☼ Anak Tangga
Berikutnya Bagi Mira | contoh cerpen ☼
Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh saudara saudariku
sobat asa blog yang kucintai karena Allah subhanawataalla. Asa blog
sendiri ingin menjawab keinginan sahabat
untuk membaca cerpen cerpen buatan anak bangsa Indonesia,
Berikut cerpennya selamat membaca kawan . J
Penulis : Ade Anita
“Sstt…. Aku punya dagangan nih. Mau lihat nggak?”
Mira tampak malu-malu membisikkan tawarannya ke telingaku. Tangannya
menyodorkan sebuah tas kantong plastik besar berwarna hitam.
“Dagangan apa?” Aku bertanya sambil melongokkan kepalaku, mengintip isi kantong plastik besar yang ada di tangannya. Kedua tangan Mira spontan membuka mulut kantong lebar-lebar hingga tumpukan beberapa dagangannya terlihat lebih jelas.
“Baju Muslim. Bagus-bagus deh, lagian murah-murah kok. Bisa dicicil lagi.” Ujarnya sambil malu-malu. Kulirik wajahnya dan dia tahu jika aku melirik wajahnya sehingga rona merah jambu langsung menghiasi wajahnya yang putih. Tangannya yang selalu menggenggam saputangan langsung membawa saputangan tersebut menutupi mulut dan daerah disekitar hidungnya.
“Duh, jangan melihatku seperti itu dong. Malu nih.” Katanya dengan sedikit gemetar. Aku tersenyum. Temanku ini memang sangatlah pemalu. Wajahnya manis, kalimat yang dia ucapkan juga selalu santun. Tapi sifat pemalunya itu selalu melekat erat dalam kesehariannya. Entahlah, apakah ada yang sudah tahu berapa jumlah gigi yang berderet di dalam mulutnya. Rasanya belum ada yang berhasil menebaknya karena memang jika berbicara dia selalu menutupi mulut dan daerah sekitar hidungnya dengan saputangan. Koleksi saputangannya lumayan banyak. Hampir tiap hari aku lihat dia mengganti corak saputangannya. Bisa jadi jika saat ini seluruh pabrik saputangan di Indonesia terbakar habis, mungkin Mira adalah wanita yang paling kencang tangisan tanda turut merasa kehilangannya.
“Waduh ini orang. Kalau dagang nggak boleh malu lagi.” Aku menggodanya dan dia langsung tersenyum sambil menunduk. Wajahnya kembali bersemu merah dan spontan saputangan di tangannya menutupi sebagian wajahnya. Aih.
“Iyah sih. Aku tuh sebenarnya nggak berbakat buat dagang seperti ini. Tapi aku mau usaha. Hmm…. Semula aku nggak percaya diri tapi suamiku mulai kepayahan dengan pekerjaannya jadi aku mau membantu dia. Kasihan dia kalau hanya dia yang berusaha membanting tulang ke sana kemari sedangkan aku tidak bisa apa-apa. Jadi aku tawarkan diri untuk ikut berdagang. Tapi entah deh. Baru nawarin ke kamu saja aku sudah gemetaran begini nih.” Ujarnya dengan jujur. Aku bisa memaklumi. Sebagai teman dekatnya aku tahu persis bagaimana super pemalunya Mira.
“Yah sudah. Kamu sudah memilih, artinya sekarang gimana caranya agar bisa mempertanggung-jawabkan pilihanmu ini. Aku ikut dukung deh.” Aku mencoba menawarkan support.
“Sip. Kamu bantu aku dagang yah. Aku yang belanja kamu yang nawarin barang-barang ini yah?” Matanya tiba-tiba berbinar penuh pengharapan.
“Enak saja. Itu mah namanya aku yang dagang, kamu yang bandar dong. Nggak bisa lagi. Kita kan nggak selalu bersama Mir. Ya sudah kamu belajar nawarin barang ini gih. Kalau tidak ditawarin mana ada orang yang tahu kamu sedang jualan.” Mendengar ucapanku Mira tampak sedikit panik. Bibir bawahnya digigitnya sendiri dan matanya berubah membesar.
“Yah… saya nggak bisa ngomong nih. “ Saputangannya mulai diletakkan guna menutupi sebagian wajahnya. Aku mengulurkan tanganku dan menggenggam pergelangan tangannya yang bersiap untuk menutupi sebagian wajahnya itu.
“Mulai sekarang aku bantu ini saja deh. Aku pegangin tangan kamu ini supaya tidak lagi rajin menutupi mulut kamu. Dengan begitu kamu bisa ngomong deh insya Allah. Kalau mulut sering ditutupi seperti ini, kapan ngomongnya coba?” Mira tersenyum kecut. Tangannya yang aku pegang tampak gelisah ingin membebaskan diri. Aku tahan dengan kuat tapi penuh kelembutan. Kebiasaan jeleknya ini harus dihentikan. Kebiasaan menutupi mulut dengan saputangan adalah tanda pertama dari seorang yang kurang percaya diri. Untuk menjadi pedagang, dibutuhkan rasa percaya diri yang sangat besar.
“Ayo aku temani menemui gerombolan ibu-ibu yang ada di pojokan sekolah sana.” Kutarik tangannya setengah memaksa. Mira terseret-seret mengikuti langkahku.
“Wah… jangan saya yang ngomong. Aku nggak bisa ngomong, kamu saja yah yang ngomong. Duh…. Saya harus ngomong apa?” Mira semakin panik dan mencoba membebaskan pergelangan tangannya yang aku genggam dengan sangat erat. Aku menulikan telingaku. Tujuanku tetap, segerombolan ibu-ibu yang tampak sedang berbincang-bincang dengan asyik di pojokkan dekat taman itu. Mereka adalah ibu-ibu muda yang sedang menunggu anak-anaknya yang memang masih belum bisa ditinggal sekolah sendirian.
“Assalamu’alaikum ibu-ibu….” Sapaku langsung dan seperti koor langsung dibalas dengan ramai. Mira sudah tidak lagi tampak panik. Tangannya yang memegang saputangan aku genggam dengan sangat erat tapi tangan kirinya yang semula memegang kantong plastik hitam besar itu sudah tidak lagi memegang kantong tersebut. Kantong itu sudah digeletakkan di atas lantai semen. Tangan itu sedang mencari posisi yang nyaman untuk menutupi sebagian mulutnya. Duh, Mira.
“Ini nih, BU Mira mau nawarin sesuatu. Ayo Mir, tadi kamu mau nawarin apa?” Perlahan tubuh mungil Mira kudorongkan ke tengah ibu-ibu yang sudah memperhatikan kedatangan kami. Mira tergugu. Gugup dan sedikit panik. Tapi secara spontan dia langsung membuka mulut kantong plastik hitam besarnya. Tanpa dikomando ibu-ibu muda yang semula hanya ngobrol tak tentu arah dan tertawa-tawa itu mencomot tumpukan dagangan yang ada di tangan Mira. Beberapa langsung mengepas pakaian muslimah di badannya. Beberapa langsung mencari ukuran yang sesuai. Aku menepi tidak ikut-ikutan. Dari jauh aku perhatikan Mira yang semula diam saja mulai menjawab satu persatu pertanyaan yang diajukan oleh ibu-ibu yang mengelilingi dagangannya. Lambat laut sikap gugup dan paniknya sirna dan senyuman merekah kian permanen di wajahnya yang memang sudah manis.
Beberapa minggu kemudian, Mira tampak memberiku sebuah hadiah.
“Apa ini Mir?”
“Buat kamu.” Sebuah kotak segi empat. Tanpa bungkus kado hanya ditempel dengna isolasi saja. Perlahan isolasi aku buka dan isinya pun sebentar kemudian bisa terlihat dengan jelas. Sebuah kue coklat berbentuk segiempat ukuran 10 x 10 cm3. Alhamdulillah.
“Bikin sendiri yah?”
“Iyah. Kemarin aku nyoba resep. Coba deh, enak nggak? Suamiku bilang kue buatanku enak. Tpai aku nggak yakin karena dalam pujian yang diberikan oelh suamiku memang tidak pernah ada kata tidak enak atau kurang bagus. Aku mau minta komentar kamu. Jujur deh, apa pendapatmu?” Mira bertanya sambil menatapku dengan rasa ingin tahunya.
Sudah dua minggu ini dia tidak pernah lagi membawa saputangan yang selalu setia menemaninya kemana pun dia pergi. Kini kemana-mana tangannya sibuk membawa kantong plastik besar berwarna hitam yang berisi barang dagangan. Mira termasuk temanku yang sukses dengan barang dagangannya. Seleranya dalam memilih barang dagangan yang ingin ditawarkan lumayan bagus. Baju-bamuyang dia tawarkan selalu manis baik model maupun warnanya. Harganya juga tidak terlalu mahal apalagi dengan sistem penawaran model kreditan beberapa kali bayar. Dalam tempo satu bulan setelah dia pertama kali mencoba berdagang dahulu, bukan Mira yang mencari pembeli tapi pembeli justru yang bertanya padanya apakah dia punya stok dagangan. Mira memang punya bakat besar dalam berdagang. Aku mencolek kue coklat buatan Mira. Kue coklat memang kegemaranku.
“Hmm… enak nih. Cuma sedikit pahit. Kamu campur kopi yah?” Aku bertanya sambil tak henti mencolek kue coklat buatan Mira. Mira mengangguk sambil tersenyum.
“Iyah. Sebab coklat mahal. Tapi kalau pakai kurang coklat jadi kurang pekat warnanya jadi aku tambahin kopi.” Senyumnya mengembang.
“Cerdik. Tapi kurang jujur tuh.”
“Loh… namanya juga usaha. Kalau terlalu jujur nanti aku nggak dapat untung lagi.”
“Masa iyah sih nggak untung sama sekali?”
“Eh.. untung sih, tapi sedikit, tahu.”
“yah sudah terserah kamu deh Mir. Toh yang harus bertanggung jawab di akhirat kelak juga kamu sendiri, bukan orang lain. Tapi aku sendiri, hmm… kalau lagi bungkus paket sembako pun aku tidak pernah memasukkan kopi dalam paket sembakoku.”
“Kenapa? Kopi kan banyak suka lagi.”
“Iyah sih. Tapi aku nggak pingin karena ada unsur lain dari kopi yang masih diperdebatkan apakah baik bagi kesehatan atau tidak. Aku sendiri karena perdebatan itu menghindari minum kopi. Terus kenapa juga harus ngasih orang lain yang kita sendiri kalau dikasih pilihan malah tidak memilihnya? Eh…. Tapi itu mah terserah keyakinan masing-masing. “ Mira terdiam mendengar perkataanku.
“Eh.. gimana perkembangan dagangannya?” Aku mencoba memecah kekakuan yang tiba-tiba terjadi antara aku dan Mira. Senyumnya langsung terkembang.
“Maju pesat. Suamiku saja sampai keheranan melihat ternyata aku tuh bisa juga dagang.”
Lalu Mira asyik bercerita tentang semua pujian dan kekaguman suaminya yang ditujukan untuk dirinya. Juga tentang semua dagangannya yang selalu laris manis. Juga tentang perkembangan keuangan keluarganya yang meningkat pesat. Lalu tentang rencananya untuk membantu keluarganya. Terus dan terus seakan hidupnya akan berlangsung seribu tahun lagi.
Terkadang untuk memulai sesuatu itu, selalu muncul keraguan akan batas kemampuan yang kita miliki. Dimana saja, ketika melihat beberapa undakan anak tangga yang harus kita daki, yang pertama kali keluar dari dalam kepala adalah pertanyaan, apakah saya mampu mendakinya?
Tapi, siapapun orangnya, tak akan pernah tahu batas sesungguhnya dari semua kapasitas yang dia miliki jika dia tidak pernah mencoba dengan langkah awal. Sama seperti bocah yang tidak akan pernah bisa berjalan jika tak pernah memulai belajar untuk melangkah. Bukankah untuk bisa sampai ke puncak tertinggi selalu dimulai dari anak tangga yang paling bawah? Karenanya, Jangan pernah memberi penilaian rendah terhadap kemampuan yang kita miliki jika ternyata kita tidak pernah berusaha untuk menggalinya semaksimal mungkin.. Bukankah Allah tidak pernah memberi cobaan di luar kemampuan hamba-Nya? Lalu, apa yang mendorong kita ragu pada kemampuan diri sendiri untuk mencoba lebih baik lagi dari sekarang? Selamat berusaha.
“Dagangan apa?” Aku bertanya sambil melongokkan kepalaku, mengintip isi kantong plastik besar yang ada di tangannya. Kedua tangan Mira spontan membuka mulut kantong lebar-lebar hingga tumpukan beberapa dagangannya terlihat lebih jelas.
“Baju Muslim. Bagus-bagus deh, lagian murah-murah kok. Bisa dicicil lagi.” Ujarnya sambil malu-malu. Kulirik wajahnya dan dia tahu jika aku melirik wajahnya sehingga rona merah jambu langsung menghiasi wajahnya yang putih. Tangannya yang selalu menggenggam saputangan langsung membawa saputangan tersebut menutupi mulut dan daerah disekitar hidungnya.
“Duh, jangan melihatku seperti itu dong. Malu nih.” Katanya dengan sedikit gemetar. Aku tersenyum. Temanku ini memang sangatlah pemalu. Wajahnya manis, kalimat yang dia ucapkan juga selalu santun. Tapi sifat pemalunya itu selalu melekat erat dalam kesehariannya. Entahlah, apakah ada yang sudah tahu berapa jumlah gigi yang berderet di dalam mulutnya. Rasanya belum ada yang berhasil menebaknya karena memang jika berbicara dia selalu menutupi mulut dan daerah sekitar hidungnya dengan saputangan. Koleksi saputangannya lumayan banyak. Hampir tiap hari aku lihat dia mengganti corak saputangannya. Bisa jadi jika saat ini seluruh pabrik saputangan di Indonesia terbakar habis, mungkin Mira adalah wanita yang paling kencang tangisan tanda turut merasa kehilangannya.
“Waduh ini orang. Kalau dagang nggak boleh malu lagi.” Aku menggodanya dan dia langsung tersenyum sambil menunduk. Wajahnya kembali bersemu merah dan spontan saputangan di tangannya menutupi sebagian wajahnya. Aih.
“Iyah sih. Aku tuh sebenarnya nggak berbakat buat dagang seperti ini. Tapi aku mau usaha. Hmm…. Semula aku nggak percaya diri tapi suamiku mulai kepayahan dengan pekerjaannya jadi aku mau membantu dia. Kasihan dia kalau hanya dia yang berusaha membanting tulang ke sana kemari sedangkan aku tidak bisa apa-apa. Jadi aku tawarkan diri untuk ikut berdagang. Tapi entah deh. Baru nawarin ke kamu saja aku sudah gemetaran begini nih.” Ujarnya dengan jujur. Aku bisa memaklumi. Sebagai teman dekatnya aku tahu persis bagaimana super pemalunya Mira.
“Yah sudah. Kamu sudah memilih, artinya sekarang gimana caranya agar bisa mempertanggung-jawabkan pilihanmu ini. Aku ikut dukung deh.” Aku mencoba menawarkan support.
“Sip. Kamu bantu aku dagang yah. Aku yang belanja kamu yang nawarin barang-barang ini yah?” Matanya tiba-tiba berbinar penuh pengharapan.
“Enak saja. Itu mah namanya aku yang dagang, kamu yang bandar dong. Nggak bisa lagi. Kita kan nggak selalu bersama Mir. Ya sudah kamu belajar nawarin barang ini gih. Kalau tidak ditawarin mana ada orang yang tahu kamu sedang jualan.” Mendengar ucapanku Mira tampak sedikit panik. Bibir bawahnya digigitnya sendiri dan matanya berubah membesar.
“Yah… saya nggak bisa ngomong nih. “ Saputangannya mulai diletakkan guna menutupi sebagian wajahnya. Aku mengulurkan tanganku dan menggenggam pergelangan tangannya yang bersiap untuk menutupi sebagian wajahnya itu.
“Mulai sekarang aku bantu ini saja deh. Aku pegangin tangan kamu ini supaya tidak lagi rajin menutupi mulut kamu. Dengan begitu kamu bisa ngomong deh insya Allah. Kalau mulut sering ditutupi seperti ini, kapan ngomongnya coba?” Mira tersenyum kecut. Tangannya yang aku pegang tampak gelisah ingin membebaskan diri. Aku tahan dengan kuat tapi penuh kelembutan. Kebiasaan jeleknya ini harus dihentikan. Kebiasaan menutupi mulut dengan saputangan adalah tanda pertama dari seorang yang kurang percaya diri. Untuk menjadi pedagang, dibutuhkan rasa percaya diri yang sangat besar.
“Ayo aku temani menemui gerombolan ibu-ibu yang ada di pojokan sekolah sana.” Kutarik tangannya setengah memaksa. Mira terseret-seret mengikuti langkahku.
“Wah… jangan saya yang ngomong. Aku nggak bisa ngomong, kamu saja yah yang ngomong. Duh…. Saya harus ngomong apa?” Mira semakin panik dan mencoba membebaskan pergelangan tangannya yang aku genggam dengan sangat erat. Aku menulikan telingaku. Tujuanku tetap, segerombolan ibu-ibu yang tampak sedang berbincang-bincang dengan asyik di pojokkan dekat taman itu. Mereka adalah ibu-ibu muda yang sedang menunggu anak-anaknya yang memang masih belum bisa ditinggal sekolah sendirian.
“Assalamu’alaikum ibu-ibu….” Sapaku langsung dan seperti koor langsung dibalas dengan ramai. Mira sudah tidak lagi tampak panik. Tangannya yang memegang saputangan aku genggam dengan sangat erat tapi tangan kirinya yang semula memegang kantong plastik hitam besar itu sudah tidak lagi memegang kantong tersebut. Kantong itu sudah digeletakkan di atas lantai semen. Tangan itu sedang mencari posisi yang nyaman untuk menutupi sebagian mulutnya. Duh, Mira.
“Ini nih, BU Mira mau nawarin sesuatu. Ayo Mir, tadi kamu mau nawarin apa?” Perlahan tubuh mungil Mira kudorongkan ke tengah ibu-ibu yang sudah memperhatikan kedatangan kami. Mira tergugu. Gugup dan sedikit panik. Tapi secara spontan dia langsung membuka mulut kantong plastik hitam besarnya. Tanpa dikomando ibu-ibu muda yang semula hanya ngobrol tak tentu arah dan tertawa-tawa itu mencomot tumpukan dagangan yang ada di tangan Mira. Beberapa langsung mengepas pakaian muslimah di badannya. Beberapa langsung mencari ukuran yang sesuai. Aku menepi tidak ikut-ikutan. Dari jauh aku perhatikan Mira yang semula diam saja mulai menjawab satu persatu pertanyaan yang diajukan oleh ibu-ibu yang mengelilingi dagangannya. Lambat laut sikap gugup dan paniknya sirna dan senyuman merekah kian permanen di wajahnya yang memang sudah manis.
Beberapa minggu kemudian, Mira tampak memberiku sebuah hadiah.
“Apa ini Mir?”
“Buat kamu.” Sebuah kotak segi empat. Tanpa bungkus kado hanya ditempel dengna isolasi saja. Perlahan isolasi aku buka dan isinya pun sebentar kemudian bisa terlihat dengan jelas. Sebuah kue coklat berbentuk segiempat ukuran 10 x 10 cm3. Alhamdulillah.
“Bikin sendiri yah?”
“Iyah. Kemarin aku nyoba resep. Coba deh, enak nggak? Suamiku bilang kue buatanku enak. Tpai aku nggak yakin karena dalam pujian yang diberikan oelh suamiku memang tidak pernah ada kata tidak enak atau kurang bagus. Aku mau minta komentar kamu. Jujur deh, apa pendapatmu?” Mira bertanya sambil menatapku dengan rasa ingin tahunya.
Sudah dua minggu ini dia tidak pernah lagi membawa saputangan yang selalu setia menemaninya kemana pun dia pergi. Kini kemana-mana tangannya sibuk membawa kantong plastik besar berwarna hitam yang berisi barang dagangan. Mira termasuk temanku yang sukses dengan barang dagangannya. Seleranya dalam memilih barang dagangan yang ingin ditawarkan lumayan bagus. Baju-bamuyang dia tawarkan selalu manis baik model maupun warnanya. Harganya juga tidak terlalu mahal apalagi dengan sistem penawaran model kreditan beberapa kali bayar. Dalam tempo satu bulan setelah dia pertama kali mencoba berdagang dahulu, bukan Mira yang mencari pembeli tapi pembeli justru yang bertanya padanya apakah dia punya stok dagangan. Mira memang punya bakat besar dalam berdagang. Aku mencolek kue coklat buatan Mira. Kue coklat memang kegemaranku.
“Hmm… enak nih. Cuma sedikit pahit. Kamu campur kopi yah?” Aku bertanya sambil tak henti mencolek kue coklat buatan Mira. Mira mengangguk sambil tersenyum.
“Iyah. Sebab coklat mahal. Tapi kalau pakai kurang coklat jadi kurang pekat warnanya jadi aku tambahin kopi.” Senyumnya mengembang.
“Cerdik. Tapi kurang jujur tuh.”
“Loh… namanya juga usaha. Kalau terlalu jujur nanti aku nggak dapat untung lagi.”
“Masa iyah sih nggak untung sama sekali?”
“Eh.. untung sih, tapi sedikit, tahu.”
“yah sudah terserah kamu deh Mir. Toh yang harus bertanggung jawab di akhirat kelak juga kamu sendiri, bukan orang lain. Tapi aku sendiri, hmm… kalau lagi bungkus paket sembako pun aku tidak pernah memasukkan kopi dalam paket sembakoku.”
“Kenapa? Kopi kan banyak suka lagi.”
“Iyah sih. Tapi aku nggak pingin karena ada unsur lain dari kopi yang masih diperdebatkan apakah baik bagi kesehatan atau tidak. Aku sendiri karena perdebatan itu menghindari minum kopi. Terus kenapa juga harus ngasih orang lain yang kita sendiri kalau dikasih pilihan malah tidak memilihnya? Eh…. Tapi itu mah terserah keyakinan masing-masing. “ Mira terdiam mendengar perkataanku.
“Eh.. gimana perkembangan dagangannya?” Aku mencoba memecah kekakuan yang tiba-tiba terjadi antara aku dan Mira. Senyumnya langsung terkembang.
“Maju pesat. Suamiku saja sampai keheranan melihat ternyata aku tuh bisa juga dagang.”
Lalu Mira asyik bercerita tentang semua pujian dan kekaguman suaminya yang ditujukan untuk dirinya. Juga tentang semua dagangannya yang selalu laris manis. Juga tentang perkembangan keuangan keluarganya yang meningkat pesat. Lalu tentang rencananya untuk membantu keluarganya. Terus dan terus seakan hidupnya akan berlangsung seribu tahun lagi.
Terkadang untuk memulai sesuatu itu, selalu muncul keraguan akan batas kemampuan yang kita miliki. Dimana saja, ketika melihat beberapa undakan anak tangga yang harus kita daki, yang pertama kali keluar dari dalam kepala adalah pertanyaan, apakah saya mampu mendakinya?
Tapi, siapapun orangnya, tak akan pernah tahu batas sesungguhnya dari semua kapasitas yang dia miliki jika dia tidak pernah mencoba dengan langkah awal. Sama seperti bocah yang tidak akan pernah bisa berjalan jika tak pernah memulai belajar untuk melangkah. Bukankah untuk bisa sampai ke puncak tertinggi selalu dimulai dari anak tangga yang paling bawah? Karenanya, Jangan pernah memberi penilaian rendah terhadap kemampuan yang kita miliki jika ternyata kita tidak pernah berusaha untuk menggalinya semaksimal mungkin.. Bukankah Allah tidak pernah memberi cobaan di luar kemampuan hamba-Nya? Lalu, apa yang mendorong kita ragu pada kemampuan diri sendiri untuk mencoba lebih baik lagi dari sekarang? Selamat berusaha.
Sumber inspirasi : kiriman sahabat
melalui email, serta beberapa majalah dan buku kumpulan cerpen