Bun | contoh cerpen karangan
SAYA LIHAT Bun di dalam masjid.
Dua hari lalu saya melayat ke rumahnya. Ayahnya meninggal. Ayah Bun adalah seorang pemuka agama. Sering berceramah di pengajian dan majelis taklim. Hampir setiap Jumat menjadi khatib, bergilir dari satu masjid ke masjid lain.
Banyak orang mengagumi kepandaian Ayah Bun bicara. Hampir setiap ceramahnya dipenuhi pengunjung. Sebagian sudah menjadi pengagum tetap. Ayah Bun pandai membawakan tema-tema agama dengan cara yang segar. Tak pernah membosankan.
Kebanyakan orang pun mencium tangan Ayah Bun jika bersua di jalan.
Tapi, itulah. Dua hari lalu, Ayah Bun meninggal. Banyak orang kehilangan namun dalam suasana bingung, tak percaya, kecewa, sangsi, dan marah.
Ayah Bun ditemukan mati dengan mulut berbusa pada sebuah malam. Tidak di rumahnya. Ia ditemukan sudah menjadi mayat, tergeletak kaku di sebuah kamar panti pijat. Ya, panti pijat. Dengan meninggalkan seorang wanita pemijat yang ketakutan dan berkeringat.
Ketika saya melayat, mata Ibu Bun, dua kakak Bun, dan seorang adik Bun yang mahasiswa, masih sembab. Bengkak bekas menangis menggunduk di bagian bawah mata mereka.
Bun tidak. Ia duduk diam di pojokan ruang depan. Tak di ruang keluarga, tempat jenazah Ayah Bun terbujur. Bun memang pucat tapi dengan ekspresi marah.
"Terima kasih. Terima kasih," itulah kalimat yang keluar dari mulutnya ketika saya menyalaminya, menyatakan ikut berduka cita. Ketika saya ikut mendoakan Ayahnya, Bun pun menjawab, "Jangan memaksakan diri. Jangan memaksakan diri. Biar saja."
Ternyata hanya kalimat-kalimat itulah yang keluar dari mulut Bun, setiap kali pelayat datang menyalaminya. Ia mengatakannya pada siapa saja.
"Terima kasih. Jangan memaksakan diri. Terima kasih. Jangan memaksakan diri. Biar saja."
***
SAYA LIHAT Bun di dalam masjid.
Saya menjejerinya, duduk pada shaf yang sama. Bun diam Pucat. Tak bergeming. Khotbah selesai. Kami semua berdiri, memulai shalat berjamaah. Tapi Bun diam saja. Tak bergeming. Bun tetap duduk. Dalam posisi itu pulalah saya temukan Bun, ketika shalat berjamaah usai. Bun tetap duduk. Diam. Tak bergeming.
Seusai shalat saya pertanyakan dan gugat ketidaksertaannya bershalat seperti jamaah lainnya. Ia bilang, "Tuhan tidak akan tertipu oleh banyaknya gerakan dan bacaan shalat kita. Bersujud dan diam hanya berbeda buat manusia. Tidak buat Tuhan. Tuhan tak bisa ditipu."
Bun adalah salah seorang teman terdekat saya. Ia dosen muda yang punya reputasi intelektual dan religius yang baik.
Bun, sebetulnya hanya nama panggilan. Ia memang bundar. Tak hanya fisik. Bagi saya ia bundar nyaris dalam segalanya. Jiwanya. Matanya. Pipinya. Wajahnya. Kepalanya. Badannya. Tekadnya. Semangatnya. Barangkali nyaris semuanya. Karena itu ia dipanggil Bun. Sebagian teman dekatnya sekarang bahkan sudah lupa nama aslinya. Saya, tentu saja tidak.
Bun sesekali menjadi khatib di masjid kampus. Di kali lain ia jadi pembicara diskusi, bedah buku, bahkan seminar. Bun memang pandai. Dan saleh. Kami satu angkatan. Kami nyaris senasib dan konon banyak punya kemiripan. Tentu dengan segenap kelebihan pada Bun dan kekurangan pada saya.
***
SAYA LIHAT Bun menjadi khatib.
Saya datang shalat Jumat terlambat, ketika bilal sudah beradzan dan khatib sudah di mimbar. Saya lihat Bun di mimbar. Wajahnya masih pucat seperti Jumat lalu. Tapi dengan baju koko putihnya, Ia terlihat jauh lebih bersih dan rapi. Inilah kali pertama Bun menjadi khatib setelah kematian tragis ayahnya.
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saya hadir di sini untuk mengingatkan diri sendiri dan jamaah agar semakin bertaqwa. Dan kita masing-masing tentu punya cara sendiri-sendiri untuk meningkatkan ketaqwaan itu."
Bun menghentikan khotbahnya. Wajahnya menatap ke depan. Ia terlihat tak melirik teks khotbahnya sedikit pun. Atau jangan-jangan ia berkhotbah tanpa teks seperti beberapa khotbahnya yang lain. Bun masih diam.
Lima detik. Tetap diam. Tujuh detik. Tetap diam. Satu menit. Tetap diam. Saya lihat sejumlah jamaah tak sabar menunggu Bun untuk melanjutkan. Ada suara napas-napas tertahan. Beberapa jamaah di belakang malah mulai berbisik satu sama lain.
Dua menit. Lima menit. Tujuh menit. Delapan menit. Bun tetap diam.
Masjid menjadi lebih gaduh. Seorang petugas masjid terlihat hendak mendekat ke Bun. Kelihatannya, ia ingin memastikan apakah Bun masih akan melanjutkan khotbahnya. Petugas itu kikuk. Ia terlihat ragu. Mungkin tak tahu bagaimana caranya berbicara dengan Bun, sang khatib. Mengajak khatib bicara, apalagi menegur dan menyuruhnya turun dari mimbar, kan tak pernah diatur caranya. Tak ada presedennya.
Jamaah makin gaduh. Beberapa jamaah yang mengenal reputasi Bun sebagai khatib, masih tetap tertib dan diam. Mungkin, mereka masih menunggu Bun bicara.
Tapi jamaah semakin gaduh. Petugas masjid yang ragu dan kikuk itu, akhirnya duduk kembali di tempatnya. Ia kelihatan bingung. Pandangannya beralih-alih, memandangi Bun lalu mengedarkan pandang ke kelompok-kelompok jamaah yang makin gaduh. Begitu berganti-ganti.
Bun tetap diam dengan mata menatap ke depan. Mukanya yang pucat kelihatan semakin memerah berwarna darah. Makin berseri.
Bun tetap diam. Sejumlah jamaah bahkan sudah ada yang berdiri, namun tak lama kemudian duduk lagi. Akhirnya Bun memang tetap tak mengeluarkan suara. Dua puluh menit. Bun pun nyaris tak bergerak. Ia hanya duduk di kursi khatib di menit ke-24, berdiri kembali beberapa saat kemudian, lalu diam selama enam menit sisanya.
Dan tiba-tiba dengan sangat tenang dan tegas Bun mengakhiri khotbahnya. "Aqimush-shalah. Tegakkanlah shalat. Wassalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh."
Seusai shalat Jumat, Bun diinterogasi di ruang sekretariat masjid. Beberapa pengurus masjid tampaknya marah. Untung, sejumlah pengurus teras masjid, termasuk ketua umum, yang puritan itu, sedang tak ada, barangkali bershalat di masjid lain.
Bun tetap diam. "Tuhan tak akan tertipu oleh ucapan khotbah. Banyak berbicara atau diam hanya berbeda buat jamaah. Tidak buat Tuhan. Tuhan tak bisa ditipu." Hanya ini yang keluar dari mulut Bun menjawab pertanyaan-pertanyaan gencar banyak orang.
***
SAYA MENDENGAR kabar mengagetkan itu.
Bun meninggal dunia! Ia meninggal di kamarnya dalam keadaan duduk dengan muka tersenyum dan wajah bersih.
Jenazah Bun pun dibawa ke fakultas. Fakultas memang punya tradisi- tradisi tertentu untuk menghormati civitas akademika kampus. Salah satunya, jika salah seorang anggota civitas akademika tutup usia, jenazahnya disemayamkan di kampus. Bun tak terkecuali.
Bun terbujur di aula gedung Dekanat. Wajahnya tersenyum, seolah sedang tidur nyenyak. Mukanya bersinar.
Orang-orang mendengar kematian Bun dari berita mulut ke mulut. Berbondong-bondong mahasiswa, dosen, karyawan, satpam melayat ke aula gedung Dekanat.
Tadinya tak ada antrean. Lalu antrean terbentuk berkelok-kelok di dalam gedung. Semua ingin melihat wajah Bun untuk yang terakhir kalinya.
Antrean kemudian memanjang keluar gedung. Ke tempat parkir. Ke lorong-lorong ruang kuliah. Ke semua gedung lantai satu. Lantai dua. Lantai tiga. Lantai empat. Ke fakultas sebelah. Ke fakultas-fakultas lain. Ke semua fakultas. Ke hutan-hutan tanaman langka milik kampus. Ke pinggiran danau buatan. Ke perpustakaan universitas. Ke laboratorium-laboratorium fakultas Teknik dan Ilmu Alam. Ke rumah sakit fakultas kedokteran. Ke kantin-kantin. Ke stasiun kampus. Ke halte-halte bus kampus. Ke lahan-lahan yang masih kosong. Ke taman- taman. Ke asrama mahasiswa. Ke asrama mahasiswi. Ke pondokan dan tempat kos di sekeliling pagar kampus.
Setiap pelayat menemukan dan menyimpulkan kesan masing-masing tentang Bun.
"Wajahnya bersih dan bersinar."
"Senyumnya sangat manis dan penuh keikhlasan."
"Ganteng sekali, jauh lebih ganteng dibanding semasa hidup."
"Semua bagian tubuhnya bundar-bundar. Tetapi indah. Luar biasa indah."
Yang mengherankan semua orang, aula Dekanat semerbak wangi bau melati. Tak ada bau yang tersebar dari tubuh-tubuh pengantre yang bermandi keringat, basah kuyup, saking sesaknya. Semua orang berkesimpulan sama. Betapa nyaman berada di dekat jenazah Bun. Betapa lega, lapang dan sejuknya aula Dekanat yang sesak itu.
Di depan jenazah, semua pelayat mendekatkan wajahnya ke wajah Bun. Mereka pun bisa membaca sebuah tulisan tangan di atas kain kapan, tepat di atas perut Bun.
"Tuhan tak akan tertipu oleh kehidupan dan kematian. Mati dan hidup hanya berbeda buat manusia. Tidak buat Tuhan. Tuhan tak bisa ditipu."
Saya sangat kenal tulisan tangan Bun. Saya pastikan, itu tulisan tangan Bun sendiri.
Depok, 19 Januari - 17 April 1996
Untuk Eneng dan Kaka
republika.co.id
Dua hari lalu saya melayat ke rumahnya. Ayahnya meninggal. Ayah Bun adalah seorang pemuka agama. Sering berceramah di pengajian dan majelis taklim. Hampir setiap Jumat menjadi khatib, bergilir dari satu masjid ke masjid lain.
Banyak orang mengagumi kepandaian Ayah Bun bicara. Hampir setiap ceramahnya dipenuhi pengunjung. Sebagian sudah menjadi pengagum tetap. Ayah Bun pandai membawakan tema-tema agama dengan cara yang segar. Tak pernah membosankan.
Kebanyakan orang pun mencium tangan Ayah Bun jika bersua di jalan.
Tapi, itulah. Dua hari lalu, Ayah Bun meninggal. Banyak orang kehilangan namun dalam suasana bingung, tak percaya, kecewa, sangsi, dan marah.
Ayah Bun ditemukan mati dengan mulut berbusa pada sebuah malam. Tidak di rumahnya. Ia ditemukan sudah menjadi mayat, tergeletak kaku di sebuah kamar panti pijat. Ya, panti pijat. Dengan meninggalkan seorang wanita pemijat yang ketakutan dan berkeringat.
Ketika saya melayat, mata Ibu Bun, dua kakak Bun, dan seorang adik Bun yang mahasiswa, masih sembab. Bengkak bekas menangis menggunduk di bagian bawah mata mereka.
Bun tidak. Ia duduk diam di pojokan ruang depan. Tak di ruang keluarga, tempat jenazah Ayah Bun terbujur. Bun memang pucat tapi dengan ekspresi marah.
"Terima kasih. Terima kasih," itulah kalimat yang keluar dari mulutnya ketika saya menyalaminya, menyatakan ikut berduka cita. Ketika saya ikut mendoakan Ayahnya, Bun pun menjawab, "Jangan memaksakan diri. Jangan memaksakan diri. Biar saja."
Ternyata hanya kalimat-kalimat itulah yang keluar dari mulut Bun, setiap kali pelayat datang menyalaminya. Ia mengatakannya pada siapa saja.
"Terima kasih. Jangan memaksakan diri. Terima kasih. Jangan memaksakan diri. Biar saja."
***
SAYA LIHAT Bun di dalam masjid.
Saya menjejerinya, duduk pada shaf yang sama. Bun diam Pucat. Tak bergeming. Khotbah selesai. Kami semua berdiri, memulai shalat berjamaah. Tapi Bun diam saja. Tak bergeming. Bun tetap duduk. Dalam posisi itu pulalah saya temukan Bun, ketika shalat berjamaah usai. Bun tetap duduk. Diam. Tak bergeming.
Seusai shalat saya pertanyakan dan gugat ketidaksertaannya bershalat seperti jamaah lainnya. Ia bilang, "Tuhan tidak akan tertipu oleh banyaknya gerakan dan bacaan shalat kita. Bersujud dan diam hanya berbeda buat manusia. Tidak buat Tuhan. Tuhan tak bisa ditipu."
Bun adalah salah seorang teman terdekat saya. Ia dosen muda yang punya reputasi intelektual dan religius yang baik.
Bun, sebetulnya hanya nama panggilan. Ia memang bundar. Tak hanya fisik. Bagi saya ia bundar nyaris dalam segalanya. Jiwanya. Matanya. Pipinya. Wajahnya. Kepalanya. Badannya. Tekadnya. Semangatnya. Barangkali nyaris semuanya. Karena itu ia dipanggil Bun. Sebagian teman dekatnya sekarang bahkan sudah lupa nama aslinya. Saya, tentu saja tidak.
Bun sesekali menjadi khatib di masjid kampus. Di kali lain ia jadi pembicara diskusi, bedah buku, bahkan seminar. Bun memang pandai. Dan saleh. Kami satu angkatan. Kami nyaris senasib dan konon banyak punya kemiripan. Tentu dengan segenap kelebihan pada Bun dan kekurangan pada saya.
***
SAYA LIHAT Bun menjadi khatib.
Saya datang shalat Jumat terlambat, ketika bilal sudah beradzan dan khatib sudah di mimbar. Saya lihat Bun di mimbar. Wajahnya masih pucat seperti Jumat lalu. Tapi dengan baju koko putihnya, Ia terlihat jauh lebih bersih dan rapi. Inilah kali pertama Bun menjadi khatib setelah kematian tragis ayahnya.
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saya hadir di sini untuk mengingatkan diri sendiri dan jamaah agar semakin bertaqwa. Dan kita masing-masing tentu punya cara sendiri-sendiri untuk meningkatkan ketaqwaan itu."
Bun menghentikan khotbahnya. Wajahnya menatap ke depan. Ia terlihat tak melirik teks khotbahnya sedikit pun. Atau jangan-jangan ia berkhotbah tanpa teks seperti beberapa khotbahnya yang lain. Bun masih diam.
Lima detik. Tetap diam. Tujuh detik. Tetap diam. Satu menit. Tetap diam. Saya lihat sejumlah jamaah tak sabar menunggu Bun untuk melanjutkan. Ada suara napas-napas tertahan. Beberapa jamaah di belakang malah mulai berbisik satu sama lain.
Dua menit. Lima menit. Tujuh menit. Delapan menit. Bun tetap diam.
Masjid menjadi lebih gaduh. Seorang petugas masjid terlihat hendak mendekat ke Bun. Kelihatannya, ia ingin memastikan apakah Bun masih akan melanjutkan khotbahnya. Petugas itu kikuk. Ia terlihat ragu. Mungkin tak tahu bagaimana caranya berbicara dengan Bun, sang khatib. Mengajak khatib bicara, apalagi menegur dan menyuruhnya turun dari mimbar, kan tak pernah diatur caranya. Tak ada presedennya.
Jamaah makin gaduh. Beberapa jamaah yang mengenal reputasi Bun sebagai khatib, masih tetap tertib dan diam. Mungkin, mereka masih menunggu Bun bicara.
Tapi jamaah semakin gaduh. Petugas masjid yang ragu dan kikuk itu, akhirnya duduk kembali di tempatnya. Ia kelihatan bingung. Pandangannya beralih-alih, memandangi Bun lalu mengedarkan pandang ke kelompok-kelompok jamaah yang makin gaduh. Begitu berganti-ganti.
Bun tetap diam dengan mata menatap ke depan. Mukanya yang pucat kelihatan semakin memerah berwarna darah. Makin berseri.
Bun tetap diam. Sejumlah jamaah bahkan sudah ada yang berdiri, namun tak lama kemudian duduk lagi. Akhirnya Bun memang tetap tak mengeluarkan suara. Dua puluh menit. Bun pun nyaris tak bergerak. Ia hanya duduk di kursi khatib di menit ke-24, berdiri kembali beberapa saat kemudian, lalu diam selama enam menit sisanya.
Dan tiba-tiba dengan sangat tenang dan tegas Bun mengakhiri khotbahnya. "Aqimush-shalah. Tegakkanlah shalat. Wassalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh."
Seusai shalat Jumat, Bun diinterogasi di ruang sekretariat masjid. Beberapa pengurus masjid tampaknya marah. Untung, sejumlah pengurus teras masjid, termasuk ketua umum, yang puritan itu, sedang tak ada, barangkali bershalat di masjid lain.
Bun tetap diam. "Tuhan tak akan tertipu oleh ucapan khotbah. Banyak berbicara atau diam hanya berbeda buat jamaah. Tidak buat Tuhan. Tuhan tak bisa ditipu." Hanya ini yang keluar dari mulut Bun menjawab pertanyaan-pertanyaan gencar banyak orang.
***
SAYA MENDENGAR kabar mengagetkan itu.
Bun meninggal dunia! Ia meninggal di kamarnya dalam keadaan duduk dengan muka tersenyum dan wajah bersih.
Jenazah Bun pun dibawa ke fakultas. Fakultas memang punya tradisi- tradisi tertentu untuk menghormati civitas akademika kampus. Salah satunya, jika salah seorang anggota civitas akademika tutup usia, jenazahnya disemayamkan di kampus. Bun tak terkecuali.
Bun terbujur di aula gedung Dekanat. Wajahnya tersenyum, seolah sedang tidur nyenyak. Mukanya bersinar.
Orang-orang mendengar kematian Bun dari berita mulut ke mulut. Berbondong-bondong mahasiswa, dosen, karyawan, satpam melayat ke aula gedung Dekanat.
Tadinya tak ada antrean. Lalu antrean terbentuk berkelok-kelok di dalam gedung. Semua ingin melihat wajah Bun untuk yang terakhir kalinya.
Antrean kemudian memanjang keluar gedung. Ke tempat parkir. Ke lorong-lorong ruang kuliah. Ke semua gedung lantai satu. Lantai dua. Lantai tiga. Lantai empat. Ke fakultas sebelah. Ke fakultas-fakultas lain. Ke semua fakultas. Ke hutan-hutan tanaman langka milik kampus. Ke pinggiran danau buatan. Ke perpustakaan universitas. Ke laboratorium-laboratorium fakultas Teknik dan Ilmu Alam. Ke rumah sakit fakultas kedokteran. Ke kantin-kantin. Ke stasiun kampus. Ke halte-halte bus kampus. Ke lahan-lahan yang masih kosong. Ke taman- taman. Ke asrama mahasiswa. Ke asrama mahasiswi. Ke pondokan dan tempat kos di sekeliling pagar kampus.
Setiap pelayat menemukan dan menyimpulkan kesan masing-masing tentang Bun.
"Wajahnya bersih dan bersinar."
"Senyumnya sangat manis dan penuh keikhlasan."
"Ganteng sekali, jauh lebih ganteng dibanding semasa hidup."
"Semua bagian tubuhnya bundar-bundar. Tetapi indah. Luar biasa indah."
Yang mengherankan semua orang, aula Dekanat semerbak wangi bau melati. Tak ada bau yang tersebar dari tubuh-tubuh pengantre yang bermandi keringat, basah kuyup, saking sesaknya. Semua orang berkesimpulan sama. Betapa nyaman berada di dekat jenazah Bun. Betapa lega, lapang dan sejuknya aula Dekanat yang sesak itu.
Di depan jenazah, semua pelayat mendekatkan wajahnya ke wajah Bun. Mereka pun bisa membaca sebuah tulisan tangan di atas kain kapan, tepat di atas perut Bun.
"Tuhan tak akan tertipu oleh kehidupan dan kematian. Mati dan hidup hanya berbeda buat manusia. Tidak buat Tuhan. Tuhan tak bisa ditipu."
Saya sangat kenal tulisan tangan Bun. Saya pastikan, itu tulisan tangan Bun sendiri.
Depok, 19 Januari - 17 April 1996
Untuk Eneng dan Kaka
republika.co.id