☼ Maut di Kamp Loka | contoh cerpen karangan Anak bangsa ☼
Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh saudara saudariku
sobat asa blog yang kucintai karena Allah subhanawataalla. Asa blog
sendiri ingin menjawab keinginan sahabat
untuk membaca cerpen cerpen buatan anak bangsa Indonesia,
Berikut cerpennya selamat membaca kawan . J
Mataku yang bengkak dan memerah, rasanya sudah tak dapat
lagi mengeluarkan airmata. Sejenak kusandarkan badan ke tembok penuh darah yang
tepat berada di belakangku.
Pemandangan di sekitarku adalah pemandangan terburuk dan terkeji yang pernah kusaksikan! Ribuan wanita, tua dan muda duduk berbaris dengan wajah pias. Tubuh mereka begitu kurus. Di belakang mereka hanya tembok penuh cipratan darah. Darah teman-teman yang telah lebih dulu dibantai dan dihabisi secara kejam oleh para tentara Serbia. Dan giliran mereka, giliranku, mungkin tak lama lagi.
Kamp ini bernama Loka, Kota Brcko. Salah satu tempat di Bosnia yang disulap fungsinya sebagai tempat penyiksaan dan pembantaian. Kini ribuan tawanan pria dan wanita menanti tragedi apalagi yang harus direguk, setelah mereka kehilangan harta, keluarga, tempat tinggal dan bahkan kehormatan! Ya, seperti juga diriku!
"Lizet...ta..., a... aku ... tak ... kuat lagi ...".
Wanita yang ada di sampingku tiba-tiba rebah. Tubuhnya menimpa tubuhku.
"Lijza ... Lijza !!" panggilku.
Tak ada jawaban.
"Ia sudah mati !" kata seorang wanita setengah baya di sampingku.
"Innalillahi. Mungkin karena kelaparan dan kehausan. Juga karena penyakit malarianya," ujarku. Hati ini teriris-iris.
Kududukkan tubuh Lijza. Kusandarkan ke tembok. Ruangan ini terlalu kecil untuk memberi jenazahnya posisi tidur. Sementara di sekitarku saja tampak belasan "mayat duduk" lainnya!
Bau bangkai manusia tercium jelas di kamp pengap ini.
Tiba-tiba terdengar jeritan memilukan dari luar kamp! Jerit panjang beberapa wanita! Kami saling berpandangan! Was-was.
"Pasti dia lagi disiksa...."
"Dicabik-cabik ... kehormatannya...."
"Oh,... ak... ku... ta ... kut..., ta... kut ..."
"Mungkin kini perutnya tengah dirobek-robek oleh tentara Serbia ... seperti ... Adrika, ke... marin!"
Jerit pilu itu kemudian lenyap. Kini yang kami dengar tawa tentara-tentara biadab Serbia yang tak putus-putus.
Gernavic dengan pandangan kosong berdiri. Wanita yang baru dua malam beserta kami ini berjalan menuju pintu sel. Diam. Terus berjalan.
"Gernavic, mau kemana? Gernavic ...," panggilku dengan suara pelan.
Di depan pintu sel kini Gernavic tertawa... terus tertawa... dan tertawa....
Kami saling berpandangan. Aneh.
Gernavic kini menangis meratap-ratap, melolong . Sebentar kemudian dia tertawa lagi sambil menunjuk-nunjuk kami. Aku bangkit dari tempat dudukku dan mengajaknya untuk kembali duduk di tempatnya semula. Tapi Gernavic memaki-maki aku. Sebentar kemudian dia malah memelukku kuat-kuat! Aku dapat merasakan goncangan berat yang dialaminya.
"Allah..." bisikku ke telinganya. "Allah,... laaa haula wa laa quwwata illa billah...! Dzikir saudaraku ... Allah ..., sebut nama Allah banyak-banyak..."
Tiba-tiba….
Kami terkejut ! Pintu didorong kasar dari luar. Beberapa tentara Serbia masuk dengan bengis. Mereka menarik ke luar sekitar sepuluh muslimah. Yang ditarik tersedu-sedu berusaha melawan. Sia-sia!
"Mau dibawa kemana mereka? Lepaskan! Lepaskan, biadab!" teriakku. Wanita-wanita itu menjerit minta tolong.
"Diam, perempuan jelek!" seorang tentara meludahiku.
Aku balas meludahinya! Tentara itu marah. Dengan kasar ia mencengkeram leherku. Dikeluarkannya sebuah belati. Dengan kasar ia memberi goresan berdarah di pipiku! Aku meludahinya kembali!! Ia memberi satu goresan lagi! Seorang muslimah lain menarikku, menjauhi tentara Serbia itu ....
"Itu tentara yang pertama kali merobek-robek jilbab dan pakaian muslimahku!" kataku pada Fathimah yang tadi menarik tanganku. "Ia juga yang menggunduli rambutku!" ujarku lagi dengan nada tinggi.
Fathimah tersenyum.
"Kamu tersenyum, Fath? Kamu aneh!"
Fathimah memegang tanganku. "Di antara lebih dari 1500 muslimah yang ditawan di sini, banyak yang telah rapuh dan menyerah pada keadaan. Mungkin hanya kau, aku, dan Syikorvij yang bisa kembali mengajak mereka lebih mengingat Allah...:"
Aku memandang ke pojok ruangan. Tampaknya Syikorvij tengah ber-taushiyah pada beberapa muslimah.
"Kalau pun nanti satu-persatu dari kita wafat..., aku ingin kita semua wafat dalam iman yang tetap kokoh. Kau lihat, Gernavic adalah saudara kita yang kesekian puluh yang terguncang jiwanya setelah di kamp ini. Bahkan dua hari lalu, dua orang teman kita bunuh diri dengan cara mencekik lehernya sendiri, karena tak tahan menghadapi keganasan Serbia!"
Aku menangis, tapi tak ada air mata yang keluar.
"Kita punya pekerjaan di sini," ujarnya lagi.
Aku menangis lagi. Kami berangkulan. Tanpa air mata.
***
Di samping sel kami yang pengap, dan bau bangkai manusia ini, terletak sel tawanan lelaki. Kondisi di sana tak berbeda jauh dengan kondisi di sel kami, tampaknya begitu. Bahkan pembantaian di sel mereka jauh lebih seram lagi.
Selama sebulan, dari dalam sel wanita aku sering mendengar suara-suara orang mengaji. Bahkan ada yang mengaji sehari khatam. Mungkin ia seorang hafidz, karena aku tahu bahwa kami tak boleh menyimpan Al Quran di sini. Waktu pertama kali kami ke sini Al Quran kami diinjak-injak dan dibakar.
Tetapi sejak kemarin dari sel sebelah tak terdengar lagi suara-suara merdu melantunkan kalam Ilahi itu. Dari selintas kabar yang kudengar dari luar sel, lidah dan telinga mereka yang mengaji terus itu dipotong oleh serdadu Serbia! Innalillahi, semoga Allah merahmati dan meridhoi mereka yang berusaha berjuang menegakkan kalimatNya dan terus istiqomah!
Usaha yang Fathimah, aku, dan Syirkovij lakukan membuahkan sedikit hasil. Kami terus tanamkan kepada para muslimah agar mereka tetap tegar dan tabah. Bahwa hanya Allah Yang Mahakuasa dan Maha Penolong. Bahwa iman dan ketaqwaan penuh yang dapat mengatasi segalanya. Bahwa bagi Mujahidah fi sabilillah, mati itu bukanlah apa-apa. Mati bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti. Bahkan mati syahid adalah sesuatu yang memuaskan kerinduan kita di dunia ini kepada Sang Rabbul 'Izzati!
Tak semua mau mendengar. Bahkan ada di antara muslimah yang terlanjur stres dan rusak mental! Ada yang benar-benar pasrah ..., ada yang mencoba bunuh diri. Ada yang berteriak-teriak minta dikeluarkan. Menyembah-nyembah serdadu Serbia dan sudi melakukan apa saja asal bisa dibebaskan! Mereka ini kemudian diajak Serbia "bersenang-senang," kemudian setelah itu malah dibantai keji! Naudzubillah!
***
"Apa yang kau lakukan?" tanya Syirkovij.
"Mengasah. Pisau ini agak tumpul ...," jawabku hati-hati. "Kutemukan di dada mayat wanita yang kemarin disiksa dalam sel ini. Tentara itu lupa mengambil pisaunya kembali!"
"Hati-hati, Lizetta!"
"Makanya, tutupi aku! Jangan sampai terlihat aku sedang mengasah pisau ini!"
"Itu apa lagi?"
"Kau lihat kan tumpukan kayu itu? Yang di antaranya digunakan serdadu-serdadu gila itu untuk membakar hidup-hidup teman kita? Kubuat potongan kecil-kecil seperti anak panah. Kuruncingkan," kataku.
Syirkovij menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tak henti-henti berkata agar aku hati-hati, dan mendoakanku.
Kayu-kayu sebesar jari tengah itu terus kuruncingkan dengan pisau. Jumlahnya semakin banyak. Kusembunyikan di bawah mayat seorang muslimah bertubuh besar, yang berada di dekatku.
Ah, sel ini begitu pengap, gelap kelabu, amis darah dan sangat kotor. Karena di sini kami tidur, makan, dan buang air. Tak ada tempat lagi. Aku rindu udara bebas!
"Hemat tenagamu," tegur Fathimah. "Sudah tiga hari perut kita hanya diisi air."
Aku tersenyum kaku. Meruncingkan kayu-kayu itu lagi.
***
Dengan susah payah aku memanjati satu-satunya jendela di dalam sel ini. Ups ... Fathimah, Syirkovij dan beberapa muslimah, susah payah pula berusaha mendorongku dari bawah. Aku berhasil melihat pemandangan di luar kamp! Para prajurit itu tengah tertawa-tawa. Di depan mereka berjajar tawanan muslim. Kini beberapa di antara tawanan itu disuruh lari. Kemudian tiba-tiba sebuah tank baja mengejar dan ... melindas tubuh mereka!
Tubuhku lemas ... dan aku jatuh menimpa para muslimah yang tadi membantuku memanjat. Di luar, jeritan yang menyayat hati terbalur dengan tawa keras orang-orang biadab itu!
"Tampaknya tak ada celah untuk melarikan diri," kataku lemah. "Kamp ini dijaga oleh banyak serdadu. Juga menjadi salah satu basis militer mereka. Di samping itu fisik kita terlalu lemah untuk lari ...."
"Mari kita berdoa. Kita akan selalu bersama walau apa yang terjadi. Yakin Allah beserta kita," ujar Fathimah.
Yang lain tertunduk. Menutup wajah. Terpekur.
***
Malam hari tak ada tidur bagi kami. Suara binatang malam kian memerihkan suasana.
"Ssssst ..., Lizetta! Li ...zett ... ta!"
"Ada apa?"
"Barusan kudengar samar-samar percakapan serdadu penjaga sel. Mereka ..., Serbia ... akan ..."
"Akan apa?"
"Akan mmmmmembakar kita hidup-hidup!"
"Apa? Innalillahi ... laa haula wa laa quwwata illa billah...," aku bingung.
"Kapan?"
"Ssssu ... buh i ...ni! Bagaimana ... jadinya ... ki ... ta?"
Aku terdiam. "Jangan panik ...," kataku akhirnya.
"Lizetta ...," kali ini suara Fathimah dari pojok ruangan.
"Ada apa lagi?"
"Bantu aku. Drenade akan melahirkan ... oh ..., cepatlah ...!"
Aku berlari ke sudut kanan ruangan. Kulihat wajah pias dan lemah milik Drenade. "Bertahanlah, saudaraku ..., ayo, sebentar lagi anakmu lahir ...," kataku menyemangati.
"Di ...a bbbukan ... ana ...kku ... ta ... pi ana ...kk Ser .. bia ...jahanam ... i ... tu ...," suara Drenade.
"Drenade! Drenade!"
Tak ada jawaban.
"Bayinya pun meninggal," Fathimah menarik nafas panjang. "Terlalu lemah...."
"Fath, ... kita akan ... dibakar ... semua ..., subuh ini ...,"
"Apa? Kau tahu dari mana?"
"Seorang muslimah ada yang mendengar percakapan serdadu itu."
"Mari kita kumpulkan semua muslimah. Saling meneguhkan keimanan dan tawakkal pada Allah," katanya tegas.
Akhirnya tengah malam itu kami berkumpul. Kami tak mengabarkan pada yang lain soal pembakaran itu. Hanya mengingatkan mereka akan kemungkinan apa saja yang bisa terjadi setiap saat.
Entah akan kugunakan untuk apa kayu-kayu kecil yang kuruncingkan itu. Akhirnya aku bagikan kepada muslimah-muslimah yang ada.
"Buat jaga diri!" kataku. "Jangan lupa, tancapkan sekuat-kuatnya ke ulu hati para tentara itu!"
Para muslimah dengan bingung menerimanya.
Dan jam tiga malam ... derap langkah serdadu itu kian dekat ke arah sel! Beberapa tentara membuka sel dan menyenter wajah kami. Perlahan. Satu-satu.
"Jangan dibakar semua! Ambil beberapa yang muda dan cantik!" ujar seorang kepala tentara.
Sel kami jadi gaduh.
Beberapa muslimah diseret dengan paksa! Dibawa ke luar sel!. Fathimah dan Syirkovij juga! Sel gaduh dengan isak tangis, lolongan dan teriakan. Tak ada yang sudi dibakar!
"Selamat jadi arang ...," tentara itu menyeringai sambil menutup pintu! Kudengar suara Syirkovij dan Fathimah keras terus menyebut nama Allah! Sel kian gaduh ... sebentar lagi pintu akan tertutup dan kami semua akan hangus!
Tiba-tiba ... sekuat tenaga, beberapa di antara kami yang sebenarnya sudah sangat lemah, menyerang tentara-tentara itu! Serangan mendadak ke ulu hati dengan kayu kecil runcing itu! Para tentara membabi buta menembaki kami! Namun karena gelap tembakan tersebut kurang mengenai sasaran. Tertatih-tatih para muslimah yang masih bisa bergerak keluar dari kamp. Lebih baik menjelang kesyahidan dari pada dibakar hidup-hidup begitu saja!
Aku berhasil menikam penjaga sel tawanan sel lelaki dan segera membebaskan mereka! Gelombang manusia keluar dari kamp! Berjuang untuk tak begitu saja dibakar! Kayu-kayu kecil runcing kuberikan pada mereka. Beberapa lelaki berhasil merampas senjata beberapa tentara Serbia!
Kami terus berlari dengan kaki lemah dan tapak berdarah. Para serdadu menghujani kami dengan tembakan dan granat tangan secara brutal. Mereka juga mengejar dengan mobil dan tank!
Kondisi fisik kami memang teramat memprihatinkan. Satu-satu tubuh jatuh, tak mampu berlari jauh. Tapi yang lain tertatih-tatih terus berlari ... terus berlari ...
Aku berusaha berlari dengan merangkak. Kedua kakiku terkena mortir Serbia. Sekitarku hingar bingar. Aku terus merayap. Dari belakang, dengan kecepatan tinggi sebuah tank menuju ke arahku! Aku berusaha menepi ... namun ...!
Tank itu melindas, melumatkan tubuhku! Aneh, aku tak merasakan apa-apa! Hanya merasa ringan. Ringan!
Pemandangan di sekitarku adalah pemandangan terburuk dan terkeji yang pernah kusaksikan! Ribuan wanita, tua dan muda duduk berbaris dengan wajah pias. Tubuh mereka begitu kurus. Di belakang mereka hanya tembok penuh cipratan darah. Darah teman-teman yang telah lebih dulu dibantai dan dihabisi secara kejam oleh para tentara Serbia. Dan giliran mereka, giliranku, mungkin tak lama lagi.
Kamp ini bernama Loka, Kota Brcko. Salah satu tempat di Bosnia yang disulap fungsinya sebagai tempat penyiksaan dan pembantaian. Kini ribuan tawanan pria dan wanita menanti tragedi apalagi yang harus direguk, setelah mereka kehilangan harta, keluarga, tempat tinggal dan bahkan kehormatan! Ya, seperti juga diriku!
"Lizet...ta..., a... aku ... tak ... kuat lagi ...".
Wanita yang ada di sampingku tiba-tiba rebah. Tubuhnya menimpa tubuhku.
"Lijza ... Lijza !!" panggilku.
Tak ada jawaban.
"Ia sudah mati !" kata seorang wanita setengah baya di sampingku.
"Innalillahi. Mungkin karena kelaparan dan kehausan. Juga karena penyakit malarianya," ujarku. Hati ini teriris-iris.
Kududukkan tubuh Lijza. Kusandarkan ke tembok. Ruangan ini terlalu kecil untuk memberi jenazahnya posisi tidur. Sementara di sekitarku saja tampak belasan "mayat duduk" lainnya!
Bau bangkai manusia tercium jelas di kamp pengap ini.
Tiba-tiba terdengar jeritan memilukan dari luar kamp! Jerit panjang beberapa wanita! Kami saling berpandangan! Was-was.
"Pasti dia lagi disiksa...."
"Dicabik-cabik ... kehormatannya...."
"Oh,... ak... ku... ta ... kut..., ta... kut ..."
"Mungkin kini perutnya tengah dirobek-robek oleh tentara Serbia ... seperti ... Adrika, ke... marin!"
Jerit pilu itu kemudian lenyap. Kini yang kami dengar tawa tentara-tentara biadab Serbia yang tak putus-putus.
Gernavic dengan pandangan kosong berdiri. Wanita yang baru dua malam beserta kami ini berjalan menuju pintu sel. Diam. Terus berjalan.
"Gernavic, mau kemana? Gernavic ...," panggilku dengan suara pelan.
Di depan pintu sel kini Gernavic tertawa... terus tertawa... dan tertawa....
Kami saling berpandangan. Aneh.
Gernavic kini menangis meratap-ratap, melolong . Sebentar kemudian dia tertawa lagi sambil menunjuk-nunjuk kami. Aku bangkit dari tempat dudukku dan mengajaknya untuk kembali duduk di tempatnya semula. Tapi Gernavic memaki-maki aku. Sebentar kemudian dia malah memelukku kuat-kuat! Aku dapat merasakan goncangan berat yang dialaminya.
"Allah..." bisikku ke telinganya. "Allah,... laaa haula wa laa quwwata illa billah...! Dzikir saudaraku ... Allah ..., sebut nama Allah banyak-banyak..."
Tiba-tiba….
Kami terkejut ! Pintu didorong kasar dari luar. Beberapa tentara Serbia masuk dengan bengis. Mereka menarik ke luar sekitar sepuluh muslimah. Yang ditarik tersedu-sedu berusaha melawan. Sia-sia!
"Mau dibawa kemana mereka? Lepaskan! Lepaskan, biadab!" teriakku. Wanita-wanita itu menjerit minta tolong.
"Diam, perempuan jelek!" seorang tentara meludahiku.
Aku balas meludahinya! Tentara itu marah. Dengan kasar ia mencengkeram leherku. Dikeluarkannya sebuah belati. Dengan kasar ia memberi goresan berdarah di pipiku! Aku meludahinya kembali!! Ia memberi satu goresan lagi! Seorang muslimah lain menarikku, menjauhi tentara Serbia itu ....
"Itu tentara yang pertama kali merobek-robek jilbab dan pakaian muslimahku!" kataku pada Fathimah yang tadi menarik tanganku. "Ia juga yang menggunduli rambutku!" ujarku lagi dengan nada tinggi.
Fathimah tersenyum.
"Kamu tersenyum, Fath? Kamu aneh!"
Fathimah memegang tanganku. "Di antara lebih dari 1500 muslimah yang ditawan di sini, banyak yang telah rapuh dan menyerah pada keadaan. Mungkin hanya kau, aku, dan Syikorvij yang bisa kembali mengajak mereka lebih mengingat Allah...:"
Aku memandang ke pojok ruangan. Tampaknya Syikorvij tengah ber-taushiyah pada beberapa muslimah.
"Kalau pun nanti satu-persatu dari kita wafat..., aku ingin kita semua wafat dalam iman yang tetap kokoh. Kau lihat, Gernavic adalah saudara kita yang kesekian puluh yang terguncang jiwanya setelah di kamp ini. Bahkan dua hari lalu, dua orang teman kita bunuh diri dengan cara mencekik lehernya sendiri, karena tak tahan menghadapi keganasan Serbia!"
Aku menangis, tapi tak ada air mata yang keluar.
"Kita punya pekerjaan di sini," ujarnya lagi.
Aku menangis lagi. Kami berangkulan. Tanpa air mata.
***
Di samping sel kami yang pengap, dan bau bangkai manusia ini, terletak sel tawanan lelaki. Kondisi di sana tak berbeda jauh dengan kondisi di sel kami, tampaknya begitu. Bahkan pembantaian di sel mereka jauh lebih seram lagi.
Selama sebulan, dari dalam sel wanita aku sering mendengar suara-suara orang mengaji. Bahkan ada yang mengaji sehari khatam. Mungkin ia seorang hafidz, karena aku tahu bahwa kami tak boleh menyimpan Al Quran di sini. Waktu pertama kali kami ke sini Al Quran kami diinjak-injak dan dibakar.
Tetapi sejak kemarin dari sel sebelah tak terdengar lagi suara-suara merdu melantunkan kalam Ilahi itu. Dari selintas kabar yang kudengar dari luar sel, lidah dan telinga mereka yang mengaji terus itu dipotong oleh serdadu Serbia! Innalillahi, semoga Allah merahmati dan meridhoi mereka yang berusaha berjuang menegakkan kalimatNya dan terus istiqomah!
Usaha yang Fathimah, aku, dan Syirkovij lakukan membuahkan sedikit hasil. Kami terus tanamkan kepada para muslimah agar mereka tetap tegar dan tabah. Bahwa hanya Allah Yang Mahakuasa dan Maha Penolong. Bahwa iman dan ketaqwaan penuh yang dapat mengatasi segalanya. Bahwa bagi Mujahidah fi sabilillah, mati itu bukanlah apa-apa. Mati bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti. Bahkan mati syahid adalah sesuatu yang memuaskan kerinduan kita di dunia ini kepada Sang Rabbul 'Izzati!
Tak semua mau mendengar. Bahkan ada di antara muslimah yang terlanjur stres dan rusak mental! Ada yang benar-benar pasrah ..., ada yang mencoba bunuh diri. Ada yang berteriak-teriak minta dikeluarkan. Menyembah-nyembah serdadu Serbia dan sudi melakukan apa saja asal bisa dibebaskan! Mereka ini kemudian diajak Serbia "bersenang-senang," kemudian setelah itu malah dibantai keji! Naudzubillah!
***
"Apa yang kau lakukan?" tanya Syirkovij.
"Mengasah. Pisau ini agak tumpul ...," jawabku hati-hati. "Kutemukan di dada mayat wanita yang kemarin disiksa dalam sel ini. Tentara itu lupa mengambil pisaunya kembali!"
"Hati-hati, Lizetta!"
"Makanya, tutupi aku! Jangan sampai terlihat aku sedang mengasah pisau ini!"
"Itu apa lagi?"
"Kau lihat kan tumpukan kayu itu? Yang di antaranya digunakan serdadu-serdadu gila itu untuk membakar hidup-hidup teman kita? Kubuat potongan kecil-kecil seperti anak panah. Kuruncingkan," kataku.
Syirkovij menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tak henti-henti berkata agar aku hati-hati, dan mendoakanku.
Kayu-kayu sebesar jari tengah itu terus kuruncingkan dengan pisau. Jumlahnya semakin banyak. Kusembunyikan di bawah mayat seorang muslimah bertubuh besar, yang berada di dekatku.
Ah, sel ini begitu pengap, gelap kelabu, amis darah dan sangat kotor. Karena di sini kami tidur, makan, dan buang air. Tak ada tempat lagi. Aku rindu udara bebas!
"Hemat tenagamu," tegur Fathimah. "Sudah tiga hari perut kita hanya diisi air."
Aku tersenyum kaku. Meruncingkan kayu-kayu itu lagi.
***
Dengan susah payah aku memanjati satu-satunya jendela di dalam sel ini. Ups ... Fathimah, Syirkovij dan beberapa muslimah, susah payah pula berusaha mendorongku dari bawah. Aku berhasil melihat pemandangan di luar kamp! Para prajurit itu tengah tertawa-tawa. Di depan mereka berjajar tawanan muslim. Kini beberapa di antara tawanan itu disuruh lari. Kemudian tiba-tiba sebuah tank baja mengejar dan ... melindas tubuh mereka!
Tubuhku lemas ... dan aku jatuh menimpa para muslimah yang tadi membantuku memanjat. Di luar, jeritan yang menyayat hati terbalur dengan tawa keras orang-orang biadab itu!
"Tampaknya tak ada celah untuk melarikan diri," kataku lemah. "Kamp ini dijaga oleh banyak serdadu. Juga menjadi salah satu basis militer mereka. Di samping itu fisik kita terlalu lemah untuk lari ...."
"Mari kita berdoa. Kita akan selalu bersama walau apa yang terjadi. Yakin Allah beserta kita," ujar Fathimah.
Yang lain tertunduk. Menutup wajah. Terpekur.
***
Malam hari tak ada tidur bagi kami. Suara binatang malam kian memerihkan suasana.
"Ssssst ..., Lizetta! Li ...zett ... ta!"
"Ada apa?"
"Barusan kudengar samar-samar percakapan serdadu penjaga sel. Mereka ..., Serbia ... akan ..."
"Akan apa?"
"Akan mmmmmembakar kita hidup-hidup!"
"Apa? Innalillahi ... laa haula wa laa quwwata illa billah...," aku bingung.
"Kapan?"
"Ssssu ... buh i ...ni! Bagaimana ... jadinya ... ki ... ta?"
Aku terdiam. "Jangan panik ...," kataku akhirnya.
"Lizetta ...," kali ini suara Fathimah dari pojok ruangan.
"Ada apa lagi?"
"Bantu aku. Drenade akan melahirkan ... oh ..., cepatlah ...!"
Aku berlari ke sudut kanan ruangan. Kulihat wajah pias dan lemah milik Drenade. "Bertahanlah, saudaraku ..., ayo, sebentar lagi anakmu lahir ...," kataku menyemangati.
"Di ...a bbbukan ... ana ...kku ... ta ... pi ana ...kk Ser .. bia ...jahanam ... i ... tu ...," suara Drenade.
"Drenade! Drenade!"
Tak ada jawaban.
"Bayinya pun meninggal," Fathimah menarik nafas panjang. "Terlalu lemah...."
"Fath, ... kita akan ... dibakar ... semua ..., subuh ini ...,"
"Apa? Kau tahu dari mana?"
"Seorang muslimah ada yang mendengar percakapan serdadu itu."
"Mari kita kumpulkan semua muslimah. Saling meneguhkan keimanan dan tawakkal pada Allah," katanya tegas.
Akhirnya tengah malam itu kami berkumpul. Kami tak mengabarkan pada yang lain soal pembakaran itu. Hanya mengingatkan mereka akan kemungkinan apa saja yang bisa terjadi setiap saat.
Entah akan kugunakan untuk apa kayu-kayu kecil yang kuruncingkan itu. Akhirnya aku bagikan kepada muslimah-muslimah yang ada.
"Buat jaga diri!" kataku. "Jangan lupa, tancapkan sekuat-kuatnya ke ulu hati para tentara itu!"
Para muslimah dengan bingung menerimanya.
Dan jam tiga malam ... derap langkah serdadu itu kian dekat ke arah sel! Beberapa tentara membuka sel dan menyenter wajah kami. Perlahan. Satu-satu.
"Jangan dibakar semua! Ambil beberapa yang muda dan cantik!" ujar seorang kepala tentara.
Sel kami jadi gaduh.
Beberapa muslimah diseret dengan paksa! Dibawa ke luar sel!. Fathimah dan Syirkovij juga! Sel gaduh dengan isak tangis, lolongan dan teriakan. Tak ada yang sudi dibakar!
"Selamat jadi arang ...," tentara itu menyeringai sambil menutup pintu! Kudengar suara Syirkovij dan Fathimah keras terus menyebut nama Allah! Sel kian gaduh ... sebentar lagi pintu akan tertutup dan kami semua akan hangus!
Tiba-tiba ... sekuat tenaga, beberapa di antara kami yang sebenarnya sudah sangat lemah, menyerang tentara-tentara itu! Serangan mendadak ke ulu hati dengan kayu kecil runcing itu! Para tentara membabi buta menembaki kami! Namun karena gelap tembakan tersebut kurang mengenai sasaran. Tertatih-tatih para muslimah yang masih bisa bergerak keluar dari kamp. Lebih baik menjelang kesyahidan dari pada dibakar hidup-hidup begitu saja!
Aku berhasil menikam penjaga sel tawanan sel lelaki dan segera membebaskan mereka! Gelombang manusia keluar dari kamp! Berjuang untuk tak begitu saja dibakar! Kayu-kayu kecil runcing kuberikan pada mereka. Beberapa lelaki berhasil merampas senjata beberapa tentara Serbia!
Kami terus berlari dengan kaki lemah dan tapak berdarah. Para serdadu menghujani kami dengan tembakan dan granat tangan secara brutal. Mereka juga mengejar dengan mobil dan tank!
Kondisi fisik kami memang teramat memprihatinkan. Satu-satu tubuh jatuh, tak mampu berlari jauh. Tapi yang lain tertatih-tatih terus berlari ... terus berlari ...
Aku berusaha berlari dengan merangkak. Kedua kakiku terkena mortir Serbia. Sekitarku hingar bingar. Aku terus merayap. Dari belakang, dengan kecepatan tinggi sebuah tank menuju ke arahku! Aku berusaha menepi ... namun ...!
Tank itu melindas, melumatkan tubuhku! Aneh, aku tak merasakan apa-apa! Hanya merasa ringan. Ringan!
Sumber inspirasi : kota santri [dot] com ,
Republika [dot] com , helvitiana rosa ,
MQMedia[dot]com ,dakwah.org serta beberapa majalah dan buku kumpulan
cerpen