Oleh
: Suhanah
Abstract
This research
aims to understand the intellectual network, institution, and funding of Salafi
in Bogor. This research applies a quantitative descriptive method with a
phenomenological approach. It concludes that the Salafi intellectual network was
built and developed through educational channels (universities, modern
pesantren, dakwah through mosques). They established cooperation with
universities from Indonesia and abroad, ranging from countries such as the
Middle East, Saudi Arabia, Kuwait, Yemen, and Jordan.
Keywords: Network, Theory, Movement, Salafiyah, aksi anarkis, gerakan
radikal.
Tanbih
: Tulisan ini adalah Hasil Penelitian yang obyektif, walaupun demikian
beberapa tulisan hanya hasil observasi yang kurang valid sehingga
dipertanyakan kebenarannya. Sebagai seorang outer-side (peneliti dari
luar) maka yang didapat adalah apa yang di luar bukan hakikat dari
ajaran tersebut. Karena itu sebagai sebuah observasi dan hipotesa maka
bisa saja tulisan hasil dari penelitian ini salah, silahkan dikomentari,
dikritik dan diperbaiki...
Pendahuluan
Salafi muncul
pertama kali pada akhir abad ke 19 di Saudi Arabia. Belakangan ini semakin
berkembang paham dan gerakan tersebut dan masuk ke Indonesia. Paham tersebut
secara luas memiliki pengaruh yang cukup besar di masyarakat, seperti melalui: pondok
pesantren, perguruan tinggi, majelis taklim, lembaga amil zakat, infaq dan shadaqoh.
Juga melalui pengajian-pengajian di masjid kampus. Di Indonesia faham tersebut masuk
melalui Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Mereka di Saudi Arabia banyak
menuntut ilmu di Universitas Muhamad Ibnu Suud (King Saud University) di
Riyadh. Lembaga tersebut mempunyai cabangnya di Indonesia yaitu: Lembaga Ilmu Pengetahuan
Islam dan Arab (LIPIA) Jakarta.Para alumni LIPIA yang telah menuntaskan
studinya di Saudi Arabia menandai kelahiran generasi Wahabi baru di Indonesia,
diantaranya adalah Abu Nida, Ahmad Faiz Asifuddin dan Aunur Rafiq Gufron
sebagai kader DDII. Setelah kembali dari Saudi Arabia mereka mengajar di
pesantren, seperti pesantren Al-Mu’min di Ngruki, pesantren Wathaniyah
Islamiyah di Kebumen dan pesantren Al-Furqon di Gresik. Pesantren-pesantren
tersebut mempunyai karakter pendidikan modern. Kurikulumnya ditekankan pada
pengajaran bahasa Arab, teologi Islam dan hukum Islam. Para alumni Saudi Arabia
ini berkomitmen untuk menyebarkan Wahabi di bawah panji gerakan dakwah Salafi.
Mereka berpendapat bahwa umat Islam Indonesia butuh pemahaman Islam yang sejati
sebagaimana di praktekkan Salafush Shaleh. (Nurhaidi Hasan, 2008 : 65)
Selain dari
Saudi Arabia, ajaran Salafi yang masuk ke Indonesia juga berasal dari Kuwait.
Dua negara kaya minyak tersebut merupakan sumber utama pendanaan bagi
kelangsungan aktivitas gerakan Salafi. Menurut Zaki Mubarak (2007 : 119),
perkembangan gerakan Salafi di Indonesia mendapat dukungan ditandai dengan
kedatangan para tokoh intelektual Arab Saudi, Kuwait dan Yaman. Beberapa tahun
belakangan gerakan Salafi bermunculan di beberapa daerah di Indonesia seperti
di Jakarta, Banten, Jawa Barat/Bogor, Jawa Tengah, Jawa Timur, Riau, Nusa Tenggara
dan Sulawesi Selatan. Ciri-ciri mereka, terutama para kaum lelakinya mengenakan
gamis, bercelana panjang di atas mata kaki dan memelihara jenggot. Bagi
perempuannya berpakaian gamis warna hitam, warna abu-abu, warna coklat dan
memakai cadar.
Perubahan
sosio-kultural tersebut menurut pandangan mereka sebagaimana dicontohkan
generasi zaman Nabi. Berlanjut era al-khulafa al-rasyidun, kemudian dinasti
Ummayah dan Abbasiah. Menyusul dinasti Abbasiah dan Umayyah di Spanyol,
cita-cita untuk mewujudkan Islam sebagai acuan dan tatanan kehidupan umat
manusia terus hidup dan mengalami penafsiran ulang. Gagasan Salafisme terus
dikembangkan terutama oleh ulama Arab Saudi yang didukung oleh pemerintahan Negara
tersebut. Inti pemahaman dan gerakan Salafi adalah kembali kepada ajaran
yang benar dan
murni sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah saw dan kehidupan beragama
sebagaimana dipraktikkan oleh salaf al-shaleh.
Gerakan
pemurnian Islam dari pengaruh budaya dan ajaran non-Islam dalam pemahaman dan
praktik. Paham ini populer disebut oleh pengamat sebagai “fundamentalisme” atau
“radikalisme”. Dari sini muncul istilah gerakan Islam radikal, Islam
fundamentalis, Islam ekstrim, dan sebagainya. (Syafi’i Mufid, 2009 : 16).
Dakwah Salafi berkembang di seluruh Indonesia dan memiliki varian yang
berbeda-beda. Tokoh sentral yang akhir-akhir ini muncul seperti Ja’far Umar
Thalib, Abu Nida, Abdul Hakim, Yusuf Usman Baisa dan Yazid bin Abdul Qadir
Jawas. (M. Zaki Mubarak, 2007 : 119). Masing-masing tokoh tersebut memiliki
kharakteristik tersendiri dan memiliki pengikut.
Penelitian
tentang Salafi sesungguhnya telah banyak dilakukan. Beberapa peneliti Puslitbang
Kehidupan Keagamaan juga telah melakukan kajian ini, seperti yang dilakukan
oleh Ahmad Syafi’i Mufid yang berjudul: “Profil Aliran/Faham Keagamaan di
Indonesia”, Haidlor Ali Ahmad dengan judul: “Studi Kelompok Keagamaan Salafi di
Kota Batam”. Kemudian Nuhrison M. Nuh meneliti tentang “Sejarah dan Ajaran
Salafi di Kabupaten Lombok Timur”. Kajian-kajian tersebut terfokus pada paham,
ajaran dan perkembangan.
Dalam studi
ini, penulis hendak memfokuskan pada aspek jaringan Salafi dan perkembangannya
yang meliputi jaringan intelektual, kelembangaan dan pendanaan. Kemudian juga
mengupas bagaimana pandangan pengikut salafi sendiri dan aparat setempat
tentang gerakan ini. Diantara kegunaan kajian ini adalah sebagai bahan masukan
pada pihak-pihak yang berkepentingan dalam mengkaji dan memperdalam mengenai
Salafi.
Penelitian ini
dilakukan pada kelompok jaringan Salafi yang ada di Bogor, yang merupakan
penelitian terhadap kasus dengan pendekatan kualitatif dan fenomenologis.
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara terhadap pimpinan dan
asatidz Salafi di wilayah Bogor.
Juga
dengan pemerintah (Kementerian Agama) dan aparat setempat serta jamaah Salafi
sendiri. Data juga diperoleh melalui observasi terhadap kegiatan
pengajian-pengajian (halaqoh) dan telaah terhadap simbol-simbol yang digunakan
Salafi. Sumber skunder diperoleh melalui hasil penelitian, jurnal, klipping
koran, buku-buku yang berhubungan dengan Salafi dan dokumen-dokumen yang
dimiliki salafi.
Sekilas tentang
Salafi
Kata salaf sering
dikaitkan dengan kata ulama, ulama salaf, yang berarti ulama lama sebagai lawan
dari ulama baru (khalaf) atau kontemporer. Salafi dalam konteks faham keagamaan
adalah penisbatan kelompok orang atau komunitas yang memperaktekkan Islam berdasarkan
teks al-Qur’an dan As-Sunnah sebagaimana yang diamalkan oleh para sahabat Nabi
Muhamad saw. Salafi atau Shalafush shaleh adalah para sahabat dari tabiin dan
tabiit tabiin. Mereka dianggap sebagai orang-orang yang telah memahami dan
mempraktikkan Islam secara benar.
Menurut Yazid
bin Abdul Qadir Jawas (2009 : 22) Salafi adalah setiap orang yang berada di
atas Manhaj Salaf dalam aqidah, syariat, akhlak dan dakwah Salaf berasal dari
kata salafa-yaslufu-salafan, yang artinya kaum terdahulu. Secara lebih luas,
kata salaf berarti seseorang yang telah mendahului atau terdahulu dalam ilmu,
iman, keutamaan dan kebaikan. Salaf menurut istilah adalah sifat yang khusus
dimutlakkan kepada para sahabat yaitu orang-orang yang mengikuti para sahabat,
tabiin dan tabiut tabiin.
Salafi dirintis
oleh Ibnu Taimiyah dan dipraktikkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Fakta
tersebut kemudian mengilhami lahirnya pemikiran Islam generasi berikutnya
seperti Pan Islamisme oleh Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan Jamaludin
al-Afgani di Mesir.
Pasca Muhammad
Abduh di Mesir lahir Ikhwan al-Muslimin yang digagas oleh Hasan Al-Banna. Di
Saudi Arabia lahir Salafi dakwah hingga Salafi jihadis sebagaimana dilakukan
oleh mantan murid Syaikh Abdul Azis bin Baaz. Muncul pula Juhaiman yang
memimpin pemberontakan di Ka’bah-Mekkah pada awal tahun baru hijriyah 1400
H/1979 M. Di India lahir Jamaat al-Islami yang dipimpin oleh Abu ‘Ala
al-Maududi dan Jamaah Tabligh oleh Muhamaad Ilyas. Di Lebanon dicetuskan oleh
Syaikh Taqiyudin al-Nabhani melahirkan Hizb al Tahrir.
Paham dan
gerakan yang memiliki hubungan genealogi ide dan gerakan pemurnian/ pembaharuan
yang menempatkan pemikiran dan praktik keagamaan Salaf al-shaleh antara satu
dengan yang lain berbeda strategi dan cara untuk meraih cita-cita. (Syafi’i
Mufid, 2009 : 18)
Salafi dan
Perkembangannya di Indonesia
Faham dan
Ajaran Salafi
Dakwah yang
dilakukan orang-orang Salafi, baik yang ada di Indonesia maupun di Timur
Tengah, termasuk Yordan, Yaman dan Kuwait, semuanya sama yaitu melakukan dakwah
Islam dengan berpedoman kepada teks al-Qur’an dan AS-Sunnah dengan bermanhaj shalafush
shaleh. Hanya saja dalam hal-hal yang berkaitan dengan masalahmasalah khilafiyah
mereka sangat menekankan bid’ah dan bid’ah itu dikatakan sesat. Orang-orang
Salafi dengan tegas memberantas hal-hal yang dianggap bid’ah seperti: Maulid
nabi, Isra’mi’raj, Qunutan, Tahlilan
3 hari, 7 hari,
14 hari maupun 40 hari, mengaji di depan mayat, mengaji di kuburan, ziarah
kubur, mengaji surat yaasin pada malam jum’at dan ada lagi yang lainnya
dianggap bid’ah karena menurut mereka perbuatan tersebut tidak pernah
dicontohkan Nabi. Sunnah-sunnah Nabi diikutinya dengan baik, seperti memelihara
jenggot.
Ajaran dan
gerakan pemikiran Islam Salafiyah merupakan gerakan pemikiran yang berusaha
menghidupkan kembali atau memurnikan ajaran Islam yang berdasarkan pada
al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad saw, sebagaimana yang telah diamalkan oleh
para Salaf (para sahabat terdahulu). Tujuan dari gerakan pemikiran Salafiyah
adalah agar umat Islam kembali kepada dua sumber utama pemikiran Islam, yakni kitab
suci al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw, serta meninggalkan pendapat ulama
mazhab yang tidak berlandaskan pada dua sumber ajaran tersebut. Juga memurnikan
ajaran Islam dari pengaruh kepercayaan dan tasawuf yang menyesatkan,
menghilangkan ajaran tasawuf yang mengkultuskan para ulama dan pemujaan kuburan
para wali atau tokoh agama. (Imam Tholhah, 2003 : 33).
Perkembangan
Salafi
Gerakan Salafi
masuk dan berkembang di Indonesia sejak era kolonial Belanda. Salah satunya
yang mencuat adalah Gerakan Paderi yang dipelopori oleh Tuanku Nan Tuo, orang
Paderi dari Koto Tuo Ampek Anggek Candung 1784-1803. (Imam Tholhah, 2003 : 35).
Ajaran Salafi masuk ke Indonesia melalui para sarjana alumni Timur Tengah,
terutama mereka yang bersekolah di Universitas-Universitas di Arab Saudi dan Kuwait.
Dua negara ini merupakan basis utama atau sentral gerakan salafi seluruh dunia.
Selain itu, dua negara kaya minyak ini juga merupakan sumber utama pendanaan
bagi kelangsungan aktivitas gerakan Salafi.
Menurut Imdadun
Rachmat, persentuhan awal para aktivis pro Salafi di Indonesia dengan pemikiran
Salafi terjadi pada tahun 1980-an bersamaan dengan dibukanya Lembaga Pengajaran
Bahasa Arab (LPBA) di Jakarta. Lembaga ini kemudian berganti nama menjadi LIPIA
yang memberikan sarana bagi mereka untuk mengenal dan mendalami pemikiran-pemikiran
para ulama Salaf. Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) Jakarta
merupakan cabang dari Universitas Muhamad Ibnu Suud (King Saud University) di
Riyadh. Pembukaan cabang baru di Indonesia (Jakarta) ini terkait dengan gerakan
penyebaran ajaran Wahabi yang berwajah Salafi ke seluruh dunia Islam. Kampus
LIPIA Jakarta telah menghasilkan ribuan alumni, yang umumnya berorientasi
Wahabi Salafi dengan berbagai variannya. Kini alumni LIPIA sebagian menjadi
aktivis PKS dan sebagian lainnya menjadi da’i Salafi dan aktivis Hizbut Tahrir Indonesia
(HTI).
Kampus LIPIA
Jakarta langsung di bawah Universitas Islam Imam Muhammad Ibn Sa’ud, Riyadh,
dan dipimpin oleh seorang direktur berkebangsaan Saudi, yang bertanggung jawab
dalam bidang akademik dan masalah-masalah administratif, di bawah pengawasan
langsung Kedutaan Saudi Arabia di Jakarta. Direktur pertamanya adalah ’Abd
al-’Aziz ’Abd Allah al-’Amir, seorang mahasiswa Bin Baz. Sebagai lembaga yang
secara administratif bertanggung jawab terhadap LIPIA. Universitas itu memilih
dan merekrut para pengajar dari Saudi Arabia, Mesir, Jordania, Sudan, Somalia,
dan Indonesia. Mereka bekerja dengan universitas berdasarkan kontrak. Beberapa
staf pengajar tambahan direkrut secara pribadi oleh direktur LIPIA.
Begitu
pentingnya posisi LIPIA di mata Saudi Arabia, sehingga sejumlah pejabat tinggi
Saudi Arabia mengunjungi Lembaga tersebut, seperti: Pangeran Sultan Ibnu Abdul
Aziz, Pangeran Sa’ud Al-Faysal, Pangeran Sultan Ibn Salman Ibnu Abdul Aziz,
Pangeran Turki Al-Faysal, Khaliq bin Muhamad Al-Anqari, ’Abdul Al-Muhsin
Al-Turki, Usama Faysal, ’Abdullah Al-Hijji, ’Abdullah Ibnu Shalih Al-’Ubaiyd,
dan Ibrahim Al-Akbar. Berkat dukungan penuh Saudi Arabia, LIPIA berhasil
menebar pengaruhnya di seluruh Indonesia. (Nurhaidi Hasan, 2008 : 60). Pihak LIPIA
juga mencetak kitab-kitab mengenai ajaran Wahabi dan Edisi-Edisi Qur’an yang
dibagikan kepada Institusi Pendidikan Islam dan organisasi keagamaan Islam
secara gratis. Kitab-kitab yang dicetak diantaranya adalah:
1)
Al-”Ubudiyah, Al-’Aqidat Al-Wasyatiyah, oleh Ibnu Taymiyyah.
2) ’Aqiqat
Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah, oleh Muhammad Ibnu Shalih Al-’Uthaymin, Butlan ’Aqaid
al-Syiah, oleh Abdul al-Sattar al-Tunsawi, Al-Khuththal-’Arida li al-Syiah
al-Istna ’Asyariyah oleh Muhib al-Din al-Khatib, dan Kitab al-Tauhid oleh
Muhamad ibn ’Abdu al-Wahhab. Selain itu, LIPIA melakukan kegiatan-kegiatan
dakwah seperti perlombaan Musabaqah Tilawatil Qur’an, membuka halaqah-halaqoh
dan dauroh-dauroh bekerjasama dengan organisasi keagamaan Islam.
Jangkauan
pengaruh LIPIA adalah para mahasiswa yang berhasil dicekoki aspek ajaran Wahabi
melalui halaqah-halaqah dan daurah-daurah. Sebagai upaya meningkatkan kampanye
Wahabinya. LIPIA memperkenalkan program pengiriman mahasiswa-mahasiswa
berprestasi untuk belajar di Saudi Arabia, khususnya di Universitas Imam
Muhammad ibn Sa’ud di Riyadh dan Universitas Islam Madinah di Madinah. Melalui program
tersebut lebih dari 30 orang alumninya berhasil melanjutkan studinya di Saudi
Arabia setiap tahun. (Nurhaidi Hasan, 2008 : 62).
Perkembangan
gerakan Salafi di Indonesia juga mendapat dukungan langsung melalui kehadiran
tokoh-tokoh Intelektual “Arab”di antaranya dari Arab Saudi sendiri yaitu Kuwait
dan Yaman. (Zaki Mubarak, 2007 : 119) Pengaruh Saudi Arabia mengalir ke
Indonesia melalui Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Sekembalinya para
alumni yang telah menuntaskan studinya di Saudi Arabia menandai kelahiran
generasi Wahabi baru di Indonesia, diantaranya adalah Abu Nida, Ahmad Faiz Asifuddin
dan Aunur Rafiq Gufron sebagai kader DDII. Sepulang dari Saudi Arabia, mereka
mengajar di pesantren-pesantren, seperti pesantren Al-Mu’min di Ngruki, Wathaniyah
Islamiyah di Kebarongan Banyumas dan Al-Furqon di Gresik. Lembaga-lembaga
pendidikan ini berkarakter modern. Kurikulumnya menekankan pengajaran bahasa
Arab, teologi Islam dan hukum Islam. Para alumni Saudi ini berkomitmen untuk menyebarkan
Wahabisme di bawah panji gerakan dakwah Salafi. (Nurhaidi Hasan, 2008 : 65).
Abu Nida lahir
di Lamongan Jawa Timur pada tahun 1954. Usai menyelesaikan pendidikannya di PGA
Muhamadiyah Karangasem, melibatkan diri mengikuti kursus dakwah di DDII yang
diselenggarakan di Pesantren Darul Falah Bogor, sebagai bagian dari program
yang dirancang untuk mengirim para dai ke daerah-daerah transmigrasi. Kemudian
ia dikirim ke pedalaman Kalimantan Barat. Setelah merampungkan kerjanya di
Kalimantan, ia mendapat rekomendasi dari Muhamad Natsir untuk belajar di Saudi.
Sebelum belajar di Saudi Arabia (Universitas Imam Muhammad Ibnu Sa’ud) ia
terlebih dahulu belajar bahasa Arab di LIPIA.
Sepulang dari
almamaternya di Saudi, untuk mengembangkan dan memperluas gerakan Salafi ia
membuat halaqoh-halaqoh dan daurohdauroh Salafi di Masjid Mardiyah dekat
Fakultas Kedokteran UGM, Masjid Mujahidin dekat IKIP Jogyakarta, Masjid siswa
Graha Pogung, Masjid STM Kentungan dan sebuah rumah di Jl. Kaliurang
Yogyakarta. Melalui strategi itulah Abu Nida merekrut sejumlah mahasiswa,
khususnya mahasiswa UGM, IKIP dan UPN masuk ke dalam lingkaran pengikut Salafi.
Dukungan dari
kedua karib dekatnya, Ahmad Faiz Asifuddin dan Rofiq Gufron, Abu Nida menggelar
dauroh satu bulanan di Pesantren Ibnu Qayyim Sleman Yogyakarta dan memperoleh
dukungan DDII. Pada awal tahun 1990-an, kegiatan-kegiatan dakwah yang
dikembangkan oleh Abu Nida, makin ditopang dengan kedatangan Ja’far Umar
Thalib, Yazid bin Abdul Qadir Jawas dan Yusuf Usman Baisa yang sama-sama alumni
LIPIA keturunan Hadrami.
Pada awalnya
orang-orang yang pernah belajar di Saudi Arabia seperti: Ustadz Yazid bin Abdul
Qodir Jawas, Ustadz Abdul Hakim, Ustadz Badrusalam, mereka setelah selesai
belajar, di Saudi Arabia dengan Prof. Dr. Syakh Abdurrazzaq (Dosen Universitas
Jami’ah Al-Islamiyah Madinah), kemudian kembali ke kampung halamannya, lalu
mengembangkan dakwah Salafi, dengan mengadakan pengajian di masjid-masjid yang berbasis
Muhamadiyah yang ada disekitarnya. Beberapa tahun berikutnya mereka membangun
masjid dan membuat kelompok-kelompok pengajian Salafi. Dalam ceramah
pengajiannya banyak masyarakat yang tidak setuju dengan isi dakwahnya, karena
banyak mengangkat masalah khilafiyah
yang jamak dilakukan oleh mayoritas umat Islam (bid’ah). (Wawancara dengan Ustadz
Abu Zuhri, 21 April 2010).
Di wilayah
Cileungsi Bogor, Badrussalam membangun sebuah Masjid Al-Barkah yang tidak jauh
dari rumahnya. Dakwah Salafi dilakukan melalui ceramah pada waktu khutbah
Jum’at dan waktu-waktu shalat subuh serta dalam pengajian atau taklim yang
dihadiri oleh kaum laki-laki. Para peserta lazim disebut dengan Ikhwan. Isi
ceramah yang disampaikan beliau banyak ditentang masyarakat, karena dianggap meresahkan
masyarakat setempat yang sudah terbiasa melakukan qunutan, tahlilan, melaksanakan
perayaan maulid dan isra mi’raj, mereka katakan itu adalah bid’ah dan sesuatu
yang bid’ah itu adalah sesat. Sehingga masyarakat setempat timbul amarah
mendatangi masjid tersebut dan menyatakan meminta supaya dakwah tentang menesat
kan orang lain segera di hentikankarena akan menimbulkan kemarahan masyarakat
yang lebih besar. Mereka selain melakukan dakwahnya melalui jalur pendidikan juga
melalui media berupa Radio dan majalah. Seperti yang digagas oleh seperti Pawaz dan Abu Zuhri, Agus Hasan minta
persetujuan dari Badrussalam dan Yazid yang pernah belajar di Pondok Pesantren
Imam Buchori Solo untuk mendirikan Rodja yaitu radio dakwah ahlussunnah waljama’ah
yang didirikan pada tahun 2004, agar jangkauan dakwah Salafi tidak hanya
diperuntukkan bagi masyarakat di Bogor saja, tetapi di seluruh Indonesia. Agar
seluruh umat di Indoensai mengetahui bahwa dakwah Salafi itu ajaran Islam
sesuai teks al-Qur’an dan Sunnah Nabi, mengikuti para shahabat, tabiin dan
tabiut tabiin. Dakwah Salafi bertujuan memurnikan ajaran Islam sesuai kitab
al-Qur’an dan Kitab As-Sunnah yang bermanhaj Shalafus Shaleh. (Wawancara dengan
Ustadz H. Agus Hasan)Adapun jamaah Salafi, baik yang ada di Timur Tengah maupun
di Indonesia tidak ada kepastian berapa jumlahnya, karena tidak terdata, namun
jumlahnya dari tahun ketahun semakin meningkat. Indikasi tersebut dapat dilihat
ketika diadakan tablig akbar yang diadakan di Mesjid Istiqlal Jakarta, jamaah
yang hadir begitu banyak membanjiri masjid tersebut. Dalam Aktivitasnya Salafi,
baik di Jakarta, Cileungsi, Kota Bogor dan yang berada di tempat lainnya adalah
sama yaitu melakukan dakwah Islam berdasarkan teks al-Qur’an dan AS-Sunnah
dengan bermanhaj Shalafush Shaleh yang diadakan di Masjid-masjid yang berada di
seluruh Indonesia. Sehingga beberapa litertur yang menyebutkan tentang adanya bermacam-macam
bentuk Salafi seperti: Salafi Haroqi, Salafi Jihadis, Salafi Yamani dan Salafi
dakwah tidaklah tepat. Dimana menurut Ustadz Abu Zuhri dan Ustadz Abu Qatadah,
jamaah Salafi yang ada di Cileungsi, bahwa tidak ada pembagian nama-nama Salafi
tersebut, karena Salafi hanya ada satu yaitu Salafi saja.
Jaringan Salafi
: Jaringan Intelektual
Jaringan
intelektual Salafi sangat luas, tidak hanya terbatas antar tokoh yang ada di
Indonesia, melainkan sampai ke kawasan Timur Tengah. Jaringan intelektual
dibangun melalui jalur pendidikan baik perguruan tinggi, maupun pondok
pesantren. Kagiatan dilakukan dengan cara adanya kerjasama universitas yang ada
di Timur Tengah dengan yang ada di Indonesia. Mereka juga melakukan dakwah
keintelektualan mereka melalui ceramah agama di masjid-masjid, seperti yang
dilakukan oleh Prof. Dr. Syakh Abdur Razzaq, seorang Dosen Universitas Jami’ah
Al-Islamiyah Madinah, yang sering hadir ke Jakarta melakukan ceramah agama di
Masjid Istiqlal dan menghadiri kegiatan daurah yang diadakan oleh Yazid bin
Abdul Qadir Jawas, seorang ustadz dan tokoh Salafi yang cukup terkenal di
Indonesia dan tinggal di Bogor. Ustadz merupakan sebutan untuk ulama Salafi.
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, memiliki Pesantren Imam Ahmad dan Yayasan Minhajus
Sunnah, beliau pernah tinggal di Mataram selama 9 tahun mengembangkan dakwah
salafi. Yazid bin Abdul Qodir Jawas merupakan kakak ipar dari Badrussalam dan
H. Agus Hasan sebagai pembina dan pendiri radio Rodja. Selain Itu ada juga Ustadz
Abu Qatadah yang berasal dari Tasikmalaya dan tinggal di Tasikmmalaya, ia
lulusan dari Yaman dan memiliki Pesantren Ihya As-Sunnah, pada setiap hari
Sabtu dan minggu beliau mengajar di masjid-masjid yang ada di Jakarta.
Badrussalam,
lulusan dari Timur Tengah dan tinggal di Cileungsi, juga memiliki Masjid
Al-Barkah, sebuah TK Al-Barkah, dan beliau mempunyai hubungan pertemanan dengan
Zen Al- di Batam dan Abu Fairuz ketika sama-sama belajar di Timur Tengah.
Adapun Syakh Mudrika Ilyas Lc. sebagai Mudir Pesantren Al-Ma’had Bermanhaj
Salaf Kabupaten Bekasi selalu mengadakan hubungan baik dengan komunitas Salafi
yang ada di Rodja. Begitu pula dengan Abdul Hakim keturunan Arab dan tinggal di
Poltangan III Pasar Minggu, Jakarta, beliau selalu bekerjasama dalam mengembangkan
dakwah Salafi dengan Yazid bin Abdul Qodir Jawas dan selalu mengajar di
Pesantren Imam Ahmad dan Pesantren Minhajus Sunnah Bogor milik Ustadz Yazid bin
Abdul Qadir Jawas. Adapun Pawaz asal dari Majalengka lulusan dari Pesantren
Imam Bukhori Solo, yang kini tinggal di Cileungsi, juga selalu mengajar di
Masjid Al-Barkah. Para ulama Salafi antara satu dengan lainnya saling
berkomunikasi dalam rangka pengembangan jaringan keintletualan dan dakwah
mereka, seperti yang dilakukan oleh Arman Amri asal dari Padang yang tinggal di
Bogor, Mauludi Abdullah lulusan dari Madinah, Hamzah Abbas asal dari Bekasi
lulusan dari LIPIA Jakarta, Zainal Abidin berasal dari Lamongan tinggal di
Cileungsi; Abu Zuhri yang pernah mondok di Pesantren Imam Bukhori dan sekarang
ini menjadi mahasiswa LIPIA tinggal di Cileungsi, Ali Musri asal Padang lulusan dari Madinah,
Oja asal Padang tinggal di
Cileungsi, Abu
Fairuz tinggal di Batam, Kumaidi tinggal di Lombok, Abu Nida’ tinggal di
Yokyakarta, Ahmad Faiz Asifuddin tinggal di Solo memiliki Pesantren Islam
Al-Irsyad; Muhamad Umar As Sewed tinggal di Solo, Djazuli Lc memiliki Pesantren
Hidayatun Najah di Bekasi, Firdaus Sanusi, Abu Haidar, Abu Lukman, Ali Subana;
Syakh Mudrika Ilyas Lc, Mudir Al-Ma’had, Abu Islama Imanuddin Lc, Ali Saman
Hasan Lc sebagai pendiri dan pengasuh Sekolah Dasar Islam (SDI) An-Najah yang
berlokasi di Jl. Raya Pos Pengumben Kelurahan Srengseng Jakarta Barat, dan Zain
Al-Atas di Batam.
Jaringan
intelektual Salafi, juga merambah kekawasan Timur Tengah seperti: Universitas
Jami’ah Al-Islamiyah Madinah, banyak menerima santri-santri dari Indonesia,
mereka juga menerima HTI dan juga dari organisasi-oraganisasi keagamaan Islam
lainnya. Di Indonesia jaringan intelektual Salafi juga dibangun dengan cara
kerjasama kegiatan antar pondok pesantren, seperti: Pesantren Islam Al-Irsyad
yang beralamat di Jl. Raya Solo, Semarang, KM. 45 Kecamatan Tengaran Kabupaten
Semarang Jawa Tengah, yang bekerjasama dengan pesantren–pesantren yang dipimpin
oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas seperti pesantren Imam Ahmad dan
pesantren Minhajus Sunnah dalam mengembangkan dakwah Salafi; Pesantren Ihya
As-Sunnah Tasikmalaya yang beralamat di Jl. Terusan Paseh BCA No. 11 Tuguraja
Kecamatan Cihideng Kota Tasikmalaya, lembaga ini selalu bekerjasama dalam
mengadakan Musabaqah Tahfizul Qur’an, dimana para santrinya dikirim beberapa
orang sebagai perwakilan untuk menjadi peserta; Pesantren Al-Ma’had Bermanhaj
Salaf yang beralamat di Jl. MT. Haryono Kp. Awirangan Desa Taman Sari Kecamatan
Setu Kabupaten Bekasi, dimana lembaga tersebut bekerjasama dalam penerimaan
siswa baru dengan jalur hubungan mengirimkan brosur-brosur ke Rodja; Sekolah
Dasar Islam An-Najah yang beralamat di Jl. Raya Pos Pengumben No. 21 Kelurahan
Serengseng Kecamatan Kembangan Jakarta Barat, sekolah ini juga tidak lepas dari
pengawasan
pimpinan Pondok Pesantren yang bermanhaj Salaf yang berada di Bekasi; Pesantren
Minhajus Sunnah Kota Bogor dan Pesantren Imam Ahmad Branangsiang yang dipimpin
oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas.
Pada pondok
pesantren Minhajus Sunnah merupakan kumpulan santri kelas tinggi (taklim),
mereka diharuskan mondok selama 2,5 tahun. Setelah selesai mondok, mereka
diperbolehkan berdakwah di wilayah mana saja. Tetapi setiap bulan melapor
tentang kegiatan dakwahnya itu. Bila sudah melakukan dakwah selama satu tahun,
ia sudah bebas tanpa harus melapor kembali tentang dakwahnya itu. Para da’i
Salafi juga seringkali melakukan pertemuan (Daurah). Dalam setiap pertemuan setahun
sekali para Syakh yang hadir biasanya dari Yordan dan Madinah.
Dari Yordan
yang biasa hadir yaitu: Syakh Ali bin Hasan, Syakh Masyhur Hasan Salman, Syakh
Muhamad bin Musin dan syakh Salim. Dari Madinah yang biasa hadir adalah: Syakh
Abdur Razaq dan Syakh Ibrahim Ar-Rohaili.
Pelaksanaan
daurah itu berlangsung selama lima hari. Tempat pelaksanaan daurah biasanya di
Blasingki atau di Mojekerto, juga di Cipanas. Perwakilan yang hadir biasanya
tingkatan Muallim, yaitu orang yang memiliki Radio dan Majalah dan. pemilik
Hotel, demikian wawancara yang penulis lakukan dengan Kepala Tata Usaha
Yayasan, Beta, 28 April 2010. Begitu juga melalui Universitas Jami’ah
Al-Islamiyah Madinah, Pesantren Islam Al-Irsyad di Solo, Pesantren Ihya
As-Sunnah tasikmalaya, Pesantren Al-Ma’had Bermanhaj Salaf di Kabupaten Bekasi,
Sekolah Dasar Islam An-Najah di Kecamatan Kembangan Jakarta Barat, Yayasan Minhajus
Sunnah di Bogor dan Pesantren Imam Ahmad di Branangsiang;
Majelis
taklim-majlis taklim yang ada di Indonesia. Pesantren tersebut selalu
mengadakan hubungan baik dengan pesantren-pesantren yang bermanhaj salaf, dan
berada di seluruh Indonesia. Dengan demikian dari masing-masing pondok
pesantern maupun universitas yang satu dengan yang lainnya, saling bekerjasama
dalam mengajar dan saling mendukung dalam meningkatkan kualitas para santri
atau anak didiknya, sehingga mereka dapat mengembangkan dakwah Salafi melalui
jaringan intelektual mereka dan dapat mengenbangkannya di wilayahnya
masing-masing. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada skema jaringan
intelektual Salafi. Jaringan Intelektual Individu Salafi Prof. Dr. Syaikh Abdul
Razzaq
(Madinah)
Yazid bin Abdul
Qodir
Jawas (Bogor)
Badrus Salam
(Cileungsi)
Abu Qotadah
(Tasikmalaya)
Abdul Hakim
(Jakarta)
Abu Nida’
(Yogyakarta)
Ali Musri
(Padang)
Syakh Masyhur
Hasan
Salman (Yordan)
Syakh Ali bin
Hasan
(Yordan)
Syakh Ibrahim
Ar-Rohaili
(Madinah)
Syakh Muhammad
bin
Muhsin (Yordan)
Ahmad Faiz
Asifuddin
(Solo)
Zaien Al Atas
(Batam)
Kumaidi
(Lombok)
Abu Fairuz
(Batam)
Hamzah Abas
(Bekasi)
Djazuli
(Bekasi)
Mudrika Ilyas
(Bekasi)
Ali Salman
Hasan
(Jakarta)
Arman Amri
(Padang)
Abu Zuhri
(Cileungsi)
Pawaz
(Cileungsi)
Muhammad
Umar As
Sewed (Solo)
Abu Haidar
(Cileungsi)
Firdaus Sanusi
(Jakarta)
Abu Lukman
(Jakarta)
Zainal Abidin
(Cileungsi)
Ali Subana
Agus Hasan
(Cileungsi)
Jaringan
Pendidikan Salafi
Jaringan
Kelembagaan
Selain
mengembangkan jaringan intlektual melalui jalur pendidikan, mereka juga
mengembangkan dakwahnya melalui berbagai media massa, seperti mendirikan
beberapa stasiun radio. Salah satu stasiun radio Salafi terbesar dan sekaligus
pusat informasi Salafi di Indonesia yaitu stasiun radio Rodja. Dimana para
ulama atau tokoh-tokoh Salafi dari dalam maupun luar negeri dapat mengisi
siaran langsung di radio tersebut, seperti yang dilakukan Prof. Dr. Syakh Abdur
Razzaq yang melakukan siaran langsung
tentang keagamaan di Rodja, dilakukan pada malam hari, dalam satu minggu 2
(dua) kali. Begitu pula dengan Yazid bin Abdul Qadir Jawas, beliau senantiasa
mengisi siaran keagamaan di Rodja, apalagi beliau merupakan pembina Rodja, yang
bertanggung jawab agar programnya dapat berjalan dengan baik dalam
mengembangkan dakwah salafi. Yazid bin Abdul Qodir Jawas merupakan kakak ipar
dari Ustazd Badrussalam dan H. Agus Hasan sebagai pembina dan pendiri Rodja.
Begitu juga dengan Abu Qatadah yang berasal dari Tasikmalaya dan tinggal di
Tasikmmalaya, ia lulusan dari Yaman juga mengisi siaran keagamaan di Rodja pada
setiaphari Sabtu dan minggu. Badrussalam, lulusan dari Timur Tengah dan tinggal
di Cileungsi, juga memiliki Radio Ahlussunnah Wal-Jama’ah, beliau mempunyai
hubungan pertemanan dengan Zen Al-Atas pemilik Radio
LIPIA
Universitas
Jamiah Al- Islamiyah Madinah
Pesantren Islam
Al-Irsyad Solo
Pesantren Imam
Bukhori Solo
Pesantren
Minhajus
Sunnah Bogor
Universitas
Islam Imam
Muhammad Ibnu
Sa’ud
Riyadh
Pesantren Imam
Ahmad
Branangsiang
Pesantren Ihya
As-Sunnah
Tasikmalaya
Pesantren Al
Ma’had
Bermanhaj
Salaf Bekasi
Pesantren
Hidayadunnajah
Bekasi
Sekolah Dasar
Islam An Najah
Jakarta
100
HARMONI Oktober
- Desember 2010
SUHANAH
Hang di Batam.
Adapun Syakh Mudrika Ilyas Lc. Bekasi selalu mengadakan hubungan dengan
komunitas Salafi yang ada di Rodja. Radio Rodja yaitu singkatan dari Radio
Dakwah Ahlus Sunnah Waljama’ah, yang
berdiri pada tahun 2004 oleh H. Agus Hasan. Berdirinya Rodja ini merupakan
salah satu upaya komunitas Salafi. Radio Rodja yang berada di Kecamatan
Cileungsi Kabupaten Bogor, merupakan tempat para ulama/tokokh/ustadz Salafi
mengembangkan dakwah mereka, hampir semua ustadz salafi yang berada di
Indonesia menyampaikan dakwahnya di Rodja. Selain radio mereka juga
mengembangkan dakwanya melalui majalah, seperti majalah As-Sunnah dan majalah
Fatawa di Yogyakarta. Jaringan tersebut dapat dilihat sebagi berikut:
Jaringan Komunikasi
Kelembagaan Salafi Melalui Radio Jaringan Pendanaan Berdasarkan informasi dari
berbagai literatur disebutkan bahwa pendanaan kegiatan Salafi berasal dari
negara Timur Tengah termasuk Quwait. Namun pendanaan Salafi yang ada di Bogor
diperoleh dari sumbangan dari para simpatisan Salafi yang menyumbang melalui rekening
Rodja, sumbangan dari jamaah Salafi sendiri, dan sumbangan dari salah seorang
pemilik hotel GA di Jakarta dan pemilik hotel Alma di Tanah Abang yaitu Ahmad
Jawas, seorang murid dari Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, juga dari para
pengusaha yang mengeluarkan zakat dan infaqnya. Selain itu sumber dana juga di
peroleh dari penjualan jahe, penjualan buku-buku Salafi, habatus sa’adah, sari
kurma, minyak wangi dan sebagainya, ungkap Yazid dan Abdul Hakim. Radio Rodja
Cilengsi Bogor Radio Hang Batam Radio Ar-Rayyan Gresik
Jaringan
Pendanaan
Pandangan
terhadap Dakwah Salafi
Jamaah Salafi Penulis
berhasil mewawancarai anggota jamaah Salafi. Hanif misalnya, pemuda asal
Cikarang ini memiliki latar belakang pendidikan SDN, SMPN dan SMAN di Cikarang.
Saat ini ia menempuh perguruan tinggi di Universitas Islam Al-Azhar Jakarta
jurusan Elektro. Sejak SMP sudah belajar
agama Islam. Dia dulu pernah ikut taklim di HTI dan PKS. Setelah itu pindah ke
Salafi. Kepindahannya ke Salafi karena jamaah ini bukan organisasi dan tidak
berpolitik. Salafi menurutnya adalah kumpulan orang-orang yang senang mengkaji
agama berdasarkan al-Qur’an dan As-sunnah. Salafi memberantas bid’ah (perbuatan
yang tidak dicontohkan Nabi). Menurutnya sunnah-sunnah Nabi diikutinya dengan
baik, seperti: memelihara jenggot. Kemudian Abdul Aziz atau biasa dipanggil
Aji, pemuda asal Jawa Tengah ini berlatar belakang pendidikan SDN, SMP dan STM.
Saat ini ia kuliah di Ma’had Usman bin Affan Bambu Apus Jakarta Timur. Pada awalnya
Aji merasa aneh melihat kakaknya berjenggot dan pakai celana panjang di atas
mata kaki. Keluarganya di Jawa Tengah juga melihat ada perubahan pada kakaknya.
Kakaknya tidak memberikan jawaban kepada keluarga, hanya memberikan kaset yang
berisi ceramah dari para ustadz Salafi. Dari situlah keluarganya mengerti
secara perlahan-lahan inti dakwah Salafi. Selesai menamatkan pendidikan SMP,
Aji mengikuti kakaknya itu ke Bogor. Semenjak itulah ia intensif mengikuti
kajian-kajian Salafi dan ia mulai tertarik dengan manhaj dakwahnya.
Orang-Orang
Salafi
Pemilik Hotel
Grand
Aliya dan Hotel
Alma
(Jakarta)
Simpatisan
Muhsinin
102
HARMONI Oktober
- Desember 2010
SUHANAH
Aparat
Sukarya adalah
Ketua RW 05/RT 02 di sebuah perkampungan di Kelurahan Cileungsi Bogor. Ia
memandang Salafi bermanhaj al-Qur’an dan kitab al-Hadist. Namun menurutnya
dalam hal penyampaian dakwahnya ada yang cocok dan ada yang tidak cocok. Yang
tidak cocok karena masyarakat masih awam dan sudah terbiasa melakukan perkaraperkara
yang menurut Salafi adalah bid’ah. Walaupun isi ceramah tersebut tidak berkenan
di masyarakat, tetapi di daerah ini belum pernah terjadi kekerasan.
Kasus yang
pernah muncul yaitu masyarakat hendak melakukan penyerangan terhadap kelompok
Salafi, ditengarai dakwah mereka terlalu keras. Menurut Sukarya, peristiwa yang
tidak diinginkan dapat dihindari. Untuk mengantisipasi munculnya aksi lebih
besar, ia mengungkapkan bahwa biarkan saja mereka berdakwah asalkan mereka
tidak mengganggu masyarakat sekitar. Kelompok Salafi dalam melakukan dakwahnya
seperti pengajian ibu-ibu sering mereka memberikan sembako dan pengobatan
gratis. Dari situlah Masyarakat sebagian tertarik mengikuti pengajian dan
melakukan shalat Jum’at bersama mereka. Bahkan masyarakat di sekitarnya
sekarang sudah ada yang memakai celana di atas mata kaki dan memelihara jenggot.
Begitu pula anak saya yang pernah ikut pengajian itu dan mau pakai jilbab
bercadar dan pakai baju gamis warna hitam.
Penutup
Dari uraian
diatas dapat disimpulkan bahwa Jaringan intelektual Salafi dibangun dan
dikembangkan melalui jalur pendidikan yaitu melalui perguruan tinggi
(universitas) dan pondok pesantren modern serta melalui jalur dakwah di
masjid-masjid. Mereka melakukan kerjasama dengan universitas baik yang ada di
Indonesia maupun yang ada di Luar negeri terutama dari Timur Tengah, seperti
Saudi Arabia, Kuait, Yaman, Yordania.
Untuk menunjang
program dakwahnya mereka menyebarkan misi dakwah mereka melalui jaringan
kelembagaan melalui Radio dan Majalah, seperti radio Rodja, radio, Hang Batam,
radio Ar-Rayyan di Geresik dan majalah As-Sunnah dan majalah Fatawa di
Yogyakarta. Adapun jaringan pendanaan Salafi yang ada di wilayah Bogor, mereka
tidak mendapatkan sumbangan dari negara manapun, kecuali dari orang-orang
salafi dan para simpatisan salafi serta dari para pengusaha yang berada di
wilayah Indonesia.
Rekomendasi
dari kajian ini adalah; kalangan Salafi lebih membuka diri dan mensikapi
perbedaan dengan penuh semangat persaudaraan. Juga perlu dilakukan pendekatan
persuasif terhadap kelompok Salafi oleh kalangan umat Islam lainnya terutama
tokoh agama dalam mensikapi perbedaan/khilafiyah agar tidak ada saling tuduh,
tetap dalam semangat persaudaraan dan kebersamaan. Dengan demikian tidak akan
terjadi aksi mengklaim kebenaran pada dirinya semata; Jaringan kerjasama
kelompok Salafi dalam hal kelembagaan, intelektual dan pendanaan terhadap kelompoknya
sudah baik, sehingga dapat di contoh oleh umat Islam lainnya. Kepada pemerintah
melalui Kementerian Agama RI, sebaiknya mengadakan kerjasama (merangkul) dalam
kegiatan keagamaan kepada kelompok-kelompok Salafi yang ada di seluruh
Indonesia.
Daftar Pustaka
Hasan, Noorhaidi. 2008. Laskar
Jihad, Islam, Militas, dan Pencarian Identitas di Indonesia Pasca-Orde Baru.
Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia dan KITLV-Jakarta.
Jawas, Yazid bin Abdul Qodir. 2009. Mulia
dengan Manhaj Salaf. Bogor: Pustaka At-Taqwa.
----------, 2009. Syarah Akidah
Ahlus Sunah Wal Jama’ah. Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Juni.
Mubarak, M. Zaki. 2007. Genealogi
Islam Radikal di Indonesia Gerakan, Pemikiran, dan Prospek Demokrasi.
Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.
Mufid, Ahmad Syafi’i. 2009. Profil
Aliran Faham Keagamaan di Indonesia. Jakarta: Harmoni Nomor 31
Juli-September.
Syamsuddin, bin Zaenal Abidin. 2009.
Buku Putih Dakwah Salafiah. Pustaka Imam Abu Hanifah, Juni.
Tholhah, Imam. 2003. Gerakan
Islam Salafiyah di Indonesia. Jurnal Edukasi Volume I Puslitbang Pemda
Nomor 3 Juli-September.http://majelispenulis.blogspot.com/2012/06/manhaj-salaf-di-indonesia.html