☼ Bening Hati | contoh
cerpen karangan Anak bangsa ☼
Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh saudara saudariku
sobat asa blog yang kucintai karena Allah subhanawataalla. Asa blog
sendiri ingin menjawab keinginan sahabat
untuk membaca cerpen cerpen buatan anak bangsa Indonesia,
Berikut cerpennya selamat membaca kawan . J
Ayah, bunda, aku, dan dua adikku hampir
menyelesaikan sarapan pagi di meja makan. Perutku sudah terasa penuh. Perlahan
kuposisikan sendok seperti sudah selesai.
“Lidya, habiskan makanannya! Jangan ajari adik-adikmu dengan tindakan seperti itu!” kata bunda sembari menatapku tajam. Aku nyengir.
“Tapi, Bunda. Lidya udah kenyang. Lagian Lidya buru-buru mau berangkat,” tangkisku mencoba membela diri.
Aku memang sudah kenyang. Entah kenapa, rasanya tadi cuma ngambil sedikit, kok nggak habis juga ya. Kulihat adik-adikku, Salma yang masih kelas 1 SMU dan Sheila kelas 2 SMP. Mereka menatapku dan bunda bergantian. Mereka tersenyum takut-takut.
“Ada apa dengan kalian? Cepat habiskan sarapan, baru berangkat!” perintah Bunda.
“Ehmmm... Salma juga udah kenyang, Bunda. Tau nih, kenapa cepat sekali kenyang ya? Padahal ngambil nasinya nggak begitu banyak. Kalau lauknya sih iya, hihihi...” Salma memamerkan senyum lebar.
“Sheila juga nggak habis, Bunda. Tapi, Sheila cuma nyisain sedikit ‘kan?”
Huh! Dasar Sheila. Aku sedikit tersenyum dengan tingkahnya.
“Justru kenapa tidak dihabisin kalau udah tahu tinggal sedikit?”
“Tapi, Bunda...”
“Tidak ada tapi-tapian. Tinggal dua sendok saja. Ayo habiskan!”
Pandangan Bunda mengkilat, seperti benar-benar memarahi. Sheila keder juga dengan tatapan itu. Diraihnya sendok, disurukkannya ke nasi berkuah itu. Pelan. Akhirnya, sesendok demi sesendok nasi itu dihabiskan juga.
“Nah, nasi ayah udah habis ‘kan? Mestinya kalian bisa mencontoh ayah dong! Lidya, Salma, habiskan makanan kalian!” kata ayah yang akhirnya bersuara juga.
Aku dan Sheila nyengir. Masih enggan mau meraih sendok.
“Ayah juga sih. Bukannya kemarin ayah juga pernah nyisain nasi makan juga?” sergah Bunda agak sewot.
“Ah, itu ‘kan cuma sekali kemarin saja, Ma.”
Mi... do do sol... do do mi...
Ups! Dering sms dari HP-ku. Tanganku merogoh saku. Pesan langsung kubuka. Dari Cheppy.
Lid, kmu dimana sih? Masa dah salam 2x nggak dibalas jg? Apa kamu dah brngkt? Aku di dpn rumahmu nih! Yuk brngkt skrng! Jgn lupa kt ada tanggungan di kmps.
Aku menatap Bunda yang balas menatapku tajam.
“Bunda, Lidya ke depan dulu. Cheppy udah nunggu dari tadi,” pamitku sambil tersenyum. Aku segera bangkit dai kursi. Tak berani kutatap lama-lama mata tegas Bunda pagi ini.
“Hai, Chep. Assalamu ‘alaikum. Udah lama ya? Maaf, aku lagi makan bareng ayah bunda di belakang. Jadi, nggak dengar teriakan salammu,” kataku sambil tersenyum.
“Makan apa makan sih? Masa nggak dengar sama sekali?” tanya Cheppy bermimik kesal. Tapi, kemudian dia tersenyum.
“Ye... suaramu aja yang lemah lembut,” senyumku mengiringi perkataanku.
“Udah... udah... kita berangkat aja. Udah pamit belum ama Abi dan Ummi? Sudah jam setengah tujuh nih,” kata Cheppy yang memandangi jam mungil di lengan kanannya.
“Bentar ya, aku pamit dulu.”
Suara denting di meja makan sudah sunyi. Eh, tapi ayah bunda masih di situ.
“Ayah, Bunda, Lidya berangkat dulu. Takut terlambat. Kasihan si Cheppy sudah lama menunggu di luar.”
“Apa kamu tidak kasihan melihat masakan bundamu ini kauhamburkan begitu saja?” tanya ibu dengan tatapan lebih tajam.
Aku menunduk perlahan karena tak mampu menjawab. Tak kusangka bakal tercipta pertanyaan seperti itu.
“Sudahlah, Ma. Nanti Lidya terlambat. Lain kali saja kita bicarakan masalah ini. Ya?” bujuk ayah yang berusaha menenangkan suasana.
“Tapi, Pa? Kita...”
Sejenak ibu terdiam.
“Ya sudah. Kalian segera berangkat. Lain kali, Bunda tidak mau melihat kalian melakukan seperti ini lagi. Mengerti?” nada suara tinggi Bunda keluar. Kelihatannya Bunda marah. Aku hanya menunduk.
“Lidya, cepatlah berangkat! Salma, Sheila, juga harus segera berangkat. Kalian jangan sampai terlambat.”
Semua berpencar dari meja makan. Aku segera mengambil tas di kamar. Setelah berpamitan dan tak lupa cium tangan, aku menjemput Cheppy di luar pintu.
“Ada apa sih, Lid? Kok lama banget?” tanya Cheppy dengan kening berkerut.
Aku tersenyum.v“Ah. Tidak ada apa-apa. Yuk, berangkat sekarang!”
Kami berjalan beriring menuju stasiun Cikini. Cheppy mulai bercerita rencana panitia Seminar Teknologi Fasilkom UI. Namun, aku tak bisa menyimak rencana Cheppy. Pikiranku masih terpaku pada perkataan dan pertanyaan Bunda. Ada apa dengan Bunda pagi ini? Sepertinya lain daripada hari-hari yang lalu. Ada satu pertanyaan yang begitu mengagetkanku hari ini. Apa kamu tidak kasihan melihat masakan bundamu ini kauhamburkan begitu saja?
--- 0 o 0 ---
Hufff! Capek sekali hari ini. Seharian kuliah, ngurusin surat-surat buat acara Seminar Teknologi bulan depan, dan lain-lain. Duuuh! Penat asli. Pusing lagi. Kupandangi langit-langit putih bersih kamarku. Aku tersenyum.
“Lidya... bangun! Sudah hampir Maghrib masih tidur juga. Mandi sana, jangan sampai ketinggalan sholat jamaah!”
“Astaghfirullah.”
Aku setengah kaget ketika dibangunkan Bunda. Aku langsung duduk. Kepalaku pening.
“Hayo... segera mandi sana!” perintah bunda sekali lagi.
“Iya, Bunda.”
Kuambil handuk lalu menuju kamar mandi. Guyuran air membuat rasa penat tubuhku terasa lebih nyaman. Tapi, rasanya badan jadi lebih hangat. Pusing kepala juga masih ada. Ah... sudahlah.
Selesai mandi aku langsung ganti baju dan menuju mushola di dalam rumah kami. Ayah, bunda, Salma, Sheila sudah duduk menanti maghrib. Sudah menjadi kebiasaan kami untuk selalu berusaha sholat berjamaah meskipun di rumah.
Suara adzan dari jauh sudah terdengar. Setelah adzan selesai, ayah menyuarakan iqamah. Lalu beliau memimpin sholat. Selesai sholat, masing-masing tenggelam dalam dzikir beberapa saat.
Ayah memimpin doa. Kalimatnya mengalun perlahan. Mula-mula dengan bahasa Arab. Sebelum akhir, ayah mengucapkan doa,
“Yaa Allah, begitu banyak nikmat kasihmu untuk kami, yaa Allah. Begitu melimpah rizki yang Engkau berikan kepadaku dan keluargaku. Yaa Allah, jangan sampai aku menjadi kufur atas semua ini yaa Allah. Jangan biarkan aku terlena dari rasa belas kasih kepada fakir miskin. Janganlah... kau biarkan kami terhanyut dalam nikmatmu tanpa pernah bersyukur kepadamu. Yaa Allah, ampunilah dosa kami yaa Allah. Ampunilah... dosa kami... Ampunilah... dosa kami...”
Isak ayah terdengar pelan. Ditambah dengan gemetar suaranya sudah cukup menandakan bahwa beliau menangis. Kulirik bunda di sampingku yang turut mengisak. Aku hanya melelehkan air mata. Yaa Allah, ampunilah dosa kami...
Selesai berdoa, Bunda menyalami dan mencium tangan ayah, lalu aku dan adik-adikku bergantian. Lalu aku menyalami dan mencium tangan bunda diikuti Salma dan Sheila juga. Kami bersyukur masih diberi kesempatan melakukan sholat sampai detik ini.
Selesai sholat semua menuju ruang makan. Sebenarnya aku agak malas untuk makan. Kepalaku masih sedikit pening. Tapi, kupaksakan juga menuju ruang makan. Ayah, bunda, dan adik-adikku sudah sampai duluan di sana.
“Ada apa denganmu, Lidya? Kamu sakit?” tanya bunda lembut. Jauh sekali dari sikapnya tadi pagi. Aku jadi malu.
“Ah... tidak bunda. Hanya sedikit pusing saja. Nanti juga hilang. Mungkin gara-gara kecapekan tadi,” kataku menenangkan.
“Ya sudah. Ayo segera duduk! Kita makan sama-sama. Ayah yang pimpin doa ya!” pinta Bunda.
Ayah berdehem sesaat.
“Baiklah istriku dan anak-anakku,” kata ayah memulai. Kontan Bunda, aku dan adik-adikku tersenyum mendengar perkataan khas ayah yang selalu terkesan lucu.
“Mari kita syukuri segala nikmat ini. Ingatlah, tiada yang sanggup menyampaikan makanan ini ke meja makan kita melainkan Allah. Kita harus selalu mengingat itu. Harus. Karena itu, mari sama-sama bedoa kepada Allah, semoga rizki yang kita nikmati hari ini adalah rizki yang halal dan barakah. Berdoa dimulai. Bismillahirrahmanirrahim...”
Suara ayah makin pelan. Kami semua tertunduk berusaha khusyu. Beberapa detik kemudian acara makan dimulai.
“Ehmmm, sayurnya enak, Ma. Apa ini resep baru lagi? Gimana anak-anak, enak ‘kan masakan bundamu hari ini?” tanya ayah.
“Iya, Pa. Tooop deh. Jempol,” kata adikku, Sheila.
“Iya, Bunda. Masakan hari ini enak sekali. Boleh nambah ‘kan, Bunda?”
Dasar Salma.
Aku hanya tersenyum menimpali perkataan adik-adikku. Kulihat Bunda tersenyum juga. Acara makan diteruskan. Kenyang pun mulai datang. Semua merasa lega. Ayah terdengar mengucapkan alhamdulillah.
“Kenyang, Yah.”
“Heeh.”
“Bunda...”
Lho? Kenapa Bunda malah menitikkan air mata? Aku bingung. Kulihat wajah adik-adikku dan ayah. Sepertinya mimik mereka pun mirip denganku.
“Bunda kenapa?” Sheila berani angkat bicara.
Bunda malah mengisak.
“Apa masakan Bunda kurang enak?” tanya Bunda.
“Enak kok, Bunda. Siapa yang bilang tidak. Cuma Mbak Lidya yang nggak bilang?”
Kucubit lengan Salma dengan gemas. Dia meringit dan cemberut.
“Tidak kok. Masakan Bunda memang enak. Kenapa Bunda menangis?” tanyaku penasaran. Apa yang salah?
“Kalau masakan bunda enak, kenapa tidak kalian habiskan?” tanya bunda sambil memandangi kami dengan berkaca-kaca.
Aku tak sanggup menatap kilau dari air mata yang berlinang itu. Aku memang selalu tak tega melihat Bunda menangis. Sembari menunduk kuawasi masing-masing piring ayah, Salma, dan Sheila. Aku menghela nafas.
“Salma, Sheila, dan kau juga Lidya. Bunda sedih melihat tingkah laku kalian. Mungkin ini soal sepele bagi kalian. Tapi, bagi bunda, tidak. Bunda sangat sedih dan sebenarnya marah melihat kalian seringkali menyisakan nasi makan kalian.”
Bunda diam mengatur nafas sejenak.
“Dulu... bunda juga tidak begitu mempersoalkan tentang ini. Tapi, tidakkah kalian ingat bahwa sebutir nasi pun yang kalian buang itu... sangat berarti bagi mereka yang miskin dan kelaparan? Tidakkah kalian bayangkan... jika kalian harus seperti... mereka yang tak pernah cukup makan itu? Bunda tak rela melihat nasi tercecer di piring kalian meski sebutir pun.”
Air mata Bunda kian berlinang.
“Bunda sudah berusaha ingatkan kalian satu minggu ini, menasehati kalian. Bunda tidak tahu. Apakah setelah ini kalian tetap tidak mau mendengar nasehat Bunda. Terserah. Mungkin Bunda yang harus belajar mendidik kalian dengan lebih baik. Kali ini, Bunda merasa gagal. Bunda kecewa dengan bunda sendiri.”
Bunda bangkit dari kursi lalu berjalan menjuhi meja makan. Tak lama kemudian terdengar suara pintu kamar ditutup.
Aku, Salma, dan Sheila terpekur memahami perkataan bunda. Belum ada yang berani beranjak meninggalkan meja makan.
“Nah, anak-anakku. Kalian sudah melihat sendiri ‘kan? Bagaimana sedihnya bundamu melihat kalian menyia-nyiakan nasi makanmu itu. Semua yang bunda katakan itu benar. Mestinya kalian bersyukur atas rizki dari Allah. Salah satu caranya adalah dengan memanfaatkan rizki itu dengan baik. Bukan malah menyia-nyiakan seperti itu.”
Aku mengangkat muka menatap ayah. Seulas senyum ada di bibirnya. Ayah sama sekali tidak menunjukkan marah. Rongga dadaku terasa lapang karenanya.
“Mengertilah. Sudah lupakah kalian dengan doa waktu habis sholat tadi? Seharusnya kalian belajar anak-anakku. Belajar mengerti nasib orang lain. Jangan melakukan tindakan mubazir seperti itu. Kelihatannya memang sepele. Karena kalian menyisakan nasi itu hanya sesendok atau dua sendok saja. Tapi, coba pikirlah dengan pikiran yang jernih dan hati yang bening. Jika hampir semua orang yang berkecukupan melakukan pemborosan seperti itu, apa yang akan terjadi?”
Ayah berhenti sejenak.
“Yang pasti, betapa banyak nasi yang terbuang yang sebenarnya bisa digunakan untuk memberi makan fakir miskin. Kalian mengerti?”
Aku mengangguk, kulihat Salma dan Sheila mengangguk juga.
“Iya, Yah. Kami mengerti,” jawabku meyakinkan.
“Syukurlah. Mudah-mudahan ini bisa jadi pelajaran untuk kita. Mintalah maaf kepada bunda kalian. Ayah mau ke tempat Pak Ajat di rumah sebelah. Ayah pergi dulu,” kata ayah sembari bangkit dari kursi.
Sepeninggal ayah, aku dan adik-adikku masih takut-takut ke kamar Bunda.
“Ayolah. Kak Lidya duluan. Salma nggak berani,” desak Salma dengan mimik takut. Kelihatannya dia benar-benar merasa bersalah.
“Iya. Sheila di belakang Kak Lidya aja,” timpal Sheila.
“Ya udah. Kita bertiga barengan ke tempat Bunda. Yuk!” ajakku sambil mendahului bangkit dari kursi. Kulangkahkan kaki ke kamar bunda. Hati dan pikiranku masih menimang-nimang pelajaran sederhana yang begitu penting hari ini sambil menimang-nimang kata-kata permintaan maaf buat Bunda. Ah, Bunda. Begitu bening hatimu memikirkan hal yang kelihatan sepele. Anak-anakmu ini masih harus banyak belajar darimu.
Maafkan kami, Bunda. Ampuni kami, yaa Allah. Bimbinglah kami!
--- 0 o 0 ---
“Lidya, habiskan makanannya! Jangan ajari adik-adikmu dengan tindakan seperti itu!” kata bunda sembari menatapku tajam. Aku nyengir.
“Tapi, Bunda. Lidya udah kenyang. Lagian Lidya buru-buru mau berangkat,” tangkisku mencoba membela diri.
Aku memang sudah kenyang. Entah kenapa, rasanya tadi cuma ngambil sedikit, kok nggak habis juga ya. Kulihat adik-adikku, Salma yang masih kelas 1 SMU dan Sheila kelas 2 SMP. Mereka menatapku dan bunda bergantian. Mereka tersenyum takut-takut.
“Ada apa dengan kalian? Cepat habiskan sarapan, baru berangkat!” perintah Bunda.
“Ehmmm... Salma juga udah kenyang, Bunda. Tau nih, kenapa cepat sekali kenyang ya? Padahal ngambil nasinya nggak begitu banyak. Kalau lauknya sih iya, hihihi...” Salma memamerkan senyum lebar.
“Sheila juga nggak habis, Bunda. Tapi, Sheila cuma nyisain sedikit ‘kan?”
Huh! Dasar Sheila. Aku sedikit tersenyum dengan tingkahnya.
“Justru kenapa tidak dihabisin kalau udah tahu tinggal sedikit?”
“Tapi, Bunda...”
“Tidak ada tapi-tapian. Tinggal dua sendok saja. Ayo habiskan!”
Pandangan Bunda mengkilat, seperti benar-benar memarahi. Sheila keder juga dengan tatapan itu. Diraihnya sendok, disurukkannya ke nasi berkuah itu. Pelan. Akhirnya, sesendok demi sesendok nasi itu dihabiskan juga.
“Nah, nasi ayah udah habis ‘kan? Mestinya kalian bisa mencontoh ayah dong! Lidya, Salma, habiskan makanan kalian!” kata ayah yang akhirnya bersuara juga.
Aku dan Sheila nyengir. Masih enggan mau meraih sendok.
“Ayah juga sih. Bukannya kemarin ayah juga pernah nyisain nasi makan juga?” sergah Bunda agak sewot.
“Ah, itu ‘kan cuma sekali kemarin saja, Ma.”
Mi... do do sol... do do mi...
Ups! Dering sms dari HP-ku. Tanganku merogoh saku. Pesan langsung kubuka. Dari Cheppy.
Lid, kmu dimana sih? Masa dah salam 2x nggak dibalas jg? Apa kamu dah brngkt? Aku di dpn rumahmu nih! Yuk brngkt skrng! Jgn lupa kt ada tanggungan di kmps.
Aku menatap Bunda yang balas menatapku tajam.
“Bunda, Lidya ke depan dulu. Cheppy udah nunggu dari tadi,” pamitku sambil tersenyum. Aku segera bangkit dai kursi. Tak berani kutatap lama-lama mata tegas Bunda pagi ini.
“Hai, Chep. Assalamu ‘alaikum. Udah lama ya? Maaf, aku lagi makan bareng ayah bunda di belakang. Jadi, nggak dengar teriakan salammu,” kataku sambil tersenyum.
“Makan apa makan sih? Masa nggak dengar sama sekali?” tanya Cheppy bermimik kesal. Tapi, kemudian dia tersenyum.
“Ye... suaramu aja yang lemah lembut,” senyumku mengiringi perkataanku.
“Udah... udah... kita berangkat aja. Udah pamit belum ama Abi dan Ummi? Sudah jam setengah tujuh nih,” kata Cheppy yang memandangi jam mungil di lengan kanannya.
“Bentar ya, aku pamit dulu.”
Suara denting di meja makan sudah sunyi. Eh, tapi ayah bunda masih di situ.
“Ayah, Bunda, Lidya berangkat dulu. Takut terlambat. Kasihan si Cheppy sudah lama menunggu di luar.”
“Apa kamu tidak kasihan melihat masakan bundamu ini kauhamburkan begitu saja?” tanya ibu dengan tatapan lebih tajam.
Aku menunduk perlahan karena tak mampu menjawab. Tak kusangka bakal tercipta pertanyaan seperti itu.
“Sudahlah, Ma. Nanti Lidya terlambat. Lain kali saja kita bicarakan masalah ini. Ya?” bujuk ayah yang berusaha menenangkan suasana.
“Tapi, Pa? Kita...”
Sejenak ibu terdiam.
“Ya sudah. Kalian segera berangkat. Lain kali, Bunda tidak mau melihat kalian melakukan seperti ini lagi. Mengerti?” nada suara tinggi Bunda keluar. Kelihatannya Bunda marah. Aku hanya menunduk.
“Lidya, cepatlah berangkat! Salma, Sheila, juga harus segera berangkat. Kalian jangan sampai terlambat.”
Semua berpencar dari meja makan. Aku segera mengambil tas di kamar. Setelah berpamitan dan tak lupa cium tangan, aku menjemput Cheppy di luar pintu.
“Ada apa sih, Lid? Kok lama banget?” tanya Cheppy dengan kening berkerut.
Aku tersenyum.v“Ah. Tidak ada apa-apa. Yuk, berangkat sekarang!”
Kami berjalan beriring menuju stasiun Cikini. Cheppy mulai bercerita rencana panitia Seminar Teknologi Fasilkom UI. Namun, aku tak bisa menyimak rencana Cheppy. Pikiranku masih terpaku pada perkataan dan pertanyaan Bunda. Ada apa dengan Bunda pagi ini? Sepertinya lain daripada hari-hari yang lalu. Ada satu pertanyaan yang begitu mengagetkanku hari ini. Apa kamu tidak kasihan melihat masakan bundamu ini kauhamburkan begitu saja?
--- 0 o 0 ---
Hufff! Capek sekali hari ini. Seharian kuliah, ngurusin surat-surat buat acara Seminar Teknologi bulan depan, dan lain-lain. Duuuh! Penat asli. Pusing lagi. Kupandangi langit-langit putih bersih kamarku. Aku tersenyum.
“Lidya... bangun! Sudah hampir Maghrib masih tidur juga. Mandi sana, jangan sampai ketinggalan sholat jamaah!”
“Astaghfirullah.”
Aku setengah kaget ketika dibangunkan Bunda. Aku langsung duduk. Kepalaku pening.
“Hayo... segera mandi sana!” perintah bunda sekali lagi.
“Iya, Bunda.”
Kuambil handuk lalu menuju kamar mandi. Guyuran air membuat rasa penat tubuhku terasa lebih nyaman. Tapi, rasanya badan jadi lebih hangat. Pusing kepala juga masih ada. Ah... sudahlah.
Selesai mandi aku langsung ganti baju dan menuju mushola di dalam rumah kami. Ayah, bunda, Salma, Sheila sudah duduk menanti maghrib. Sudah menjadi kebiasaan kami untuk selalu berusaha sholat berjamaah meskipun di rumah.
Suara adzan dari jauh sudah terdengar. Setelah adzan selesai, ayah menyuarakan iqamah. Lalu beliau memimpin sholat. Selesai sholat, masing-masing tenggelam dalam dzikir beberapa saat.
Ayah memimpin doa. Kalimatnya mengalun perlahan. Mula-mula dengan bahasa Arab. Sebelum akhir, ayah mengucapkan doa,
“Yaa Allah, begitu banyak nikmat kasihmu untuk kami, yaa Allah. Begitu melimpah rizki yang Engkau berikan kepadaku dan keluargaku. Yaa Allah, jangan sampai aku menjadi kufur atas semua ini yaa Allah. Jangan biarkan aku terlena dari rasa belas kasih kepada fakir miskin. Janganlah... kau biarkan kami terhanyut dalam nikmatmu tanpa pernah bersyukur kepadamu. Yaa Allah, ampunilah dosa kami yaa Allah. Ampunilah... dosa kami... Ampunilah... dosa kami...”
Isak ayah terdengar pelan. Ditambah dengan gemetar suaranya sudah cukup menandakan bahwa beliau menangis. Kulirik bunda di sampingku yang turut mengisak. Aku hanya melelehkan air mata. Yaa Allah, ampunilah dosa kami...
Selesai berdoa, Bunda menyalami dan mencium tangan ayah, lalu aku dan adik-adikku bergantian. Lalu aku menyalami dan mencium tangan bunda diikuti Salma dan Sheila juga. Kami bersyukur masih diberi kesempatan melakukan sholat sampai detik ini.
Selesai sholat semua menuju ruang makan. Sebenarnya aku agak malas untuk makan. Kepalaku masih sedikit pening. Tapi, kupaksakan juga menuju ruang makan. Ayah, bunda, dan adik-adikku sudah sampai duluan di sana.
“Ada apa denganmu, Lidya? Kamu sakit?” tanya bunda lembut. Jauh sekali dari sikapnya tadi pagi. Aku jadi malu.
“Ah... tidak bunda. Hanya sedikit pusing saja. Nanti juga hilang. Mungkin gara-gara kecapekan tadi,” kataku menenangkan.
“Ya sudah. Ayo segera duduk! Kita makan sama-sama. Ayah yang pimpin doa ya!” pinta Bunda.
Ayah berdehem sesaat.
“Baiklah istriku dan anak-anakku,” kata ayah memulai. Kontan Bunda, aku dan adik-adikku tersenyum mendengar perkataan khas ayah yang selalu terkesan lucu.
“Mari kita syukuri segala nikmat ini. Ingatlah, tiada yang sanggup menyampaikan makanan ini ke meja makan kita melainkan Allah. Kita harus selalu mengingat itu. Harus. Karena itu, mari sama-sama bedoa kepada Allah, semoga rizki yang kita nikmati hari ini adalah rizki yang halal dan barakah. Berdoa dimulai. Bismillahirrahmanirrahim...”
Suara ayah makin pelan. Kami semua tertunduk berusaha khusyu. Beberapa detik kemudian acara makan dimulai.
“Ehmmm, sayurnya enak, Ma. Apa ini resep baru lagi? Gimana anak-anak, enak ‘kan masakan bundamu hari ini?” tanya ayah.
“Iya, Pa. Tooop deh. Jempol,” kata adikku, Sheila.
“Iya, Bunda. Masakan hari ini enak sekali. Boleh nambah ‘kan, Bunda?”
Dasar Salma.
Aku hanya tersenyum menimpali perkataan adik-adikku. Kulihat Bunda tersenyum juga. Acara makan diteruskan. Kenyang pun mulai datang. Semua merasa lega. Ayah terdengar mengucapkan alhamdulillah.
“Kenyang, Yah.”
“Heeh.”
“Bunda...”
Lho? Kenapa Bunda malah menitikkan air mata? Aku bingung. Kulihat wajah adik-adikku dan ayah. Sepertinya mimik mereka pun mirip denganku.
“Bunda kenapa?” Sheila berani angkat bicara.
Bunda malah mengisak.
“Apa masakan Bunda kurang enak?” tanya Bunda.
“Enak kok, Bunda. Siapa yang bilang tidak. Cuma Mbak Lidya yang nggak bilang?”
Kucubit lengan Salma dengan gemas. Dia meringit dan cemberut.
“Tidak kok. Masakan Bunda memang enak. Kenapa Bunda menangis?” tanyaku penasaran. Apa yang salah?
“Kalau masakan bunda enak, kenapa tidak kalian habiskan?” tanya bunda sambil memandangi kami dengan berkaca-kaca.
Aku tak sanggup menatap kilau dari air mata yang berlinang itu. Aku memang selalu tak tega melihat Bunda menangis. Sembari menunduk kuawasi masing-masing piring ayah, Salma, dan Sheila. Aku menghela nafas.
“Salma, Sheila, dan kau juga Lidya. Bunda sedih melihat tingkah laku kalian. Mungkin ini soal sepele bagi kalian. Tapi, bagi bunda, tidak. Bunda sangat sedih dan sebenarnya marah melihat kalian seringkali menyisakan nasi makan kalian.”
Bunda diam mengatur nafas sejenak.
“Dulu... bunda juga tidak begitu mempersoalkan tentang ini. Tapi, tidakkah kalian ingat bahwa sebutir nasi pun yang kalian buang itu... sangat berarti bagi mereka yang miskin dan kelaparan? Tidakkah kalian bayangkan... jika kalian harus seperti... mereka yang tak pernah cukup makan itu? Bunda tak rela melihat nasi tercecer di piring kalian meski sebutir pun.”
Air mata Bunda kian berlinang.
“Bunda sudah berusaha ingatkan kalian satu minggu ini, menasehati kalian. Bunda tidak tahu. Apakah setelah ini kalian tetap tidak mau mendengar nasehat Bunda. Terserah. Mungkin Bunda yang harus belajar mendidik kalian dengan lebih baik. Kali ini, Bunda merasa gagal. Bunda kecewa dengan bunda sendiri.”
Bunda bangkit dari kursi lalu berjalan menjuhi meja makan. Tak lama kemudian terdengar suara pintu kamar ditutup.
Aku, Salma, dan Sheila terpekur memahami perkataan bunda. Belum ada yang berani beranjak meninggalkan meja makan.
“Nah, anak-anakku. Kalian sudah melihat sendiri ‘kan? Bagaimana sedihnya bundamu melihat kalian menyia-nyiakan nasi makanmu itu. Semua yang bunda katakan itu benar. Mestinya kalian bersyukur atas rizki dari Allah. Salah satu caranya adalah dengan memanfaatkan rizki itu dengan baik. Bukan malah menyia-nyiakan seperti itu.”
Aku mengangkat muka menatap ayah. Seulas senyum ada di bibirnya. Ayah sama sekali tidak menunjukkan marah. Rongga dadaku terasa lapang karenanya.
“Mengertilah. Sudah lupakah kalian dengan doa waktu habis sholat tadi? Seharusnya kalian belajar anak-anakku. Belajar mengerti nasib orang lain. Jangan melakukan tindakan mubazir seperti itu. Kelihatannya memang sepele. Karena kalian menyisakan nasi itu hanya sesendok atau dua sendok saja. Tapi, coba pikirlah dengan pikiran yang jernih dan hati yang bening. Jika hampir semua orang yang berkecukupan melakukan pemborosan seperti itu, apa yang akan terjadi?”
Ayah berhenti sejenak.
“Yang pasti, betapa banyak nasi yang terbuang yang sebenarnya bisa digunakan untuk memberi makan fakir miskin. Kalian mengerti?”
Aku mengangguk, kulihat Salma dan Sheila mengangguk juga.
“Iya, Yah. Kami mengerti,” jawabku meyakinkan.
“Syukurlah. Mudah-mudahan ini bisa jadi pelajaran untuk kita. Mintalah maaf kepada bunda kalian. Ayah mau ke tempat Pak Ajat di rumah sebelah. Ayah pergi dulu,” kata ayah sembari bangkit dari kursi.
Sepeninggal ayah, aku dan adik-adikku masih takut-takut ke kamar Bunda.
“Ayolah. Kak Lidya duluan. Salma nggak berani,” desak Salma dengan mimik takut. Kelihatannya dia benar-benar merasa bersalah.
“Iya. Sheila di belakang Kak Lidya aja,” timpal Sheila.
“Ya udah. Kita bertiga barengan ke tempat Bunda. Yuk!” ajakku sambil mendahului bangkit dari kursi. Kulangkahkan kaki ke kamar bunda. Hati dan pikiranku masih menimang-nimang pelajaran sederhana yang begitu penting hari ini sambil menimang-nimang kata-kata permintaan maaf buat Bunda. Ah, Bunda. Begitu bening hatimu memikirkan hal yang kelihatan sepele. Anak-anakmu ini masih harus banyak belajar darimu.
Maafkan kami, Bunda. Ampuni kami, yaa Allah. Bimbinglah kami!
--- 0 o 0 ---
Sumber inspirasi : dudung.net serta
beberapa majalah dan buku kumpulan cerpen