☼ Sebening Telaga | contoh cerpen
karangan Anak bangsa ☼
Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh saudara saudariku
sobat asa blog yang kucintai karena Allah subhanawataalla. Asa blog
sendiri ingin menjawab keinginan sahabat
untuk membaca cerpen cerpen buatan anak bangsa Indonesia,
Berikut cerpennya selamat membaca kawan . J
Baru saja aku menyelesaikan shalat Dhuha ketika terdengar
suara pintu diketuk berlahan beberapa kali, kukemasi mukenaku diletakkan di
sisi pembaringan, sebentar kurapikan gamisku dan kusambar jilbab putih
kesukaanku. Aku melangkah tergesa kusikap tirai sedikit dan dahiku sedikit
terkejut. Sesosok tubuh berdiri dibalik pintu dengan mulut mendendangkan lagu
yang aku sendiri nggak pernah dengar baitnya. Sedikit bimbang aku terpekur sejenak,
kulirik jam yang menempel manis di dinding, sudah jam 8 pagi gumamku.
Bismillah, kubuka pintu berlahan.
"Nisa. Nisa datang ya. Kemaren aku dengar dari Mbak Titik.. Seneng kalo Nisa datang.. Nisa bawa apa? Bawa oleh-oleh ya. Mana.. mana oleh-olehnya?" ternyata tamunya Om Ron adik sepupu dari Ummi, dia memang selalu bergegas ke rumah bila Ummi mengabarkan tentang kedatanganku, dan seperti biasa ketika datang selalu diawali dengan pertanyaan yang bertubi-tubi, dan untuk menyikapinya aku hanya tersenyum.
"Om, Nisa buatkan minum ya, susu hangat, kopi susu hangat, apa teh?"
"Wah terima kasih Nisa, apa aja deh. Yang penting nanti Nisa harus memberi oleh-oleh. Kalo nggak bawa, Nisa harus dongengin cerita Nabi-Nabi."
"Tenang Om, Nisa buatkan minum dulu ya?"
Aku masuk ke dalam, dari dalam kulihat Om Ron sudah sibuk membolak-balik majalah-majalah Islam ku, dia memang sangat haus dan selalu antusias membaca apalagi yang berhubungan dengan Islam.
Tiba-tiba ada yang menyenggolku dari belakang, ternyata si bontot Layla, dia baru pulang belanja dengan Ummi.
"Mbak kenapa sih Om Ron selalu kesini kalo Mbak Nisa datang, huh Layla kan sering diolok-olok teman-teman, Mbak?"
"Diolok-olok apa sayang?
"Eh. Layla.. punya Om idiot.. Layla keturunan idiot. Layla kan malu."
Aku hanya tersenyum dengar celotehan adek tersayangku.
"Layla nggak boleh begitu, itu kan Om Layla, Layla harus sayang sama Om Ron, walau Om Ron agak terbelakang tapi dia kan baik ama semua orang, apalagi Layla kan pernah diajari ustadz di masjid kalo semua orang itu sama, yang membedakan hanya amal ibadahnya?"
Ummi menyahut dari belakang. Layla masih dengan muka cemberut mengangguk. Kutinggalkan mereka, aku menuju ke ruang tengah.
"Ini Om diminum, lama ya.."
"Nisa baik ya ama Om."
"Ini Nisa bawakan kumpulan kisah Nabi-Nabi dan Para Sahabat Nabi, Om harus baca ya." Mata Om Ron berbinar, kutemukan ketulusan disana.
"Tentu.. tentu Om baca, dan nanti setelah Om baca Om mau ceritain ke Layla, juga ke Iput anaknya Tante Dewi, ke Cici, Pita, dan Ayu."
"Yang kemaren sudah dibaca Om?"
"Sudah. Sudah Om baca 5 kali Nisa, soalnya Om seneng sih sama ceritanya, apalagi yang kisah Si kecil pemberani. Om sudah ceritakan di depan kelas.."
"Oh iya Om nggak sekolah. Ini kan hari sabtu, Om kan masih masuk."
Om Ron sudah tingkat 5 di SLB bagian A tempat anak-anak terbelakang mental.
"Iya Om terlambat nggak apa-apa kok, nanti Om akan bilang kalo habis mengambil oleh-oleh dari Nisa."
"Iya Ron itu becaknya sudah nunggu dari tadi, kan kasian!!!" Ummi dari dalam membawa sekotak kue, dan sebotol Susu rasa coklat kesenangan Om Ron.
"Ini dibawa, dimakan waktu istirahat."
Sebelum pergi Om Ron pamit ke Ummi, dan tak lupa mencium sayang si bontot Layla.
Om Ron adalah adik sepupu dari Ummi, anak adiknya Nenek. Dia anak terkecil, kata Ummi dari kecil dia memang agak terbelakang dalam menangkap pelajaran, makanya dimasukkan ke SLB, namun yang membanggakan dia sangat senang membaca, apalagi yang religi, dan shalatnya pun rajin.
"Nisa nanti ada acara nggak?" Ummi menepuk bahuku dari belakang, pasti Ummi mau mengajak ke suatu tempat, memang kebiasaan Ummi kalo membutuhkan bantuan selalu menanyakan dan mendiskusikan ke anak-anaknya itu yang membuat kami segan sekaligus akrab dengan Ummi.
"Tidak Ummi, memang mau kemana?"
"Kita ke rumah Tante Rum yuk nanti sore, kebetulan sehabis Maghrib Ummi ada kajian di tempat dekatnya tante, mungkin hanya sampai jam setengah 8, Nisa ikut aja, enak kok kajiannya, Ustadzahnya masih muda lha. Sepulangnya nanti kita ketempat Tante Rum". Aku mengangguk mantap.
"Layla ikut Ummi" Si kecil merengek dibelakang. Dia memang selalu menjadi ekor kemana pun Ummi pergi.
"Nisa. Nisa datang ya. Kemaren aku dengar dari Mbak Titik.. Seneng kalo Nisa datang.. Nisa bawa apa? Bawa oleh-oleh ya. Mana.. mana oleh-olehnya?" ternyata tamunya Om Ron adik sepupu dari Ummi, dia memang selalu bergegas ke rumah bila Ummi mengabarkan tentang kedatanganku, dan seperti biasa ketika datang selalu diawali dengan pertanyaan yang bertubi-tubi, dan untuk menyikapinya aku hanya tersenyum.
"Om, Nisa buatkan minum ya, susu hangat, kopi susu hangat, apa teh?"
"Wah terima kasih Nisa, apa aja deh. Yang penting nanti Nisa harus memberi oleh-oleh. Kalo nggak bawa, Nisa harus dongengin cerita Nabi-Nabi."
"Tenang Om, Nisa buatkan minum dulu ya?"
Aku masuk ke dalam, dari dalam kulihat Om Ron sudah sibuk membolak-balik majalah-majalah Islam ku, dia memang sangat haus dan selalu antusias membaca apalagi yang berhubungan dengan Islam.
Tiba-tiba ada yang menyenggolku dari belakang, ternyata si bontot Layla, dia baru pulang belanja dengan Ummi.
"Mbak kenapa sih Om Ron selalu kesini kalo Mbak Nisa datang, huh Layla kan sering diolok-olok teman-teman, Mbak?"
"Diolok-olok apa sayang?
"Eh. Layla.. punya Om idiot.. Layla keturunan idiot. Layla kan malu."
Aku hanya tersenyum dengar celotehan adek tersayangku.
"Layla nggak boleh begitu, itu kan Om Layla, Layla harus sayang sama Om Ron, walau Om Ron agak terbelakang tapi dia kan baik ama semua orang, apalagi Layla kan pernah diajari ustadz di masjid kalo semua orang itu sama, yang membedakan hanya amal ibadahnya?"
Ummi menyahut dari belakang. Layla masih dengan muka cemberut mengangguk. Kutinggalkan mereka, aku menuju ke ruang tengah.
"Ini Om diminum, lama ya.."
"Nisa baik ya ama Om."
"Ini Nisa bawakan kumpulan kisah Nabi-Nabi dan Para Sahabat Nabi, Om harus baca ya." Mata Om Ron berbinar, kutemukan ketulusan disana.
"Tentu.. tentu Om baca, dan nanti setelah Om baca Om mau ceritain ke Layla, juga ke Iput anaknya Tante Dewi, ke Cici, Pita, dan Ayu."
"Yang kemaren sudah dibaca Om?"
"Sudah. Sudah Om baca 5 kali Nisa, soalnya Om seneng sih sama ceritanya, apalagi yang kisah Si kecil pemberani. Om sudah ceritakan di depan kelas.."
"Oh iya Om nggak sekolah. Ini kan hari sabtu, Om kan masih masuk."
Om Ron sudah tingkat 5 di SLB bagian A tempat anak-anak terbelakang mental.
"Iya Om terlambat nggak apa-apa kok, nanti Om akan bilang kalo habis mengambil oleh-oleh dari Nisa."
"Iya Ron itu becaknya sudah nunggu dari tadi, kan kasian!!!" Ummi dari dalam membawa sekotak kue, dan sebotol Susu rasa coklat kesenangan Om Ron.
"Ini dibawa, dimakan waktu istirahat."
Sebelum pergi Om Ron pamit ke Ummi, dan tak lupa mencium sayang si bontot Layla.
Om Ron adalah adik sepupu dari Ummi, anak adiknya Nenek. Dia anak terkecil, kata Ummi dari kecil dia memang agak terbelakang dalam menangkap pelajaran, makanya dimasukkan ke SLB, namun yang membanggakan dia sangat senang membaca, apalagi yang religi, dan shalatnya pun rajin.
"Nisa nanti ada acara nggak?" Ummi menepuk bahuku dari belakang, pasti Ummi mau mengajak ke suatu tempat, memang kebiasaan Ummi kalo membutuhkan bantuan selalu menanyakan dan mendiskusikan ke anak-anaknya itu yang membuat kami segan sekaligus akrab dengan Ummi.
"Tidak Ummi, memang mau kemana?"
"Kita ke rumah Tante Rum yuk nanti sore, kebetulan sehabis Maghrib Ummi ada kajian di tempat dekatnya tante, mungkin hanya sampai jam setengah 8, Nisa ikut aja, enak kok kajiannya, Ustadzahnya masih muda lha. Sepulangnya nanti kita ketempat Tante Rum". Aku mengangguk mantap.
"Layla ikut Ummi" Si kecil merengek dibelakang. Dia memang selalu menjadi ekor kemana pun Ummi pergi.
===== *** =====
Rumah di pojok jalan ini sudah sangat berbeda dengan 2 tahun
yang lalu, dulu masih mungil dengan pohon mangga di depan dan sawo kecik besar
membuat rimbun dan sejuk terasa. Namun sekarang pohon mangga itu diganti dengan
taman dihiasi gemericik air dari kolam ikan kecil yang tertata rapi, dan sawo
kecik yang dulu gagah menjulang mengayomi penghuninya kini berubah menjadi
garasi besar dengan 2 mobil terparkir didalamnya. Ya usaha Tante Rum semakin
maju rupanya. Tante Rum memang sangat pintar berbisnis.
Dengan riang Layla berlari membuka pagar, aku dan Ummi hanya mengikutinya dibelakang sambil geleng-geleng. Layla selalu senang diajak ke Tante Rum karena ada Mitha yang punya mainan banyak, Mitha memang seusia Layla. Dan kali ini pun Layla langsung lari mencari Mitha dan keduanya sudah asyik bercengkrama ramai, sementara dari dalam Tante Rum menyambut kami bahagia, dia mencium pipi kanan kiriku.
"Nisa, lama nggak pernah main kesini."
Dan kami pun diseret masuk kedalam. Pasti tante punya berita menarik, biasanya kalo menyambut kedatangan kami dengan antusias, tante pasti punya kabar yang menarik.
"Tik kata BuLik Leha sama MbakYu Dar, Roni mau dimasukkan ke RSJ, apa nggak sadis itu?"
Belum sampai pantat Ummi menyentuh sofa ruang tengah Tante Rum, Ummi langsung terlonjak. "Masya Allah." Aku pun ikut terbelalak, Om Ron yang walaupun mentalnya terbelakang, namun dia masih sehat, masih waras, membaca dia masih lancar, dan yang terpenting dia tidak pernah merugikan orang lain, tidak pernah membuat ketakutan orang lain, bahkan anak-anak sekitarnya menyenanginya, karena dia suka membacakan cerita-cerita Nabi ke mereka, lalu kalo disuruh ke RSJ, bagaimana perasaannya. Aku terhenyak, memang dari dulu Ibu nya Om Ron begitu tidak bisa menerima, bahwa dia mempunyai anak cacat, dulu kata Ummi, Eyang Leha sempat mau memasukkan Om Ron ke panti asuhan saat diketahui anak itu perkembangannya lambat, untunglah saat itu Eyang Buyut masih ada, jadi kejadian itu ada yang mencegahkan, namun sekarang?
"Astagifirullah aladzim, bagaimana ceritanya Rum, kok Dar bisa seperti itu."
"Kemaren pas arisan keluarga Mbakyu nggak datang, masalah itu dibahas ramai Mbak, mereka merasa malu, mereka atas nama keluarga besar kita Sosrodiningrat merasa terhina karena mempunyai anak yang agak miring kata mereka, anak yang idiot, sebenarnya banyak yang protes dengan keputusan itu Mbakyu, tapi Mbakyu tau sendiri kan gimana Bulik itu kalo sudah ada keinginan, pasti nggak bisa disanggah."
"Astagfirullah aladzim, kita harus mencegahnya Rum, dia itu kan sodara kita, harusnya orang kayak Ron itu harus disayangi, bukan di benci, dia itu anak yang baik."
"Iya Mbak, saya setuju dengan itu."
Tante Rum dengan Ummi saling berpandangan, dan sedetik kemudian mereka menatapku bersamaan. Ditatap seperti itu aku merasa tersudut. Dan akhirnya bersuara.
"Ummi, Tante, kok menatap Nisa?, Nisa juga nggak setuju dengan itu, dan Nisa tau pasti Ummi dan tante akan mendelegasikan Nisa untuk ngomong ama Eyang Leha dan Bulik Dar."
Mereka berdua tertawa bersamaan, dan bersamaan menganggukkan kepala, aku memang dapat menangkap dari sorot mata mereka. Memang dalam keluarga besar kami Sosrodiningrat, Eyang Leha dan Bulik Dar adalah orang yang paling keras, orang yang nggak bisa dibantah kehendaknya. Kalo sudah ngomong A pasti harus A, dan banyak yang bilang mereka Ibu dan Anak yang keras kepala. Tapi aku sendiri juga nggak tahu Eyang Leha sama Bulik Dar sangat sayang sama aku, itu yang sering diucapkan Ummi. Mereka bilang mungkin karena pembawaanku yang kalem, dan yang nggak pernah membantah. Sehingga dua batu karang itu bisa luluh padaku, Wallahualam.
"Nisa, kita akan berusaha mencegah itu, namun kamu pun membantu sepenuhnya, dan kamu merupakan kunci untuk melunakkan hati Bulik sama Mbakyu Dar."
Aku terdiam sejenak, kupandangi Ummi dan Tante Rum, mereka pun tampak menerawang jauh ke halaman samping. Aku tau ada tugas berat yang kami emban esok harinya.
Suara alunan jangkrik berkolaborasi dengan kodok di samping rumah yang kebetulan lapangan bola milik kampung yang telah berubah menjadi rawa-rawa besar, membuat mereka para kodok dan jangkrik kerasan berpesta disana. Suasana seperti itu memang kadang melenakan.
Dentangan Jam 11 kali membawa kantuk kami ke tempat tidur, ya hari itu Aku, Ummi sama dek Layla sengaja menginap di rumah Tante Rum karena hujan deras turun tak henti-hentinya. Masalah tentang Om Ron sementara di pending di mulut namun dipikiran menjadi beban, sehingga terlena terbawa mimpi panjang.
Dengan riang Layla berlari membuka pagar, aku dan Ummi hanya mengikutinya dibelakang sambil geleng-geleng. Layla selalu senang diajak ke Tante Rum karena ada Mitha yang punya mainan banyak, Mitha memang seusia Layla. Dan kali ini pun Layla langsung lari mencari Mitha dan keduanya sudah asyik bercengkrama ramai, sementara dari dalam Tante Rum menyambut kami bahagia, dia mencium pipi kanan kiriku.
"Nisa, lama nggak pernah main kesini."
Dan kami pun diseret masuk kedalam. Pasti tante punya berita menarik, biasanya kalo menyambut kedatangan kami dengan antusias, tante pasti punya kabar yang menarik.
"Tik kata BuLik Leha sama MbakYu Dar, Roni mau dimasukkan ke RSJ, apa nggak sadis itu?"
Belum sampai pantat Ummi menyentuh sofa ruang tengah Tante Rum, Ummi langsung terlonjak. "Masya Allah." Aku pun ikut terbelalak, Om Ron yang walaupun mentalnya terbelakang, namun dia masih sehat, masih waras, membaca dia masih lancar, dan yang terpenting dia tidak pernah merugikan orang lain, tidak pernah membuat ketakutan orang lain, bahkan anak-anak sekitarnya menyenanginya, karena dia suka membacakan cerita-cerita Nabi ke mereka, lalu kalo disuruh ke RSJ, bagaimana perasaannya. Aku terhenyak, memang dari dulu Ibu nya Om Ron begitu tidak bisa menerima, bahwa dia mempunyai anak cacat, dulu kata Ummi, Eyang Leha sempat mau memasukkan Om Ron ke panti asuhan saat diketahui anak itu perkembangannya lambat, untunglah saat itu Eyang Buyut masih ada, jadi kejadian itu ada yang mencegahkan, namun sekarang?
"Astagifirullah aladzim, bagaimana ceritanya Rum, kok Dar bisa seperti itu."
"Kemaren pas arisan keluarga Mbakyu nggak datang, masalah itu dibahas ramai Mbak, mereka merasa malu, mereka atas nama keluarga besar kita Sosrodiningrat merasa terhina karena mempunyai anak yang agak miring kata mereka, anak yang idiot, sebenarnya banyak yang protes dengan keputusan itu Mbakyu, tapi Mbakyu tau sendiri kan gimana Bulik itu kalo sudah ada keinginan, pasti nggak bisa disanggah."
"Astagfirullah aladzim, kita harus mencegahnya Rum, dia itu kan sodara kita, harusnya orang kayak Ron itu harus disayangi, bukan di benci, dia itu anak yang baik."
"Iya Mbak, saya setuju dengan itu."
Tante Rum dengan Ummi saling berpandangan, dan sedetik kemudian mereka menatapku bersamaan. Ditatap seperti itu aku merasa tersudut. Dan akhirnya bersuara.
"Ummi, Tante, kok menatap Nisa?, Nisa juga nggak setuju dengan itu, dan Nisa tau pasti Ummi dan tante akan mendelegasikan Nisa untuk ngomong ama Eyang Leha dan Bulik Dar."
Mereka berdua tertawa bersamaan, dan bersamaan menganggukkan kepala, aku memang dapat menangkap dari sorot mata mereka. Memang dalam keluarga besar kami Sosrodiningrat, Eyang Leha dan Bulik Dar adalah orang yang paling keras, orang yang nggak bisa dibantah kehendaknya. Kalo sudah ngomong A pasti harus A, dan banyak yang bilang mereka Ibu dan Anak yang keras kepala. Tapi aku sendiri juga nggak tahu Eyang Leha sama Bulik Dar sangat sayang sama aku, itu yang sering diucapkan Ummi. Mereka bilang mungkin karena pembawaanku yang kalem, dan yang nggak pernah membantah. Sehingga dua batu karang itu bisa luluh padaku, Wallahualam.
"Nisa, kita akan berusaha mencegah itu, namun kamu pun membantu sepenuhnya, dan kamu merupakan kunci untuk melunakkan hati Bulik sama Mbakyu Dar."
Aku terdiam sejenak, kupandangi Ummi dan Tante Rum, mereka pun tampak menerawang jauh ke halaman samping. Aku tau ada tugas berat yang kami emban esok harinya.
Suara alunan jangkrik berkolaborasi dengan kodok di samping rumah yang kebetulan lapangan bola milik kampung yang telah berubah menjadi rawa-rawa besar, membuat mereka para kodok dan jangkrik kerasan berpesta disana. Suasana seperti itu memang kadang melenakan.
Dentangan Jam 11 kali membawa kantuk kami ke tempat tidur, ya hari itu Aku, Ummi sama dek Layla sengaja menginap di rumah Tante Rum karena hujan deras turun tak henti-hentinya. Masalah tentang Om Ron sementara di pending di mulut namun dipikiran menjadi beban, sehingga terlena terbawa mimpi panjang.
===== *** =====
Ummi hari ini memasak Kare ayam kesukaanku, dan memang aku
tidak bisa mungkir bahwa masakan Ummi sangat pantas diacungi jempol. Siip Deh.
Racikan tangannya mampu melahirkan masakan yang nggak ingin lepas dari lidah,
dengan nasi hangat, kare ayam sama sambel goreng hati kami lahap sarapan, mata
Abi pun tampak bercahaya. Abi memang paling kerasan dengan masakan Ummi, hingga
selalu beliau sempatkan makan dirumah saat istirahat kantor. Tapi tiba- tiba
cengkerama kami di meja makan terhenti sejenak saat tiba-tiba suara pintu
diketuk keras, Ummi bergegas membukanya.
"Astagfirullah Aladzim. Roni kenapa badanmu bengap." Ummi berkata setengah berteriak, kami segera lari kearah ruang depan. Kami terperanjat tampak Om Ron dengan muka bengap dan wajah ketakutan duduk lemas di sofa tamu, sekejap diamati mata Om Ron mengalir kristal bening.
"Astagfirullah." kami bergumam bersamaan.
"Nisa buatkan teh hangat." Ummi berkata sambil tangannya menenangkan Om Ron, kelihatannya sesuatu telah terjadi, dia tampak shok.
"Pelan-pelan Ron, ceritakan ke Mbakyu."
Tiba-tiba tangis Om Ron meledak.
"Ibu sama Mbak Dar, mereka mengurungku dikamar, katanya Ron mau dimasukkan rumah sakit orang gila, kata mereka Ron sudah gila, Ron tidak mau, Ron membantah, lalu mereka memukul Ron." Om Ron menangis lagi sesenggukan, kusodorkan teh hangatnya.
"Innalillahi."
Suara pagar berderit, tampak beberapa orang masuk dengan tergesa-gesa.
"Ron. Roni bocah gila dimana kamu?" Lengkingan suara yang sangat kami kenal, suara Eyang Leha. Om Roni berdiri bersembunyi dibalik punggung Abi. Jelas dimukanya tampak bias ketakutan. Ibu maju mencoba menenangkan Eyang. Sementara Layla memelukku, dia rupanya ketakutan. Muka Eyang sama Bulik Dar merah menandakan kemarahan yang sangat.
"Sudah Tik jangan halangi kami, Ron harus dimasukkan ke RSJ, kalo tidak dia akan menjadi malu keluarga saja."
"Sabar dik Dar, nyebut dik, nyebut." Abi ikut menenangkan, tapi hal itu hanyalah sia-sia Eyang tetep bersikukuh, saat Abi dan Ummi terus menenangkan, Om Ron bersama ketakutannya semakin beringsut ke sudut ruang, dan sekejap kemudian dia lari keluar rumah. Sejenak kami terperanjat, Abi langsung mengejarnya.
"Ron!!!!!"
Ternyata dia berlari jauh membawa ketakutannya.
"Bulik lihat, dia tertekan. Kasihan Roni, tidak sepantasnya kalian berbuat seperti itu." Ummi berkata dengan penuh tekanan, suaranya sampai bergetar parau.
"Iya Eyang, kami nggak setuju kalo Om Ron dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Om Ron butuh kasih sayang keluarganya, itu yang dibutuhkan sekarang, bukannya malah dikurung atau dimasukkan ke rumah sakit, itu malah akan semakin membuat dia sakit."
Eyang Leha dan Bulik Dar menatapku kaget, mereka tidak menyangka aku akan berkata begitu karena mereka melihat aku adalah anak yang paling menurut di keluarga.
"Nisa, kamu mahasiswa Psikologi, harusnya kamu tau bahwa Ron itu sakit!!! Ron itu gila." Suara Bulik Dar meninggi, aku mundur beberapa jengkal, tergidik. Abi memegang pundakku, menenangkan. Ummi menggeleng padaku, menandakan aku tidak usah meneruskan. Aku mengangguk dan hanya diam. Tiba-tiba Layla menangis keras, dan menjerit.
"Eyang Leha sama Bulik Dar jahat seperti setan, Om Ron orang yang baik, Om Ron sangat menyayangi kami, kami pun sayang ke Om Ron. Layla benci sama kalian. Bi kita cari Om Ron!"
Semua memandang Layla. Muka Eyang, sama Bulik semakin memerah.
"Sudahlah, dia sudah pergi, biarkan saja dia minggat. Assalamu'alaikum, kami pamit."
Nada suara Eyang Leha sedikit melemah seiring tubuh mereka meninggalkan pelataran rumah kami. Ummi dan Abi hanya menatapnya perih.
"Astagfirullah Aladzim. Roni kenapa badanmu bengap." Ummi berkata setengah berteriak, kami segera lari kearah ruang depan. Kami terperanjat tampak Om Ron dengan muka bengap dan wajah ketakutan duduk lemas di sofa tamu, sekejap diamati mata Om Ron mengalir kristal bening.
"Astagfirullah." kami bergumam bersamaan.
"Nisa buatkan teh hangat." Ummi berkata sambil tangannya menenangkan Om Ron, kelihatannya sesuatu telah terjadi, dia tampak shok.
"Pelan-pelan Ron, ceritakan ke Mbakyu."
Tiba-tiba tangis Om Ron meledak.
"Ibu sama Mbak Dar, mereka mengurungku dikamar, katanya Ron mau dimasukkan rumah sakit orang gila, kata mereka Ron sudah gila, Ron tidak mau, Ron membantah, lalu mereka memukul Ron." Om Ron menangis lagi sesenggukan, kusodorkan teh hangatnya.
"Innalillahi."
Suara pagar berderit, tampak beberapa orang masuk dengan tergesa-gesa.
"Ron. Roni bocah gila dimana kamu?" Lengkingan suara yang sangat kami kenal, suara Eyang Leha. Om Roni berdiri bersembunyi dibalik punggung Abi. Jelas dimukanya tampak bias ketakutan. Ibu maju mencoba menenangkan Eyang. Sementara Layla memelukku, dia rupanya ketakutan. Muka Eyang sama Bulik Dar merah menandakan kemarahan yang sangat.
"Sudah Tik jangan halangi kami, Ron harus dimasukkan ke RSJ, kalo tidak dia akan menjadi malu keluarga saja."
"Sabar dik Dar, nyebut dik, nyebut." Abi ikut menenangkan, tapi hal itu hanyalah sia-sia Eyang tetep bersikukuh, saat Abi dan Ummi terus menenangkan, Om Ron bersama ketakutannya semakin beringsut ke sudut ruang, dan sekejap kemudian dia lari keluar rumah. Sejenak kami terperanjat, Abi langsung mengejarnya.
"Ron!!!!!"
Ternyata dia berlari jauh membawa ketakutannya.
"Bulik lihat, dia tertekan. Kasihan Roni, tidak sepantasnya kalian berbuat seperti itu." Ummi berkata dengan penuh tekanan, suaranya sampai bergetar parau.
"Iya Eyang, kami nggak setuju kalo Om Ron dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Om Ron butuh kasih sayang keluarganya, itu yang dibutuhkan sekarang, bukannya malah dikurung atau dimasukkan ke rumah sakit, itu malah akan semakin membuat dia sakit."
Eyang Leha dan Bulik Dar menatapku kaget, mereka tidak menyangka aku akan berkata begitu karena mereka melihat aku adalah anak yang paling menurut di keluarga.
"Nisa, kamu mahasiswa Psikologi, harusnya kamu tau bahwa Ron itu sakit!!! Ron itu gila." Suara Bulik Dar meninggi, aku mundur beberapa jengkal, tergidik. Abi memegang pundakku, menenangkan. Ummi menggeleng padaku, menandakan aku tidak usah meneruskan. Aku mengangguk dan hanya diam. Tiba-tiba Layla menangis keras, dan menjerit.
"Eyang Leha sama Bulik Dar jahat seperti setan, Om Ron orang yang baik, Om Ron sangat menyayangi kami, kami pun sayang ke Om Ron. Layla benci sama kalian. Bi kita cari Om Ron!"
Semua memandang Layla. Muka Eyang, sama Bulik semakin memerah.
"Sudahlah, dia sudah pergi, biarkan saja dia minggat. Assalamu'alaikum, kami pamit."
Nada suara Eyang Leha sedikit melemah seiring tubuh mereka meninggalkan pelataran rumah kami. Ummi dan Abi hanya menatapnya perih.
===== *** =====
Ujian telah selesai, liburan akhir semester menjelang, lega,
kuambil nafas panjang dan kuhempaskan berlahan, plong. Segera aku beranjak ke
wartel samping tempat kost ku, kupencet nomor rumah dan mengabarkan kalo aku
akan pulang, Layla yang menerima pertama kali senang menyambutnya. Maklum aku
sudah dua bulan tidak pulang, Ummi menyahutnya dibelakang.
"Nis, jangan lupa pesanan Om Ron, buku Iqro' jilid 1-6 tiga bendhel, Qur'an kecil 5 buah."
"Ya Ummi."
Aku menutup telepon dengan hati riang, liburan kali ini pasti lebih bermakna karena aku bisa Bantu Om Ron di Mushala samping rumah, mengajar anak-anak TPA mengaji. Mushala itu dibangun Abi untuk memberi kesibukan pada Om Ron setelah 2 tahun dia menempuh Ilmu di pondok pesantren di Solo. Dulu setelah pelariannya karena tertekan oleh Eyang Leha dan Bulik Dar kami bisa menemukannya dan meyakinkannya untuk belajar di pesantren. Alhamdullillah sekarang Om Ron mempunyai 20 murid.
Aku tersenyum bahagia saat menenteng Iqro' pesanannya yang aku beli kemaren, kubayangkan asyiknya menjadi guru dan menjadi assisten Om Ron dua minggu. ***
"Nis, jangan lupa pesanan Om Ron, buku Iqro' jilid 1-6 tiga bendhel, Qur'an kecil 5 buah."
"Ya Ummi."
Aku menutup telepon dengan hati riang, liburan kali ini pasti lebih bermakna karena aku bisa Bantu Om Ron di Mushala samping rumah, mengajar anak-anak TPA mengaji. Mushala itu dibangun Abi untuk memberi kesibukan pada Om Ron setelah 2 tahun dia menempuh Ilmu di pondok pesantren di Solo. Dulu setelah pelariannya karena tertekan oleh Eyang Leha dan Bulik Dar kami bisa menemukannya dan meyakinkannya untuk belajar di pesantren. Alhamdullillah sekarang Om Ron mempunyai 20 murid.
Aku tersenyum bahagia saat menenteng Iqro' pesanannya yang aku beli kemaren, kubayangkan asyiknya menjadi guru dan menjadi assisten Om Ron dua minggu. ***
Sumber inspirasi : kota santri [dot] com ,
Republika [dot] com , helvitiana rosa ,
MQMedia[dot]com ,dakwah.org serta beberapa majalah dan buku kumpulan
cerpen