Amarah Laut dan Cinta Terputus | contoh cerpen karangan
Allah, Allah, Allah. Hembusan nafas-Mu menjelma
butiran-butiran salju yang turun satu-satu. Titik-titik putih yang lembut
melayang di tengah kegelapan mahaluas. Tengah malam. Kota ini masih terjaga, tepat
di jantung Eropa. Kerlap-kerlip lampu menjelma jutaan kunang-kunang terbang di
kejauhan. Kota tua di jantung Eropa, meringkuk berselimutkan musim dingin yang
perlahan mencapai puncaknya. Temperatur udara menurun dengan cepat, beberapa
derajat celsius di bawah nol.
Aku belum tertidur, kekasihku. Mataku masih terpicing. Aku masih menyelam di dalam lautan jiwaku yang gelisah. Memikirkanmu. Di manakah kamu, kekasihku?
Allah, Allah, Allah. Nafas-Mu menyentuh ujung-ujung bulu mataku, membasahi kelopak mataku yang membengkak seperti permukaan kulit kerang yang tebal. Adakah Kau dapat merasakan gemuruh langit kelabu di dalam dadaku? Hujan yang turun di bulan Desember. Begitu senyap di luar, begitu bergejolak di dalam diriku.
Seperti gelombang laut yang meluruk masuk daratan berkilo-kilometer jauhnya. Di Banda Aceh, kota kelahiranku. Ya, Allah, aku merindukan kota kelahiranku itu. Seperti apakah sosoknya sekarang setelah bencana itu? Aku merindukan setiap sudut kota yang kukenal dan telah menjadi orang tua asuhku sejak lama. Ia menyaksikanku tumbuh. Dari seorang anak yatim piatu menjadi seorang perempuan dewasa, istri, dan ibu, yang berani terbang jauh ribuan kilometer ke jantung Eropa untuk menimba ilmu. Banda Aceh-ku, seperti apakah sekarang rupamu?
Oh, aku merindukan pemandangan Masjid Raya Baiturrahman yang dulu begitu kukenal. Arsitekturnya yang megah dan menenteramkan mata menjadi penanda penting kotaku itu. Bentangan Krueng Aceh, sudut-sudut kawasan Rex, tempat favorit untuk ngobrol bersama teman sambil menikmati makanan dan kopi Aceh. Aku merindukan Pakcik Hazil dan Makcik Khadijah, kedua orang tua angkatku, manusia mulia, yang telah membesarkanku dengan curahan kasih sayang yang takkan mungkin kubalas. Betapapun aku menyerahkan seluruh hidupku untuk membahagiakan mereka. Aku merindukan Bang Hasan, suamiku tercinta, yang menggenggam separuh jiwaku, dan separuh jiwanya juga berada dalam genggamanku.
Orang-orang tercinta. Di manakah kalian? Aku limbung dan tak lagi bisa menangis. Begitu saja aku kehilangan kontak dengan kalian. Masih hidupkah? Atau sudah tiada? Jika mati, siapa memandikan dan mengafani jasadmu? Siapa memimpin shalat jenazah dan menyerukan Adzan menjelang ditutupnya tanah liang lahatmu? Di manakah nisan kuburmu? Ataukah semua itu terlalu mewah untuk keadaan darurat di sana, sehingga aku harus mengikhlaskan jika jenazah kalian yang hanya terbungkus plastik dikubur massal bersama korban-korban lainnya di lubang besar yang becek?
Ya Allah, hidup dan mati dalam genggaman-Mu. Aku tak lagi bisa menangis. Karena air mata takkan mengubah apa pun. Banda Aceh. Seperti apakah kotaku itu sekarang? Aku melihat gambar-gambar mengerikan terserak di internet, televisi, dan koran pagi. Mayat- mayat telantar di berbagai sudut kota dan desa. Gambar-gambar kehancuran kota-kota pesisir di Nanggroe-ku. Aku melihat semuanya. Banda Aceh, Meulaboh, Calang, Lhok Nga, Simeuleu. Semuanya.
Ya Allah Yang Maha Rahman, adakah jawaban untuk itu semua? Aku tak tahan dengan kebisuan-Mu. Minggu pagi, 26 Desember 2004, setelah gempa berkekuatan 8,9 skala Richter di kedalaman Lautan Hindia, disusul hantaman gelombang Tsunami itu, hidup tak akan pernah lagi sama bagi setiap orang Aceh. Tak akan pernah sama. Juga buatku.
***
Malam semakin larut. Di luar, salju semakin deras turun. Pikiranku masih mengembara. Aku ingin pulang. Mengemas barang-barangku sesegera mungkin. Mencari tahu kabar orang-orang tercinta. Mungkinkah itu kulakukan sekarang? Aku teringat telepon terakhir Bang Hasan dari Banda Aceh, malam terakhir sebelum datangnya bencana itu. Pesan yang harus kupatuhi. Selesaikan dulu studimu. Keadaan masih belum terlalu aman. Mudah-mudahan keadaan menjadi lebih baik buat kita dan buat Aceh di tahun-tahun mendatang. Oh, serasa suara Bang Hasan terus tergiang di benakku.
Bang Hasan. Senyumnya yang lembut, sorot matanya yang mengingatkan pada rembang petang tatkala matahari bersiap tenggelam, membuatku sulit menolak ketika ia memintaku mau menjadi istrinya beberapa tahun lalu. Hanya berselisih sebulan setelah tiran tua yang memerintah lebih tiga dasawarsa itu mengundurkan diri. Aku baru menyelesaikan studi S1. Kenaifan membuatku memiliki harapan berlebih terhadap masa depan Aceh. Kupikir, setelah terjadi pergantian kepemimpinan nasional di ibu kota negara, keadaan akan menjadi lebih baik buat Nanggroe-ku.
Aku salah. Bang Hasan-lah yang menyadarkanku. Betapa Aceh sudah kebal dikecewakan orang-orang dari Pusat. Kurang apa yang diberikan Aceh untuk negeri ini, kata Bang Hasan dengan berapi-api. Siapa yang tidak mengakui kegigihan para pahlawan nasional dari tanah rencong? Aceh-lah satu satunya daerah yang tidak mampu ditaklukkan secara utuh oleh Kolonialisme Belanda hingga menjelang masuknya balatentara Dai Nippon.
Dalam keadaan darurat Revolusi Kemerdekaan, para perempuan Aceh pula yang dengan sukarela mengumpulkan perhiasan berharga milik mereka, agar Republik ini untuk pertama kalinya bisa memiliki pesawat sendiri untuk menerbangkan pemimpin nasionalnya, kata Bang Hasan sambil menunjuk DC-3 Seulawah yang kini terpajang di lapangan Blang Padang, Banda Aceh.
Ah, Bang Hasan. Matahari hidupku. Ia selalu berbicara dengan bersemangat jika sudah menyinggung masalah ketidakadilan yang dialami tanah kelahiran kami. Cerita selanjutnya aku pun tahu. Kekecewaan demi kekecewaan, mulai dari digabungnya Aceh sebagai bagian Provinsi Sumatera Timur pada zaman Orde Lama, hilangnya kekayaan alam dikeruk perusahaan multinasional, pemberlakuan status Daerah Operasi Militer (DOM) yang membawa korban perempuan, anak-anak, dan orang-orang tidak bersalah.
Mereka memilih membunuh lalat yang menjengkelkan dengan meriam, tambah Bang Hasan dengan nada pahit. Aku hanya bisa memandang Bang Hasan dengan tatapan iba. Tentu kekasihku itu mengerti betul. Ia tahu apa artinya kehilangan orang yang dicintai, saudara kandung, pada masa pemberlakuan DOM di Aceh.
Bang Hasan memang hanya seorang intelektual. Seorang dosen berhati lembut yang tidak mungkin bergabung dengan gerakan separatis bersenjata. Namun, sebagai seorang terdidik, ia pun selalu berbicara lantang perihal ketidakadilan yang dialami tanah kelahiran kami. Karena itulah, kecemasan telah menjadi bagian sehari-hari dalam kehidupan rumah tangga kami. Sudah biasa bagi kami jika merasa ada seseorang tengah memata-matai kami. Teror melalui telepon pun sering kami terima. Bang Hasan pun pernah merasakan beratnya interogasi aparat keamanan dan ditahan di balik tembok berterali besi. Namun, tak pernah sekali pun kusesali pilihan hidupku bersama Bang Hasan.
Tepat sebelum darurat militer diberlakukan di Aceh, Bang Hasan-lah yang memintaku berangkat ke Eropa untuk menerima tawaran beasiswa melanjutkan pendidikanku di sana. Bawalah Ilham, katanya sambil tersenyum. Ia bisa menjadi malaikat kecil pelindungmu di sana, katanya sambil mencubit pipi anak kami satu-satunya itu.
***
Allah, Allah, Allah. Langit masih gelap di luar sana. Kulihat Ilham-ku terbangun dari tidurnya. Ia biasa begitu. Suka terbangun tengah malam, meminta minum atau diantar ke kamar mandi. Ia mengucak-ucak matanya. Melihatku.
"Bunda…"
"Ya, Nak…"
"Bunda belum tidur? Bunda masih terus menangis?"
Aku tidak menjawab pertanyaannya. Aku mengalihkan perhatiannya dengan bertanya, "Ilham mau minum?"
Ia mengangguk. Aku mengambilkan air minum untuknya. Usianya baru lima tahun. Ilham terlalu tenang untuk anak seusianya. Terkadang aku merasa seperti tengah berhadapan dengan orang dewasa yang memiliki kematangan spiritual. Sering aku berpikir, mungkinkah Ilham tergolong anak indigo, anak yang memiliki bakat khusus berupa kekuatan intuisi dan indera keenam?
Semalam sebelum datangnya bencana itu, Ilham tampak lebih pendiam daripada biasanya. Matanya berkabut. Kutanya, ada apa? Dua butir air mata jatuh di pipinya. Aku merasa Ayah, Kakek, dan Nenek, akan pergi jauh meninggalkan kita, katanya dengan terbata-bata. Pergi? Pergi ke mana? Mereka tidak akan pergi ke mana-mana. Mereka menunggu kita di kampung halaman. Mengapa Ilham berkata begitu?
***
"Bunda, kok melamun?"
Mataku yang bengkak mengerjap. Ya, aku masih di sini, bersama Ilham anakku. Ribuan kilometer jauhnya dari tanah air sendiri.
"Bunda ingat Ayah, ingat semuanya. Bunda mencemaskan keselamatan mereka."
Ilham sudah tahu dari ceritaku soal bencana itu. Bahwa sesuatu yang sangat dahsyat telah menimpa kampung halaman kami semua.
Ilham memelukku. "Bunda jangan sedih terus," katanya.
"Mengapa Bunda tidak boleh bersedih?"
"Tadi aku bertemu Ayah dalam mimpi. Tidak usah mencemaskan kami, begitu pesan Ayah."
"Ayah bicara seperti itu dalam mimpi Ilham? Lalu apa lagi?"
"Kata Ayah, kelak kita akan berkumpul kembali bersama-sama di tempat terbaik yang disediakan Allah untuk kita."
Ya Allah, kupeluk anakku satu-satunya. Mataku kembali basah. Inikah isyarat dari-Mu, Tuhanku? Bahwa aku harus merelakan kepergian orang-orang yang kucintai?
Baiklah. Aku belum mati. Aku hanya bersedih. Kesedihan tidak akan mampu membunuhku. Aku perempuan Aceh. Perempuan Aceh sudah berkawan dengan kesedihan sejak lama. Aku menatap Ilham-ku. Aku tahu sekarang apa yang harus kulakukan. Aku akan bertahan hidup untuknya.
Aku belum tertidur, kekasihku. Mataku masih terpicing. Aku masih menyelam di dalam lautan jiwaku yang gelisah. Memikirkanmu. Di manakah kamu, kekasihku?
Allah, Allah, Allah. Nafas-Mu menyentuh ujung-ujung bulu mataku, membasahi kelopak mataku yang membengkak seperti permukaan kulit kerang yang tebal. Adakah Kau dapat merasakan gemuruh langit kelabu di dalam dadaku? Hujan yang turun di bulan Desember. Begitu senyap di luar, begitu bergejolak di dalam diriku.
Seperti gelombang laut yang meluruk masuk daratan berkilo-kilometer jauhnya. Di Banda Aceh, kota kelahiranku. Ya, Allah, aku merindukan kota kelahiranku itu. Seperti apakah sosoknya sekarang setelah bencana itu? Aku merindukan setiap sudut kota yang kukenal dan telah menjadi orang tua asuhku sejak lama. Ia menyaksikanku tumbuh. Dari seorang anak yatim piatu menjadi seorang perempuan dewasa, istri, dan ibu, yang berani terbang jauh ribuan kilometer ke jantung Eropa untuk menimba ilmu. Banda Aceh-ku, seperti apakah sekarang rupamu?
Oh, aku merindukan pemandangan Masjid Raya Baiturrahman yang dulu begitu kukenal. Arsitekturnya yang megah dan menenteramkan mata menjadi penanda penting kotaku itu. Bentangan Krueng Aceh, sudut-sudut kawasan Rex, tempat favorit untuk ngobrol bersama teman sambil menikmati makanan dan kopi Aceh. Aku merindukan Pakcik Hazil dan Makcik Khadijah, kedua orang tua angkatku, manusia mulia, yang telah membesarkanku dengan curahan kasih sayang yang takkan mungkin kubalas. Betapapun aku menyerahkan seluruh hidupku untuk membahagiakan mereka. Aku merindukan Bang Hasan, suamiku tercinta, yang menggenggam separuh jiwaku, dan separuh jiwanya juga berada dalam genggamanku.
Orang-orang tercinta. Di manakah kalian? Aku limbung dan tak lagi bisa menangis. Begitu saja aku kehilangan kontak dengan kalian. Masih hidupkah? Atau sudah tiada? Jika mati, siapa memandikan dan mengafani jasadmu? Siapa memimpin shalat jenazah dan menyerukan Adzan menjelang ditutupnya tanah liang lahatmu? Di manakah nisan kuburmu? Ataukah semua itu terlalu mewah untuk keadaan darurat di sana, sehingga aku harus mengikhlaskan jika jenazah kalian yang hanya terbungkus plastik dikubur massal bersama korban-korban lainnya di lubang besar yang becek?
Ya Allah, hidup dan mati dalam genggaman-Mu. Aku tak lagi bisa menangis. Karena air mata takkan mengubah apa pun. Banda Aceh. Seperti apakah kotaku itu sekarang? Aku melihat gambar-gambar mengerikan terserak di internet, televisi, dan koran pagi. Mayat- mayat telantar di berbagai sudut kota dan desa. Gambar-gambar kehancuran kota-kota pesisir di Nanggroe-ku. Aku melihat semuanya. Banda Aceh, Meulaboh, Calang, Lhok Nga, Simeuleu. Semuanya.
Ya Allah Yang Maha Rahman, adakah jawaban untuk itu semua? Aku tak tahan dengan kebisuan-Mu. Minggu pagi, 26 Desember 2004, setelah gempa berkekuatan 8,9 skala Richter di kedalaman Lautan Hindia, disusul hantaman gelombang Tsunami itu, hidup tak akan pernah lagi sama bagi setiap orang Aceh. Tak akan pernah sama. Juga buatku.
***
Malam semakin larut. Di luar, salju semakin deras turun. Pikiranku masih mengembara. Aku ingin pulang. Mengemas barang-barangku sesegera mungkin. Mencari tahu kabar orang-orang tercinta. Mungkinkah itu kulakukan sekarang? Aku teringat telepon terakhir Bang Hasan dari Banda Aceh, malam terakhir sebelum datangnya bencana itu. Pesan yang harus kupatuhi. Selesaikan dulu studimu. Keadaan masih belum terlalu aman. Mudah-mudahan keadaan menjadi lebih baik buat kita dan buat Aceh di tahun-tahun mendatang. Oh, serasa suara Bang Hasan terus tergiang di benakku.
Bang Hasan. Senyumnya yang lembut, sorot matanya yang mengingatkan pada rembang petang tatkala matahari bersiap tenggelam, membuatku sulit menolak ketika ia memintaku mau menjadi istrinya beberapa tahun lalu. Hanya berselisih sebulan setelah tiran tua yang memerintah lebih tiga dasawarsa itu mengundurkan diri. Aku baru menyelesaikan studi S1. Kenaifan membuatku memiliki harapan berlebih terhadap masa depan Aceh. Kupikir, setelah terjadi pergantian kepemimpinan nasional di ibu kota negara, keadaan akan menjadi lebih baik buat Nanggroe-ku.
Aku salah. Bang Hasan-lah yang menyadarkanku. Betapa Aceh sudah kebal dikecewakan orang-orang dari Pusat. Kurang apa yang diberikan Aceh untuk negeri ini, kata Bang Hasan dengan berapi-api. Siapa yang tidak mengakui kegigihan para pahlawan nasional dari tanah rencong? Aceh-lah satu satunya daerah yang tidak mampu ditaklukkan secara utuh oleh Kolonialisme Belanda hingga menjelang masuknya balatentara Dai Nippon.
Dalam keadaan darurat Revolusi Kemerdekaan, para perempuan Aceh pula yang dengan sukarela mengumpulkan perhiasan berharga milik mereka, agar Republik ini untuk pertama kalinya bisa memiliki pesawat sendiri untuk menerbangkan pemimpin nasionalnya, kata Bang Hasan sambil menunjuk DC-3 Seulawah yang kini terpajang di lapangan Blang Padang, Banda Aceh.
Ah, Bang Hasan. Matahari hidupku. Ia selalu berbicara dengan bersemangat jika sudah menyinggung masalah ketidakadilan yang dialami tanah kelahiran kami. Cerita selanjutnya aku pun tahu. Kekecewaan demi kekecewaan, mulai dari digabungnya Aceh sebagai bagian Provinsi Sumatera Timur pada zaman Orde Lama, hilangnya kekayaan alam dikeruk perusahaan multinasional, pemberlakuan status Daerah Operasi Militer (DOM) yang membawa korban perempuan, anak-anak, dan orang-orang tidak bersalah.
Mereka memilih membunuh lalat yang menjengkelkan dengan meriam, tambah Bang Hasan dengan nada pahit. Aku hanya bisa memandang Bang Hasan dengan tatapan iba. Tentu kekasihku itu mengerti betul. Ia tahu apa artinya kehilangan orang yang dicintai, saudara kandung, pada masa pemberlakuan DOM di Aceh.
Bang Hasan memang hanya seorang intelektual. Seorang dosen berhati lembut yang tidak mungkin bergabung dengan gerakan separatis bersenjata. Namun, sebagai seorang terdidik, ia pun selalu berbicara lantang perihal ketidakadilan yang dialami tanah kelahiran kami. Karena itulah, kecemasan telah menjadi bagian sehari-hari dalam kehidupan rumah tangga kami. Sudah biasa bagi kami jika merasa ada seseorang tengah memata-matai kami. Teror melalui telepon pun sering kami terima. Bang Hasan pun pernah merasakan beratnya interogasi aparat keamanan dan ditahan di balik tembok berterali besi. Namun, tak pernah sekali pun kusesali pilihan hidupku bersama Bang Hasan.
Tepat sebelum darurat militer diberlakukan di Aceh, Bang Hasan-lah yang memintaku berangkat ke Eropa untuk menerima tawaran beasiswa melanjutkan pendidikanku di sana. Bawalah Ilham, katanya sambil tersenyum. Ia bisa menjadi malaikat kecil pelindungmu di sana, katanya sambil mencubit pipi anak kami satu-satunya itu.
***
Allah, Allah, Allah. Langit masih gelap di luar sana. Kulihat Ilham-ku terbangun dari tidurnya. Ia biasa begitu. Suka terbangun tengah malam, meminta minum atau diantar ke kamar mandi. Ia mengucak-ucak matanya. Melihatku.
"Bunda…"
"Ya, Nak…"
"Bunda belum tidur? Bunda masih terus menangis?"
Aku tidak menjawab pertanyaannya. Aku mengalihkan perhatiannya dengan bertanya, "Ilham mau minum?"
Ia mengangguk. Aku mengambilkan air minum untuknya. Usianya baru lima tahun. Ilham terlalu tenang untuk anak seusianya. Terkadang aku merasa seperti tengah berhadapan dengan orang dewasa yang memiliki kematangan spiritual. Sering aku berpikir, mungkinkah Ilham tergolong anak indigo, anak yang memiliki bakat khusus berupa kekuatan intuisi dan indera keenam?
Semalam sebelum datangnya bencana itu, Ilham tampak lebih pendiam daripada biasanya. Matanya berkabut. Kutanya, ada apa? Dua butir air mata jatuh di pipinya. Aku merasa Ayah, Kakek, dan Nenek, akan pergi jauh meninggalkan kita, katanya dengan terbata-bata. Pergi? Pergi ke mana? Mereka tidak akan pergi ke mana-mana. Mereka menunggu kita di kampung halaman. Mengapa Ilham berkata begitu?
***
"Bunda, kok melamun?"
Mataku yang bengkak mengerjap. Ya, aku masih di sini, bersama Ilham anakku. Ribuan kilometer jauhnya dari tanah air sendiri.
"Bunda ingat Ayah, ingat semuanya. Bunda mencemaskan keselamatan mereka."
Ilham sudah tahu dari ceritaku soal bencana itu. Bahwa sesuatu yang sangat dahsyat telah menimpa kampung halaman kami semua.
Ilham memelukku. "Bunda jangan sedih terus," katanya.
"Mengapa Bunda tidak boleh bersedih?"
"Tadi aku bertemu Ayah dalam mimpi. Tidak usah mencemaskan kami, begitu pesan Ayah."
"Ayah bicara seperti itu dalam mimpi Ilham? Lalu apa lagi?"
"Kata Ayah, kelak kita akan berkumpul kembali bersama-sama di tempat terbaik yang disediakan Allah untuk kita."
Ya Allah, kupeluk anakku satu-satunya. Mataku kembali basah. Inikah isyarat dari-Mu, Tuhanku? Bahwa aku harus merelakan kepergian orang-orang yang kucintai?
Baiklah. Aku belum mati. Aku hanya bersedih. Kesedihan tidak akan mampu membunuhku. Aku perempuan Aceh. Perempuan Aceh sudah berkawan dengan kesedihan sejak lama. Aku menatap Ilham-ku. Aku tahu sekarang apa yang harus kulakukan. Aku akan bertahan hidup untuknya.
Sumber : KotaSantridotcom