10 Lihat
keterangan Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah tentang ayat ini pada sub judul
Diskusi Pendapat (pendapat pertama).
Sumber
dasar : www.asysyariah.com Penulis :
Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc. Judul: Adakah Dajjal?
Nah,itulah yang bisa ASA BLOG
sajikan untuk saudara saudariku yang kucintai karena Allah taala mengenai Apakah Dajjal itu ada ? ( Kontroversi Seputar Dajjal ) , semoga
kita dapat memetik hikmah dan pelajaran dari informasi yang asa blog post kan
kali ini.amin
jika sobat asa blog memiliki
pendapat lain mengenai Apakah Dajjal itu ada ? (
Kontroversi Seputar Dajjal ) atau memiliki kritik dan saran tentang asa
blog ini,silahkan di share di posting komentar,jika tidak bisa silahkan posting
di sebelah kanan page ini (karikatur putih bertuliskan minum kopi gan(…) di
home page asaarham.blogspot.com )
asa tutup wassalamualaikum
warohmatullahiwabarokatu.
Jazzakallahu khair