☼ Kematian Romo | contoh cerpen karangan Anak bangsa ☼


☼ Kematian Romo | contoh cerpen karangan Anak bangsa


Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh saudara saudariku sobat asa blog yang kucintai karena Allah subhanawataalla. Asa blog sendiri  ingin menjawab keinginan sahabat untuk membaca cerpen cerpen buatan anak bangsa Indonesia,
Berikut cerpennya selamat membaca kawan . J

Ada yang akan digadaikan dalam jiwaku: keimanan. Tentu saja secara naluri pun aku sanggup merobek dan memukul ajakan iblis itu. Tapi Romo tidak terlalu kuat. Dan memang, gawang jiwanya tidak menyisakan tempat bagi sang kiper. Maka rembulan pun mungkin mampu menangkap pendar gelisah yang muncul pada sepasang mataku. Dan bulan yang melankolis pun melemparkan sauh pada pelabuhan, membuat ia mampu berkolaborasi dalam lautan pikirku.

"Kau sudah besar, No... Sudah saatnya warisan itu kuserahkan padamu..."

Ucapan romo seminggu yang lalu mengusik harmoniku. Aku tahu apa yang disebut warisan itu. Karena sepenggal kata itu Romo dihormati orang, dikenal dan menjadi tuan kaum jutawan. Yaitu para manusia yang sudah tak mampu berpikir waras, hingga bersyukur kepada Rabb-nya pun menjadi hal yang tabu. "Kau satu-satunya anak laki-laki Romo. Warisan itu hanya dapat turun pada anak laki-laki. Kau pun besok harus punya pewaris itu, agar ilmu ini dapat langgeng..."

Agar ilmu itu dapat langgeng? Padahal kalau mampu, aku ingin memusnahkan semuanya. Sekarang juga, agar keturunanku dapat dibesarkan dalam kelurusan akidah. Tauhid yang murni. "Beri saya waktu untuk berpikir, Romo..." ucapku. Bukan untuk menerima. Tepatnya, berpikir bagaimana cara menolak penunjukan sepihak sebagai ahli waris itu, tanpa harus melibatkan pemberontakan yang salah-salah, jika tak waspada, akan menjebakku pada predikat anak durhaka. Sejelek apapun yang namanya orang tua harus diperlakukan dengan baik. Tapi adakah cara lain yang ampuh selain pemberontakan?

"Baiklah, No... Mulai purnama depan, kamu harus rajin kungkum di Kedung Kesing setiap malam Jumat. Puasa patigeni, putihan, menghafal japa mantra..." Perkataan itu bagai lontaran timah panas. Benar, keimananku tengah menghadapi ujian dahsyat. Seminggu, waktu yang diberikan Romo telah lewat, namun tak kutemukan cara yang kompromis. Ah, atau menghadapi kesyirikan memang tak mungkin ada kompromi?

Sepertinya, perang dingin yang telah terjadi bertahun-tahun, sejak Romo tahu aku aktif di masjid, akan berubah menjadi Bharatayudha yang tak mengenal kesamaan trah. Dalam hal ini aku yakin, tak seorang pun berdiri di pihakku, selain adik bungsuku, Fatimah. Mungkin juga Ibu yang cukup hanif, meski aku tak yakin akan pembelaannya secara terang-terangan.

Kembali kutatap rembulan. Kubidik cahayanya, kuaduk untuk menemukan ibroh. Barangkali ada serakan karomah yang mampu menguatkan langkahku. Tetapi sesaat aku tersadar, aku bukan wali. Akan kubekali pertempuran itu dengan satu yang kumiliki: keimanan yang terancam tergadaikan.


*****


Wajah Romo tegang. Firasat buruk itu barangkali sudah terbaca. Sinar mata elang bersimbiosis dengan cambang lebat, menebarkan getar wibawa yang meremukan nyali. Namun, tak semestinya aku takut. Babak pertempuran telah dimulai. Suatu kewajiban bagiku untuk meyakinkan beliau, bahwa kedigdayaan, kebesaran nama, kekayaan, dan ketenaran hanyalah istidraj belaka. Kenikmatan yang tidak diridhoi dan diberikan sebagai wujud pengabdian Allah atas hamba-Nya yang tersesat. Bahwa beliau tidak semestinya dikagumi, justu harus dikasihani... "Jadi keputusanmu..." "Saya tidak bisa, Romo..." aku menelan ludah. Pertempuan sudah dimulai, No...bisik batinku.

Brakk!! Vas bunga besar di depan Romo tiba-tiba hancur. Dan paras itu memerah. Ada kemurkaan yang luar biasa.

"Kau ingin ilmu itu musnah?!" suaranya mengandung hawa angkara murka.

"Saya cuma tak rela mempersekutukan Allah dengan hal-hal syirik semacam itu, Romo. Saya tidak mau diperbudak oleh jin yang pada penciptaannya tunduk pada Adam. Saya...

" Plaakk...Plaakk!! Telapak dengan jari penuh cincin akik mendarat dahsyat di pipi kananku. Darah yang menetes dari bibirku menunjukkan bahwa yang barusan menamparku bukan orang biasa.

"Sekali lagi Romo bertanya, kamu mau mewarisi ilmu Romo?" Aku menggeleng. Mataku terpejam menahan nyeri. Nyeri bekas tamparan sekaligus nyeri dalam hatiku. "Demi Allah, meskipun Romo membunuh saya... saya tetap menolak," tegasku.

"Minggat! Minggaaatt...!!!" suara itu menggeledek.

Kubuka mata, kutatap wajah di depanku itu. Sayu. Tuhan, dia adalah orang yang telah membuatku lahir ke dunia. Orang yang memberiku nama Seno. Dia Romoku. Ayahku. Dan dia telah mengusirku. Tanpa berkata apa pun aku berbalik, keluar dengan pandangan tunduk.

"Mas, aku ikut...!" teriak Fatimah, ia mencegatku.

Sesaat aku termangu. "Jangan, Fat. Kamu punya tanggung jawab lain. Ibu yang hanif..."

"Tapi aku sudah tidak kuat dengan kesyirikan yang terjadi di rumah ini. Aku harus ikut Mas No pergi. Kita akan kerja, mencari uang yang halal untuk hidup kita..." ia terisak.

Kubelai kerudung putih adikku itu. Sebenarnya aku pun tak rela meninggalkan sekuntum melati itu terserak di antara bangkai... "Sabar, Ibu membutuhkanmu, Fat. Beliau hanif. Jangan sampai buaya-buaya itu merenggut akidahnya..." Aku pun melangkah pergi. Aku yakin masih ada babak-babak baru dalam pertempuran itu. Dan akulah yang akan menjadi pemenang.


*****


"Bisakah ayah saya sadar, Ustadz?" penuh harapan kutatap wajah teduh Ustadz Kuntowo. Di rumahnya untuk sementara waktu aku tinggal.

"Jika Allah berkehendak, mengapa tidak?" Ustadz muda yang arif itu tersenyum, "Tetapi secara sunatullah, sepertinya sulit mengharapkan ayahmu berubah. Kesuksesan yang beliau raih, adalah suatu bentuk pengabaian Allah, karena berasal dari sesuatu yang dimurkai. Pada orang semacam itu, Allah menjadikan mereka summum bukmun 'umyun fahum laa yarji'un. Atau lebih parahnya khotamallu 'alaa quluubihim wa 'alaa sam'ihim wa 'alaa abshoorihim. Allah mengunci mata hati, pendengaran dan penglihatanya... Naudzubillah. Ya, doakan saja, semoga Allah memberikan cahaya-Nya, dan beliau bertaubat..."

Aku tertepekur. Kesyirikan Romo memang sudah terlampau kronis. Begitu banyak jenis jimat, senjata pusaka, sesaji atau pun jampi-jampi keramat yang menjadi bagian hidupnya. Bahkan aktivitas ibadah maghdhoh-nya pun menjadi tabu baginya, karena konon akan melemahkan kekuatan ilmunya. Maka jadilah Romo orang yang tak pernah salat seumur hidupnya. Dia ayahku. Sudah berapa jiwa yang melayang karena ilmu santetnya. Sudah berapa orang mendapat kedudukan dan kekayaan haram karena jampi-jampi sesatnya. Sudah berapa pasangan suami istri yang putus hubungan karena aji pengasihnya...

Mataku basah. Ya, dia Romo...ayahku. Orang yang menyebabkan aku terlahir ke dunia.


*****


Romo jatuh sakit. Parah. Untuk itu, secara khusus Ibu mendatangiku di rumah Ustadz Kuntowo, memintaku pulang. Lantas pemandangan yang paling mengerikan dalam hidupku itu tergambar di depanku. Sakaratul maut. Romo sekarat. Ia berteriak-teriak, menggerung-gerung, mencakar-cakar, seakan ditimpa kesakitan yang sangat dahsyat. Rumah menjadi mencekam. Yang terdengar hanya jeritan histeris itu. Barangkali Izroil tengah asyik mempermainkan ruh yang hendak keluar itu.

"Sudah tiga hari tiga malam..." kata Fatimah, dalam isaknya.

"Ini semua gara-gara kamu, No!!" bentak Mbak Ani, kakak sulungku, kalap.

"Romo sulit mati karena ilmunya belum diwariskan. Kau menyiksanya. Romo tak akan bisa meninggal sebelum ilmunya diturunkan. Romo akan terus kesakitan... Puas kowe, No? Puaasss?!!"

"Ayo, No...! kamu anak laki-laki satu-satunya. Hanya kamu yang bisa menolongnya. Kalau aku jadi kamu, semua ini tak akan terjadi...dengar itu," bujuk Kak Idar.

Aku berjalan mondar-mandir, gontai. Suara pekikan itu menyiksaku. Sekali lagi keimananku terancam tergadaikan. Bisikan iblis itu begitu guat menggerogoti jiwaku. Gerungan Romo membuat semua panik dan bertubi-tubi menyalahkan aku. Mencaciku. Menghujatku. Dan aku hanya bisa diam.

"Auugghhh...! Ampuuunnn...!!!" Lantas suara Romo berubah seperti hewan korban yang tengah disembelih. Kusebut asma Allah. Tidaaakkk!! Sekali-kali pun aku tak kan sudi tergelincir. Ini adalah buah yang dipetik atas kedurhakaan seorang hamba pada Rabb-Nya. Yah, baru sakaratulmaut. Bagaimana kelak di akhirat?!

Tubuhku merinding. Rasul pun mengalami kesaktian saat sakaratulmaut. Apalagi orang sejenis Romo, juga aku...

"Panaaasss.!! Toloooonggg...!! Aghh...! Aaaauuuwwww...!!!" Suasana semakin mencekam. Peluh mengucur deras, membasahi baju kokoku. Suara tilawah Fatimah justru membuat teriakan Romo semakin keras. Semakin memilukkan. Rumah kami yang luas penuh oleh wajah-wajah tegang.

"Aku akan membunuhmu, cah durhakaaa...!!" teriak Mbak Ani tiba-tiba. Kalap ia menyerangku dengan pukulan bertubi-tubi.

Namun dengan cepat Mas Karjo, suaminya, melerai. "Sudah, Ani. Semua takkan selesai walau Seno mati. Lebih baik kita panggil Mbah Sum. Dia mungkin bisa menolong Romo..."

"Jangan!!" bentakku tiba-tiba. Satu-satunya jalan adalah...

Cepat aku beranjak ke ruang semedi Romo. Sebuah petak gelap berukuran dua kali dua meter persegi. Aroma kemenyan bercampur bunga sesaji sangat menusuk indera penciumanku saat kubuka pintunya. Aroma kesyirikan. Ada banyak senjata di situ. Senjata yang konon berisi ruh leluhur kami. Yang setiap malam 1 Suro dibersihkan dengan darah binatang dalam suatu upacara sakral. Geram kucabut sebatang tombak. Senjata yang konon telah berumur ratusan tahun dan menjadi kebanggaan keluargaku. Kutatap ujungnya yang terbuat dari emas. Kau harus kumusnahkan, jahannam.! desisku. Lantas...

"Allahu Akbarrr...!! Laa ilaha illallah...!" Aku berteriak sekeras mungkin sambil mengamuk sejadi-jadinya. Puluhan senjata, kain kafan, patung-patung, jimat, dan sebangsanya kulempar keluar. Kusiram bensin dan api pun berkobar.

Mampus kau, benda haram...!

"No, kualat kowe.!" Mbak Ani mencoba menghalang-halangiku.

Namun aku tak peduli. Aku seperti memiliki tenaga berlipat yang membuat Mas Karjo dan Mas Jono, suami Mbak Idar, pun tak sanggup menahanku. Teriakan takbir terus meluncur dari bibirku yang mengering. Sampai akhirnya semua barang-barang klenik itu musnah dilahap api.

Aku duduk bersimpuh menghadap kiblat. Lantas terpuruk, sujud syukur bersama keringat yang deras membasahi tubuhku. Mendadak suara gerungan dan jeritan Romo hilang. Suasana senyap. Tapi ada sepoi angin yang membuat dadaku bergetar hebat. Penuh rasa haru.

"Romo...sudah meninggal..." ujar Fatimah lirih, memecah kebisuan yang melingkupi ruang. Semua terkejut.

Innalillahi wa inna ilaihi roji'un...

Kemudian kutemukan tubuh tinggi besar itu telah terbujur kaku. Sosoknya menghitam, wajah kelam, dan mulut menyeringai. Sepasang matanya melotot, mengekspresikan suatu kesakitan yang luar biasa. Sebuah su'ul khotimah.

Itulah jazad Romo, seorang dukun sakti yang tak pernah salat seumur hidupnya. Paranormal yang menjadi budak iblis dan hawa nafsu. Aku tak tahu akan ada tanya jawab semacam apa di gerbang alam barzah, atas tercabutnya ruh yang satu ini. Bagaimana ia mempertanggungjawabkan hidup kepada Rabb-nya...

Airmata membasahi pipiku. Doa Nabi Ibrahim, kekasih Allah, atas ayahnya si penyembah berhala saja tertolak, apalagi doaku...Doa seorang Seno yang dho'if. Su'ul khotimah, yaa Rabb.. jangan Kautimpakan kematian padaku dengan cara itu. Cepat kututup wajah menyeramkan itu dengan sehelai kain. Pertempuran telah kumenangkan, meski dengan hati hancur, karena yang menjadi musuhku adalah Romo...


Untuk akhi fillah di Purbalingga, tetaplah istiqomah...

Semarang, Februari 2000
Sumber inspirasi : kota santri [dot] com , Republika [dot] com , MQMedia[dot]com  serta beberapa majalah dan buku kumpulan cerpen