☼ Relung Tersepih | contoh cerpen remaja ☼


☼ Relung Tersepih  | contoh cerpen remaja


Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh saudara saudariku sobat asa blog yang kucintai karena Allah subhanawataalla. Asa blog sendiri  ingin menjawab keinginan sahabat untuk membaca cerpen cerpen buatan anak bangsa Indonesia,
Berikut cerpennya selamat membaca kawan . J

AKU menatap lekat pada dua mata, yang pendarnya pijarkan jiwaku. Ranum dua pipinya tak lekang gelitik gemas hatiku. Lama aku menacari-cari pada wajah di balik bingkai foto itu, pada setiap lekuk wajahnya yang membundar. Adakah lekuk itu milikku? Akankah senyum riang itu masihkan tercipta untukku? Selaksa beban tindih batinku tuk akui kata iya, dan hatiku mengerucut di ujung kalah. Mungkinkah belahan itu masih tetap bagian diriku. Seperti dulu, saat lincah kakinya tak henti jejaki rumah ini. Temaram lampu malam ini lingkupi mendung jiwaku yang kesepian.

"Sudahlah Ravina…!" aku menasehati diriku sendiri. Coba bagi hatiku pada sosok ibu dan manusia. Membuka dialog yang kuharap bisa sembuhkan luka sesalku. Luka yang membentuk aku pada sebentuk manusia yang gagal mendidik diri menjadi seorang ummi. "Dulu kau ingin ia menghilang, maka biarkan sekarang ia pergi!" Riak batin mengingatkanku pada jejak-jejak sikapku yang tanamkan antipati pada ruhani puteriku. Tidak! Jangan ingatkan aku tentang itu. Jangan membuatku semakin terpuruk pada rasa bersalah. Iya, aku sadar. Aku masih ingat jika selama lima tahun ini selalu kutepis tangan cacat putriku saat coba sentuh kulitku. Selalu kututup pintu kamar kala dia ingin mendekat dan memintaku menyisir rambutnya yang ikal. Dan aku tahu jika hatiku tidak pernah tersentuh untuk memeluknya, saat dia bangun ketakutan dari mimpi buruk yang kerap ganggu tidurnya.

Kuakui, aku memang salah karena lebih mempercayakannya pada eyangnya saja. Atau, mungkin lebih tepatnya mengabaikan tanggung jawabku dan menyandarkannya pada orang lain, walau itu ibu kandungku sendiri. Tapi, apa kalian tahu setumpuk rasa kecewaku padanya? Rasa kecewa yang matikan perasaan sayangku selama lima tahun ini dan porak-porandakan ketegaranku sebagai seorang perempuan. Walau kini aku terhimpit di antara tebing sesal, karena ternyata aku benar-benar kehilangan buah hatiku. Satu-satunya permata yang kumiliki walau kini secara fisik ia tak sempurna. Tapi, dia tetap penyempurna kehidupanku.

Dulu, puteriku begitu cantik dan enerjik. Hidung mancungnya adalah warisan ayahnya. Jika kalian lihat bundar lingkar matanya dengan bulu-bulu mata yang panjang melentik, maka itulah warisan dariku. Sudah kubilang dia enerjik, itulah sebabnya dia tak suka diam. Sama seperti ikan-ikan kecilnya di aquarium kaca. Dia menjadi puteri tunggal kami sejak rahimku diangkat karena kanker waktu mengandung adiknya yang tak jadi lahir untuk menemaninya bermain. Seringpula ia membuatku jengkel dengan manjanya, tapi saat dua tangan mungilnya melingkari leherku, rasa marah itu tiba-tiba musnah. Hilang entah ke mana. Dan yang tinggal adalah setaman cinta berhias kasih untuknya.

"Manda, pergi sekolahnya sama Bunda aja ya…, ayah lagi sakit, nak!" rayuku mencoba hentikan lengking tangisnya yang pekakan telinga seisi rumah.

"Nanti kalau Ayah sudah sembuh, diantar Ayah lagi!" imbuhku sambil menggendongnya. Tapi, rayuanku tak berarti apa-apa selain gemuruh yang mulai mengundang tetangga satu kompleks bertanya mengapa. Saat itu aku begitu ingin mencubitnya. Aku begitu kesal pada manjanya yang selalu uji sabarku, hingga akhirnya ayahmu mengalah juga.

"Ya sudah, sekolahnya diantar Ayah!" begitu kata ayahmu. Dan kau sama sekali tak mengindahkan diamku. Saat kecupan pertamamu di pipiku sebelum pergi, aku sudah dibuatmu tersenyum. Dan, saat kau beri aku kecupan keduamu aku sudah kau buat bisa memelukmu. Ah, Amanda kau memang selalu hidup di ruang batin kami, dan selalu menawan perasaan kami untuk tidak bersikukuh denganmu.

Tapi ada apa Amanda? Ya Robbi, apa ini? Aku yakin ini mimpi dan aku ingin segera bangun. Tapi, mataku ternyata sudah terbuka, dan kulit tanganku pun bisa merasakan sakit waktu kucubit dengan keras. Lihat Amanda! Ayahmu kini sedang terbaring kaku bertutup kain putih karena motor yang kalian tumpangi menabrak pilar. Sudah Bunda bilang, ayahmu sedang sakit, jadi tak bisa mengantarmu pergi sekolah. Tapi kau tak mau tahu dan malah menangis sambil menjerit keras. Dan, kau, kini terbaring koma di ruang ICU. Anakku, kau kehilangan tangan kirimu dan di tangan kananmu pun hanya tersisa satu ibu jari saja. Wajah cantikmu raib diparut jalan berhotmik. Ada sepuluh jahitan di pipimu. Bisakah kamu rasakan goncangan di dada ibumu ini, nak?

Aku kehilangan ayahmu dan yang ditinggalkannya kini adalah kau, seorang anak cacat. Aku bukan batu yang tak punya rasa sedih, marah dan kecewa. Itu sebabnya aku tak mau menyentuhmu. Itu sebabnya aku tak mau mendekatimu. Karena manjamu kau hancurkan rumah indahmu sendiri. Kau hancurkan harapan ibumu sendiri. Walau ibu gurumu begitu baik, mau menerimamu tetap sekolah sebagaimana layaknya anak-anak normal. Tapi bagiku kau tetap aib. Kecacatanmu bunuh kepercayaanku untuk menghadapi dunia. Dan, bagiku, itu adalah perjalanan batin yang paling sulit. Kau tak lagi manja untuk minta diantar pergi sekolah. Bahkan, kau mau naik becak Pak Samin, setiap pergi dan pulang sekolah. Dan, kita semakin jauh. Aku menjadi sosok monster yang manakutkan bagimu. Lalu, kau sakit, demam tinggi karena perlakuanku dan di lidahmu hanya ada Pak Samin di setiap igauanmu, hingga kau hanya bisa sehat saat ada di rumah Pak Samin. Kau mulai tinggal di sana dan kulihat kau bahagia.

Awalnya aku biasa. Tapi, saat pembagian raport enam bulan yang lalu, kau menjadi juara kelas. Lalu, dengan antusiasnya kau mencium lengan kanan Pak Samin dengan menggamitnya di dadamu dengan satu lenganmu. Kau cium kedua pipinya sambil bersorak-sorak dengan saudara-saudaramu yang baru. Kau sama sekali tak melirik padaku. Dan, kurasakan ada sesuatu yang menoreh perasaanku. Kau tak lagi mengenaliku sebagai bundamu. Kau menjauh dariku saat kudekati kamu dan berhambur ke pelukan Pak Samin. Lalu kau berkata, "Maaf Nyonya, maaf…"

Kau, kau panggil aku nyonya. Bukankah aku Bundamu Amanda. Kemari, kemarilah. Bundamu kini ingin mengajakmu pulang untuk membayar kesalahannya. Kita akan kembali tertawa di rumah kita, walau tanpa ayah. Kita masih bisa semesra dulu, nak. Tapi, kau malah diam. Kau tidak lagi menangis keras, bahkan tidak berkata apa-apa. Tapi, diam dan derai air matamu yang tak henti mengalir sudah membuatku mengerti kalau kau tak lagi merasa nyaman tinggal bersamaku. Kau tahu nak, tak ada lagi yang tersisa dari hidup Bundamu selain engkau. Tapi, apa usiamu yang belum genap sepuluh tahun cukup mengerti untuk merasakan itu. "Amanda sayang, beri Bunda sedikit ruang di hatimu nak!" getir bathinku sambil mengusap wajah cantik dibingkai foto, yang kacanya sudah basah air mata. Airmataku sendiri
Sumber inspirasi : kota santri [dot] com , Republika [dot] com , helvitiana rosa , MQMedia[dot]com ,dakwah.org serta beberapa majalah dan buku kumpulan cerpen