☼ Gara-gara Gosip | contoh cerpen karangan Anak bangsa ☼


☼ Gara-gara Gosip | contoh cerpen karangan Anak bangsa


Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh saudara saudariku sobat asa blog yang kucintai karena Allah subhanawataalla. Asa blog sendiri  ingin menjawab keinginan sahabat untuk membaca cerpen cerpen buatan anak bangsa Indonesia,
Berikut cerpennya selamat membaca kawan . J

23 Maret 2002

Si Dini memang keterlaluan hari ini. Dia bilang sama teman-teman rohis lain kalau aku pacaran sama Ryan. Huh menyebalkan! Dasar tukang gosip! Kalau saja bukan sahabat, sudah aku hajar dia!!! Sebenanya aku ingin acuh dengan gosip murahan itu. Tapi, aku tidak enak sama teman yang lain apalagi sama Ryan dan mbak Wulan. Disangkanya aku yang duluan suka sama Ryan. Maklumlah, sangkaan itu pasti ada, soalnya aku kan memang bisa dibilang anak nakal yang baru insaf. Dan bergabungnya aku di Rohis, baru beberapa bulan terakhir ini. Pun dengan jilbab yang kupakai saat ini. Dan yang pasti, teman-temanku tidak akan menuduh Ryan yang memulai. Karena dia kan ketua Rohis sekolah kami. Juga sekaligus pembimbing mentorku. Apalagi suatu hari, saat memberikan materi, Ryan sempat bilang, kalau pacaran itu tidak ada dalam Islam.

"Emangnya, ukhti Eka sudah siap menikah? Kalau sudah ya syukur. Tapi gimana dengan sekolahnya?" Sindir mbak Wulan tadi siang. Aku hanya terdiam mendengar sindiran pembimbing tahsinku itu. Sakit memang disindir seperti itu. Tapi ya, apa boleh buat. Aku tak mau membela. Karena pembelaanku akan percuma saja. Karena hampir seluruh murid sekolah ini tahu dan percaya tentang gosip murahan itu. Pun termasuk guru-gurunya. Maklumlah Ryan kan memang terkenal di sekolah ini. Selain alim dan baik, ia juga murid terpintar yang sering sekali membawa nama harum sekolah dengan kepandaian tilawah qurannya. Bukan itu saja, wajahnya yang tampan, membuat Ryan semakin dipuja cewek-cewek sekolahku. Ya, beda-beda tipislah dengan Roger Danuarta, begitu cewek-cewek kelasku bilang.

25 Maret 2002

"Ka, kamu dapet salam lho dari Ryan", Dini mencolek bahuku. Dan entah kapan dan dari mana datangnya tiba-tiba saja si biang gosip ini duduk di sebelahku yang sedang asyik membaca buku di perpustakaan sekolah.

"Alaiki wa'alaihissalam." Jawabku acuh.
"Heh, kok acuh begitu sih, seneng dong! Masak disalamin orang ganteng dan alim kok dingin aja." godanya.
"Eh, tahu enggak si Ryan kan…."
"Sst, jangan berisik" potongku sebelum Dini melanjutkan gosip-gosip murahannya.
"Iiih dengerin dulu, oke deh aku pelan-pelan aja ya ngomongnya." bisiknya setengah memaksa.
"Din, ini perpustakaan, dan ini tempat untuk baca buku, bukan untuk ngegosip!" jawabku kesal.
"Tapi kamu musti dengerin ini, Ka. Ryan naksir lho sama kamu!" katanya, tak menghiraukanku.
"Bodo!" kesalku, dan lalu pergi meninggalkan Dini.

27 Maret 2003

"Ukhti Eka, boleh saya bicara?" tanya Ryan dingin padaku, usai shalat dzuhur di halaman masjid sekolah. Deg!… tiba-tiba saja, aku teringat dengan omongan Dini tempo hari. Kalau sebenarnya Ryan naksir sama aku. Jangan-jangan… Ryan memang mau membicarakan itu padaku. Maaf bukannya aku geer, tapi kenapa dia bisa seceroboh ini. Mestinya ini tidak boleh terjadi. Dia kan seorang ikhwan. Bukannya dia pernah bilang kalau pacaran dalam Islam itu tidak ada. Kenapa…., ah aku tak mau menduga-duga.

"Boleh, tapi….gimana kalau saya bawa ukhti yang lain buat nemenin. Soalnya nggak baik kalau kita ngomong hanya berdua aja."

"Enggak perlu, saya Cuma sebentar saja kok. Saya Cuma mau bilang, sebaiknya simpan saja rasa cinta ukhti itu. Karena terus terang, saya kurang berminat untuk pacaran. Bukankah saya pernah bilang kalau pacaran itu…, ah ukhti tau sendiri, kan? Maaf, kalau penolakan ini melukai hati ukhti, Assalamualaikum!" Katanya datar tanpa ekspresi, dan lalu pergi.

Dan deg.. deg…, jangtungku berdetak semakin keras. Bengong. Sampai beberapa saat, aku masih terdiam tak mengerti. Dan… "Astagfirullah!!!", sadarku tiba-tiba. Ya, Allah apa ini?

27 Maret 2002

Malam hari… Aku masih memikirkan kejadian tadi siang. Apalagi kalau teringat dengan ucapan Ryan tadi. Sungguh memalukan. Mukaku benar-benar seperti ditampar, bahkan mungkin seperti ditendang atau ditonjok. Terus terang, sakit rasanya hati ini. Dan sungguh, aku belum pernah sekalipun merasakan sesakit dan semalu ini. Aku benci kamu, Ryan!

13 Mei 2002

Sudah dua bulan lebih aku tak menegur Ryan. Aku tahu yang aku lakukan adalah sebuah kesalahan. Apalagi menurut mbak Wulan, Rasulullah pernah bersabda, bahwa tidak akan masuk syurga orang yang memutuskan silahturahmi. Pun haram bagi seorang muslim mendiamkan (memusuhi) saudaranya lebih dari tiga hari. Tapi jujur, aku terlanjur sakit hati dan membencinya. Rasa respek yang semula tertanam dalam hatiku. Kini, musnah sudah. Yang ada dalam hatiku, hanyalah kebencian dan kebencian. Bahkan ketika kami berpapasan pun, sama sekali aku tak mau melihatnya. Walaupun ketika berpapasan seringkali ia tersenyum dibarengi mengucapkan salam terlebih dahulu padaku.

Dan, "Assalamualaikum ukhti Eka, maaf ukhti, sepertinya lama sekali ya ukhti nggak ikut pengajian", Katanya kepadaku. Saat itu kami berpapasan di Perpustakaan.

Aku tak menjawab ucapan salamnya. Aku hanya tersenyum sinis padanya dan lalu pergi meninggalkannya. Ya memang, semenjak gosip itu menyebar luas, aku memang jadi malas untuk ikut pengajian lagi. Kadang Mbak Wulan sering bertanya mengenai ketidak hadiranku. Tapi aku tak peduli! Bahkan, seringkali aku membohonginya dengan berbagai alasan.

13 Mei 2002

Malam hari… Seperti hari-hari sebelumnya, aku tak bisa tidur lagi malam ini. Ya, selalu begitu kalau aku bertemu Ryan siangnya. Kebencianku semakin besar padanya. Namun, kebencian itu selalu dibarengi penyesalan. Ya, aku selalu menyesal kalau telah mengacuhkannya seperti tadi siang. "Aaah…, gara-gara si Dini sih." kesalku dalam hati. Tiba-tiba tanpa terasa air mataku meleleh membasahi pipi ini. "Ya Allah, apa yang terjadi dengan diriku ini?" ratapku. "Padahal akukan baru saja ingin bertobat pada-Mu ya Allah", kataku semakin menjadi. Dan hujan Air mata pun terus mengalir tanpa henti. Sampai akhirnya, akupun tertidur lelap.

14 Mei 2002

Pagi harinya… seluruh badanku sakit dan kepalaku pusing sekali. Otomatis aku tak masuk sekolah hari ini. Dan kasian mama, gara-gara aku sakit, mama pun jadi ikut repot.

Tiba-tiba, "Ka, ada temanmu di bawah" kata mama dari balik pintu.
"Siapa, ma?"
"Enggak tahu mama nggak tanya, mau mama tanyain dulu?"
"Enggak usah ma, biar Eka turun aja!"

Dengan kepala yang masih berat, aku lalu turun ke bawah untuk menemui tamuku. Dan saat aku sampai di ruang tamu… tiba-tiba… Ya Tuhan, itu kan mbak Wulan, Ryan dan… Dini, ya itu Dini. Ya, Allah kenapa Dini berjilbab?

Belum habis kepenasaranku, tiba-tiba mbak Wulan dengan senyum hangatnya mencoba menghampiri dan memapahku. Diikuti Dini, yang kemudian berlari kearahku dan langsung memelukku.

"Ka, maafin aku ya?, Aku salah, aku jahat sama kamu." Dini menangis dipelukku.

"Iya, Ka, aku juga minta maaf karena telah menuduhmu yang bukan-bukan. Dini sudah cerita semuanya. Itu ia lakukan itu karena ia kesal dan iri padamu. Iri dan kesal karena kamu telah berubah. Dan Ia merasa kalau ukhti sudah meninggalkannya." kata Ryan.

Lalu kupeluk Dini semakin erat, "Din, siapa bilang aku akan meninggalkanmu?, Walaupun aku sudah berubah, rasa sayangku tak akan berubah padamu. Karena kamu sahabat terbaikku." kataku dengan perasaan lega.
"Makasih ya Ka!, kamu baik banget" ujar Dini.
"Din, kamu cantik lho pake jilbab!!".

MQMedia.com