☼ Sepertiga Malam Terakhir | contoh cerpen karangan Anak bangsa ☼


☼ Sepertiga Malam Terakhir  | contoh cerpen karangan Anak bangsa


Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh saudara saudariku sobat asa blog yang kucintai karena Allah subhanawataalla. Asa blog sendiri  ingin menjawab keinginan sahabat untuk membaca cerpen cerpen buatan anak bangsa Indonesia,
Berikut cerpennya selamat membaca kawan . J

Keresahan langsung menyeruak. Sesaat setelah mataku terbuka. Ada apa gerangan dengan malam ini? Tidak seperti malam-malam yang lalu. Betina yang bertengger di sisiku masih terlelap. Tiba-tiba ia membuka mata namun menutupnya kembali.

Seperti malam-malam yang lalu, kini aku pun harus memenuhi perintah Tuhan, Penciptaku. Ya ... aku harus menyeru pada dunia. Tapi entah mengapa tenggorokanku terasa tersekat. Tempat ini tiba-tiba membuatku tak bergairah. Ku kepakkan sayap-sayap kuatku menuju atap rumah tuanku. Keheningan menyambut. Keresahanku menebal. Ku amati sekeliling, terdiam sebentar lalu kekepak-kepakn sayap.

“Kukuruyuuuk ... kukuruyuuk ... kukuruyuuuk”.

Ya Allah ... kutunaikan perintah-Mu.

Entah mengapa tiba-tiba aku malas segera kembali ke kandang. Aku terdiam terpaku. Seseorang tampak terhuyung-huyung menapaki jalan yang nampak di mataku. Di kedua tangannya tergenggam botol-botol. Sesekali dimasukkannya ujung botol itu ke dalam mulut. Ia mendongak. Meneguk isi botol itu. Ia berhenti lalu terkekeh.

“Engkau memang kawan yang setia ... hikkk ... menemaniku di waktu ... hikkk ... senang dan su ... hikkk ... sah ... hehehehe ... hikkk”, ucapnya sambil memandangi botol-botol yang ia pegang. Kakinya melangkah dan mulutnya pun mengekeh kembali.

Gedebuuk !

Aku terhenyak. Terlihat orang itu menelungkup di tanah. Kulihat tadi kakinya masuk ke jalan berlobang. Sumpah serapah segera memberondong dari mulutnya. Ia berusaha bangkit. Setelah beberapa kali tersungkur akhirnya dia bisa berdiri lagi meski tak tegak. Dengan terhuyung dia memungut botol-botol tadi. Dipandanginya dengan seksama.

“Sialan!“ makinya.

Pyarrr! Pyarrr!

Aku menderit. Suara tadi mengagetkanku. Sempat kulihat orang itu mengangkat botol-botol itu tinggi-tinggi. Lalu dihempaskannya ke tanah. Mataku tak berkedip menatapnya yang sudah kembali terkekeh dan berjalan lagi. Di melewati jarak pandang terdekatku. Berlalu. Sayup-sayup kudengar suara-suara tinggi rendah dari orang itu. Kurasa ia sedang bernyanyi.

Ya Allah, dia seorang pemuda! sungguh pemandangan yang aneh. Aku tak mengerti apa maksud kata-katanya tadi. Apa yang ada di benak orang itu? Seribu kalimat tanya meresahkanku. Lama aku mencoba memikirkan jawabannya sampai kudengar langkah-langkah. Semakin jelas. Akhirnya pandanganku menumbuk sepsang pemuda pemudi. Tangan mereka saling melingkar di pinggang yang lain. Ketika mereka dekat, samar-samar ...

“Ke mana kita? ” pemudi itu bertanya pada pemuda.

“Kita akan ke hotel, sayang“ jawab pemuda itu dengan suara dilirihkan.

“Oh .. kita akan berpesta lagi?“ tanya pemudi itu dengan suara mendesah.

“Tentu ... “

Mereka pun berlalu. Meninggalkanku dalam keheranan. Ya Allah ... inikah yang coba Kau tunjukkan? Perbuatan hamba-hamba-Mu di waktu Engkau menebar ampunan dan pengabulan do’a? Aku merasakan sesuatu. Perasaan resah dan gelisah yang memuncak ketika mereka menyuguhkan pemandangan itu. Adakah jawaban keresahanku pada peristiwa tadi?

Hening. Aku tercenung.

Benarkah orang-orang tadi telah melupakan Mu? Hingga mereka menyia-nyiakan waktu yang mulia ini? Sungguh bodoh manusia, keluhku. Mengapa mereka mau merugi, wahai Tuhanku? Mereka telah mengabaikan kesempatan yang Engkau berikan. Mereka juga tidak mempedulikan balasan besar dariMu. Bukankah sepertiga malam terakhir ini waktu yang tepat untuk mengharap ampunanMu? kasih sayangMu?

Mungkin mereka tidak ingat. Bahwa mereka punya kehidupan yang abadi. Kehidupan yang ditentukan dari amal mereka. Apakah manusia-manusia itu berpikir akan selamat? Tidakkah mereka memperhitungkan bahwa dosa-dosa itu akan dibalas? Aku jadi ingin tertawa. Mungkin manusia iri dengan kami, bangsa ayam. Kami tidak akan pernah dihisab. Padahal kami pernah mencuri biji-bijian yang dijemur manusia untuk kami makan. Kami juga sering bertarung hanya demi seekor betina. Tidakkah mereka merasa lebih beruntung bahwa mereka masih dijanjikan kenikmatan surga? Sedangkan kami? Tidakkah mereka mensyukuri yang telah diberika Allah? Dasar bodoh.

Sekali lagi manusia juga meremehkan KebesaranMu. Dengan mengabaikan kokokku, kokok kami para ayam. Apa mereka pikir kokok itu hanya hiasan kesunyian malam? Padahal sesungguhnya Engkau memerintahku untuk memberikan peringatan kepada manusia. Berharap bisa membangunkan mereka di malam hari untuk kemudian bersujud kepada Mu. Mereka tidak tahu betapa grmbiranya kami berkokok ketika malaikat-malaikatMu turun dari langit atas perintahMu. Tapi sayang, kokok ayam itu mereka sia-siakan.

Tiba-tiba kesedihanku menyelimuti. Aku merasa tidak berguna. Tapi ... bukankah aku ini tidak punya kehidupan selain di dunia ini? Bodoh. Mengapa aku merepotkan diri memikirkan manusia. Lebih baik kunikmati hidup. Biarkanlah manusia dengan tingkah lakunya. Aku merasa tenang, sayap kukepak-kepakkan.

“Kukuruyuuuk ... “

Kususuri petak-petak genting menuju kandang. Kupatuk sesekali benda-benda kecil di atasnya. Ups ... sepertinya cuilan genting telah kutelan. Tunggu ... aku terdiam. Bulu-bulu leherku berdiri. Merinding. Sayup-sayup kudengar isak tangis dan ...

“Ya Allah, bagiMu segala puji. Engkau Raja Penguasa langit dan bumi ... “

Dia menyebut namaMu, Tuhanku.

“Ampunilah kami atas kesalahan ... “

Subhanallah, dia memohon ampun kepadaMu.

Kuurungkan niat kembali. Aku terbang ke pelataran. Ya .. suara itu makin jelas. Dari bangun ini. Masjid. Suara-suara tadi terdengar jelas. Begitu lemah lembut, penuh pengharapan. Tiba-tiba aku senang mendengarkannya. Kakiku tak beranjak menunggui suara itu. Tak henti pula bertasbih.

Aku melompat ketika seorang pemuda tiba-tiba ada di dekatku. Bajunya sederhana. Ia bersarung dan berkopiah. Kulihat ia diam menatapku. Aku menunggu apa yang akan dilakukannya. Tiba-tiba dia tersenyum.

“Segala puji bagi Allah yang menciptakan kokok ayam untuk membangunkan hamba-Nya dan mengingat-Nya.”

Dia pun pergi. Kutatap punggungnya hingga pandanganku terhalang bangunan. Aku mau melonjak, mengingat kata-kata yang diucapkannya tadi. Kata-kata itu membahagiakan.

“Kukuruyuuuk ... kukuruyuuuk ... “

Aku terbang melintas rumah. Menuju ke samping betinaku. Aku mau beristirahat. Nanti sebelum subuh, aku harus berkokok lagi. Sampai di samping betinaku, aku tertegun. Aku kehilangan sesuatu. Keresahan itu pergi entah kemana.

***

Begitulah ... sepertiga malam waktu itu membuatku berubah. Sekarang aku tak lagi berkokok di kandang. Aku bangga bisa berkokok lantang di atap rumah tuanku. Pemuda itu pasti sudah ada di dalam mesjid. Aku sangat menyenanginya. Kutunggui dia selalu hingga dia pulang. Ah ... bahagia sekali.

Suatu malam aku berkokok dengan lantang. Kubayangkan betapa senangnya menjumpai pemuda itu. Tapi ... mana isak tangis itu suara ratapan pengharapan itu? Deru mobil membuyarkan pikiranku. Sebuah sedan mewah melintas. Kutunggui pemuda itu. Kelihatannya dia tidak datang malam ini. Sakitkah?

Hari-hari berikutnya sejak kejadian itu, tak pernah kutemui pemuda itu lagi. Namun aku tak putus asa berkokok dan menantinya. Kulihat sebuah mobil sedan berhenti. Meski agak jauh tapi daerah ini cukup terang dengan lampu. Seseorang keluar dari mobil. Berjalan ke depan mobil dan mebuka kap. Tiba-tiba ditutupnya keras-keras kap itu. Lalu ia menendang-nendangnya.

Aku terpaku. Terperangah melihat wajah itu.

Oh ... tidaak !
Sumber inspirasi : milis dt serta beberapa majalah dan buku kumpulan cerpen