Belimbing Bersujud | contoh cerpen karangan


Belimbing Bersujud | contoh cerpen karangan



LANGIT di timur belum tampak bercahaya, namun gema shubuh sudah selesai dikumandangkan muadzin di semua penjuru Bumi Tanjung Kasih. Eyang masih duduk di mimbar mushala rumah kami. Satu demi satu penghuni rumah salam sungkem padanya. Eyang manggut-manggut dengan wajah sumringah, walau kedua matanya sudah lamur untuk bisa melihat jelas siapa yang ada di depannya.

Hari ini semua anak cucunya sudah berkumpul di rumah teduhnya. Aku jadi ingat saat aku masih jadi Zahra kecil, yang selama tujuh tahun hidup bersama Eyang di desa ini. Eyang paling suka menyanyikan gending ilir-ilir, yang didendangkannya saat sore menjelang maghrib, di beranda rumah sambil menatap hijaunya sawah dan liuk dedaun nyiur bersama bebatang padi. Gending itu, bahkan, sempat membuat aku bosan dan penasaran, "Mengapa harus ilir-ilir yang menjadi favoritnya? Mengapa tidak dandang gulo atau mocopat saja yang lebih seru, tentang sengketa jati diri kompeni dan kaum pribumi?"

"Cah angon, cah angon… pene'no blimbing kuwi…," begitu ia bersenandung.
"Kenapa harus pohon blimbing, Yang? Pohon durian saja, buahnya lebih enak!"
"Karena blimbing itu bergigir lima, yang artinya beragama, cah ayu."
"Emang blimbing punya agama? Agama apa Yang?"
"Bukan blimbingnya yang punya agama, tapi yang manjatnya, Zahra!"

Eyang tersenyum menatapku. Tampak giginya yang mulai tanggal satu persatu. Tapi, Eyang tetap tampak gagah di mataku. Walau usia telah mengantarnya ke pintu renta.

"Agama kita itu dibangun di atas lima rukun. Maksudnya, kita yang meyakini rukunnya harus bisa menghidupkan yang lima itu. Artinya, kita harus bisa bergigir lima seperti blimbing."

"Lunyu-lunyu pene'no kanggo mbasuh dodo tiro…"

Tangan lembutnya membelai rambut panjangku. Senyumnya tak pernah lepas, dan itu yang membuatku nyaman, hingga selalu ingin dekat dengannya.

"Buat mencuci diri kita yang kotor karena dosa. Kalau blimbing bisa menghilangkan noda di baju, maka lima rukun agama bisa membersihkan dosa di diri kita."
"Caranya?"
"Caranya dengan beribadah yang betul, untuk tahu ibadah yang betul kita mesti rajin mengaji."
"Mengaji itu kan membosankan, bikin ngantuk."
"Memanjat pohon blimbing juga susah, itu sebabnya mesti dicoba terus menerus, sampai bisa."
"Kalau tidak mau mengaji?"
"Ya tidak akan tahu cara beribadah yang betul"
"Memangnya kenapa kalau kita tidak tahu caranya ibadah?"
"Manusia itu tempatnya salah dan lupa, Zahra! Kalau tidak dicuci dengan ibadah akan semakin lekat nodanya."
"Kalau tetap tidak mau mengaji?"
"Kalau kamu tidak mau belajar mengaji, nanti kamu tidak bisa main-main di taman surga, karena surga hanya boleh dimasuki oleh orang yang sudah bersih dari noda."

Aku malas mengaji, karena Mas Iyashu dan Mbak Syakira bilang kalau salah dan susah menghafal Al-Qur'an, pasti tangannya dapat sabetan rotan dari Pak De Ja'far. Tapi Pak De Ja'far bilang, surga itu tempat terindah bagi anak-anak yang shaleh. Aku sering tertawa sendiri jika ingat hal itu, betapa sempitnya cara berpikirku. Tapi aku suka, karena ternyata aku punya juga pengalaman konyol seperti itu.

"Aku ngajinya diajari Eyang aja. Kalau banyak yang salah, harus banyak dimaafkan!"

Eyang kembali tertawa lepas. Kali ini dia sambil mengacak rambutku. Ditariknya aku ke pangkuannya. Dipeluknya erat sekali. Aku merasakan sesuatu yang hangat di antara terpaan angin yang mulai dingin karena sore segera berganti senja.

"Coba lihat di sana, Zahra! Itu bundamu sedang mengaji Al-Qur'an. Ayo, belajar sama bunda!"
"Nggak mau ah, habisnya aku harus selalu pake kerudung, kayak Bunda."
"Itu tandanya bundamu pandai menjaga auratnya, dan Allah menjanjikan surga untuk semua wanita ikhlas yang menutup auratnya, termasuk kamu."

Aku masih menyimpan senyum bunda saat itu. Senyumnya menarikku untuk hadir di pangkuannya. Bunda pernah menghadiahiku kerudung jumputan berwarna hijau lembut untukku belajar mengaji. "Cantik!", sanjungnya. Walau dengan sedikit takut aku mulai belajar mempelajari lembar demi lembar Al-Qur'an kecil, sebelum akhirnya aku harus tetap belajar dengan Pak De Ja'far dan dapat sabetan rotan seperti nasib Mas Iyashu dan Mbak Syakira. Tapi itu sudah bertahun lalu. Sekarang, ini adalah tahun kelima di mana baru kujejakkan kembali kakiku di Bumi Tanjung Kasih, di rumah Eyang. Aku pernah bertanya usil pada Eyang saat kami melintasi sebuah pohon belimbing yang sedang berbuah lebat di kebun kami.

"Yang, coba tebak apa yang dilakukan makhluk bergigir lima itu."
"Bersujud!", jawabnya. Aku tersenyum kecil mendengarnya.

Shaf sungkeman kini ada pada giliranku. Aku memegang erat tangan Eyang dengan kuat. Ada titik bening yang jatuh di atas tangannya, bulir air mataku. Eyang mengangkat wajah keriputnya dan mengusap pipiku. Sambil mengangguk ia memelukku.

"Zahra sudah pulang, Yang! Zahra mohon maaf dan restu Eyang," bisikku terbata-bata. Membenamkan wajah haruku di bahu Eyang yang hangat.

Eyang mengusap lembut punggungku sambil berbisik, "Mari kita sama-sama bersujud, seperti belimbing, cah ayu!"

Aku terkesiap lalu tertawa bahagia. Ternyata Eyang masih begitu hafal dengan masa kecilku. Aku membantu Eyang berdiri, memapahnya menuju masjid yang gema takbirnya sama gagahnya dengan gema takbir di hati-hati kami, "Allahu Akbar wa Lillaahi alhamd!" [MQMedia.com]