☼ Ustadz Tarman | contoh cerpen
karangan Anak bangsa ☼
Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh saudara saudariku
sobat asa blog yang kucintai karena Allah subhanawataalla. Asa blog
sendiri ingin menjawab keinginan sahabat
untuk membaca cerpen cerpen buatan anak bangsa Indonesia,
Berikut cerpennya selamat membaca kawan . J
"Karena-Mu ya Allah, saya akan berdakwah, mencari
daerah hitam yang penuh dengan kemunafikan, tempat-tempat yang terjangkit
penyakit munafik, bermalas-malas, linglung tentang hidup; tak ada nafas cinta,
yang hadir hanya lamat-lamat kebencian yang semakin mendesir. Saya akan pergi
ke tempat seperti itu.'' Jihad yang selalu tumbuh dalam hatinya meronta-ronta.
Baginya menularkan kebajikan adalah kewajiban. Dia berkeyakinan bahwa di setiap
dada insan, selalu hadir kerinduan bercengkrama dengan cahaya; cahaya yang
sampai saat ini sulit ditemukan bagi sebagian orang. Dan dia dilahirkan untuk
mentransfer cahaya itu; Cahaya hanya bertemu dengan cahaya. Pertemuan dengan
cahaya harus dimulai dingan setitik cahaya pikirnya.
"Tuhan, kuatkanlah hambamu untuk terus berjibaku dengan setan. Aku tahu hanya Engkaulah yang mampu mengendalikan nafsu ciptaanmu. Dengan kehadiranmu dalam urat nadiku dan asmamu yang menjalar dalam aortaku, aku tak kan pernah takut menganiaya kebatilan. Ya Tuhan, biarkan selaksa cahaya menetap di jiwaku, jangan pernah kau padamkam'' Niat Tarman telah lurus. Berdakwah! Doanya mengangkasa, menembus udara, meretas ke atas langit; bersemayam di muara surga.
***
Tarman dengan segala kemantapannya melangkahkan kaki ke tempat itu, kampung Suka Endah. Satu langkah lagi, maka dia masuk ke tempat itu. Setelah berkomat-kamit, Tarman memberanikan diri untuk memasukinya. Dilihatnya pemandangan itu. Tak ada yang istimewa, tak ada wah disini. Tak ada beda dengan perkampungan lainnya. Kata orang-orang disini tempat iblis bersemayam, tapi saya tak melihat tanda-tandanya. Tarman berseloroh di sukmanya. Ustadz muda itu terus berjalan menyusuri sawah dan pematang, hingga dia bertemu dengan seorang tua, linggis di pundaknya. Tarman menyunggingkan senyum manisnya; tak dibalas. Tarman mengucapkan salam; tak terbalas. Tarman ingin berjabat tangan; tak dijabat. "Allah, aku tahu ini ujian untukku" kembali Tarman berseloroh, seloroh yang tak terucap.
"Maaf Pak, bolehkah saya bertanya?"
"Kamu telah bertanya Ustadz." Tarman agak kikuk.
"Ehm, begini Pak saya....'' Pak Tua itu menyekat pembicaraannya.
"Kamu seorang Ustadz yang ingin berdakwah bukan? Kamu jauh-jauh datang kesini karena banyak orang yang menyatakan bahwa di tempat ini maksiat sedang berkecamuk, dan kamu ingin memberantasnya bukan? Kamu ingin mengaplikasikan teori-teori yang kamu punya di tempat ini bukan?''
Pertanyaan yang bertubi-tubi itu sempat membuat mata Tarman tak bergeming dari kelopaknya, melotot.
"Dari mana bapak tahu?''
"Saya tahu dari matamu anak muda, saya tahu dari pakaianmu, saya tahu dari gerak gerikmu. Mari kita berteduh di pohon teduh itu.'' Tarman bergegas mengikuti Pak Tua. Kemudian mereka melanjutkan pembicaraan.
"Ketahuilah Ustadz, disini adalah kampung yang rukun. Warga disini orangnya baik-baik, bahkan terlampau baik. Kalau tadi saya tak merespon Ustadz, bukan berarti saya sombong.'' Sambil membetulkan tempat duduknya, Pak Tua melanjutkan kata-katanya. Tarman sibuk mencatat berbagai pertanyaan di benaknya.
"Warga kampung disini sudah bosan dengan pendatang yang hanya ingin memberi petuah, wejangan-wejangan dan dalil-dalil.''
"Ada yang harus saya luruskan Pak. Saya datang kesini semata-mata karena Allah, bukan ada maksud tertentu dibalik semua ini. Saya hanya ingin berbagi pengalaman dengan warga disini atas ilmu yang pernah saya dapatkan di pesantren. Lagi pula, saya yakin tidak semua warga taat beribadah bukan? Nah saya datang kesini untuk menyeru pada jalan kebenaran, jalan yang diridhoi Allah."
"Ustadz, saya mengerti maksud baik saudara. Saya juga mahfum bahwa tak semua warga baik. Itulah mengapa kami masih bisa bertahan hidup."
"Maksud Bapak?"
"Kalau semua Ustadz datang kemari, lantas kapan kami bisa berdakwah? Dakwah tidak hanya Ustadz saja bukan? Ustadz jangan serakah seperti itu dong. Allah tidak menyukai orang-orang serakah Ustadz. Kalau Ustadz berdakwah disini, lalu kami berdakwah dimana? Kalau kami tidak berdakwah, apakah kami masih bisa hidup?''
Tarman berpikir serius. Kata-kata yang dilontarkan oleh Pak Tua begitu menyeruak ke dasar otaknya. Tiba-tiba kepalanya manggut-manggut. Masih banyak tempat lain untuk berdakwah pikirnya.
"Baiklah Pak Tua saya mengerti. Semakin banyak orang-orang yang berdakwah, menyeru di jalan Allah, semakin banyak yang sadar bahwa hidup di dunia hanyalah untuk beribadah."
"Syukurlah kalau Ustadz mengerti." Tarman berpamit diri.
Ternyata sulit juga untuk berdakwah, pikirnya.
***
Akhirnya Tarman pergi ke kota. Menurutnya orang-orang kota pasti banyak yang berdosa. Apalagi kalau melihat acara-acara di TV, wah sensasional. Banyak yang harus diperbaiki. Tarman naik bis. Ternyata di dalam bis, dia melihat banyak wanita yang tak memakai jilbab, anak-anak muda yang merokok dan berpakaian tak sopan. Ada hasrat untuk berdakwah. Tarman bangkit dari tempat duduknya. Tarman mengucap salam. Namun sebelum keinginannya terlaksana, ada yang menepuk bahu dari belakang. Kondektur. Lalu kondektur itu berbisik di telinganya.
"Maaf Pak Ustadz, tadi sudah ada yang berdakwah disini. Kasihan penumpang, mereka sudah jemu dengan dalil-dalil. Biarkan mereka beristirahat barang sejenak. Bukankah mengganggu orang itu tidak disukai Allah?''
Lagi-lagi keinginannya tidak terlaksana. Tarman kembali duduk di kursinya. Berdakwah memang penuh tantangan. Allah pintar sekali menguji manusia.
Datanglah Tarman di kota.
"Saya harus mencari tempat yang butuh cahaya.'' Celotehnya dalam kalbu. Lalu dia masuk ke kafe.
"Saya yakin disini pasti membutuhkan tausiah." Tarman masuk ke tempat itu. "Masyaallah, musik apa ini, begitu mengantam-hantam jantung. Wanita-wanita dengan pakaian terbatas, hamr dimana-mana. Saya akan mencobanya. Ini dakwah pertama saya, saya harus terlihat memukau." Tarman memulai dakwahnya. Dia bicara lantang.
"Assalamualaikum warahmatullah wabarokatuh. Ibu-ibu dan bapak-bapak yang dimuliakan Allah, hari ini kita berjumpa disini karena Allah, jadi beribadahlah karena Allah. Tanpa Allah kita tidak bisa berbuat apa-apa..." Tarman menggebu-gebu bicaranya. Sayang kata-kata yang bekecamuk itu tak terdengar sama sekali, terkalahkan oleh dentuman musik yang hangar bingar. Tarman lemas. Mengapa mereka tidak mendengarkan, pikirnya. Gagal lagi. Tarman keluar dari tempat itu. Tarman terus memeras otakknya. "Mengapa mereka tidak mendengarkan tausiahnya? Bukankah berdakwah bisa dimana saja? Tapi memang tempat tadi kurang kondusif. Ah Allah saya butuh pertolonganmu. Satu-satunya jalan ya mesjid! Saya akan cari mesjid terdekat disini.'' Tarman menemukan mesjid itu. Mesjid yang megah. Banyak sekali jamaah berbondong-bondong memadati mesjid itu. Lalu Tarman bertanya ke salah seorang jamaah.
"Bisakah saya berdakwah di mesjid ini?"
"Maksud saudara ingin mendengarkan dakwah?"
"Tidak, maksud saya, saya yang menjadi ustadznya. Insyaallah saya punya ilmu yang bisa disampaikan. Saya lulusan dari pesantern di kampung Munjul."
"Sekarang yang akan memberikan tausiah itu K.H. Iqbal. Beliau ustadz yang terkenal.''
"Jadi saya tak bisa berdakwah disini?''
"Mungkin di mesjid lain bisa.'' Tarman agak kecewa. Lalu dia mencari mesjid lainnya.
"Sekarang K.H. Rummi beliau ustadz yang terkenal.''
"Jadi saya tak bisa berdakwah disini?" Lagi-lagi kecewa yang didapatnya.
"Sekarang K.H. Ghazali beliau ustadz yang terkenal.'' Tarman Kecewa.
"Sekarang K.H. Hallaj beliau ustadz yang terkenal.'' Tarman kecewa.
"Sekarang K.H. Siti Jenar beliau ustadz yang terkenal.'' Tarman kecewa.
Tarman tak mampu lagi membendung kekesalan. Ternyata di kota lebih parah lagi. Tarman tak bisa berdakwah. Di selasar mesjid Tarman terdiam, wajahnya kelabu. Pikirannya melesat ke kampung. Dia rindu adiknya yang tak pernah mengaji, bapaknya yang selalu berjudi, dan tetangganya yang selalu pamer kekayaan. Tarman tersenyum, wajahnya cerah kembali.
"Tuhan, kuatkanlah hambamu untuk terus berjibaku dengan setan. Aku tahu hanya Engkaulah yang mampu mengendalikan nafsu ciptaanmu. Dengan kehadiranmu dalam urat nadiku dan asmamu yang menjalar dalam aortaku, aku tak kan pernah takut menganiaya kebatilan. Ya Tuhan, biarkan selaksa cahaya menetap di jiwaku, jangan pernah kau padamkam'' Niat Tarman telah lurus. Berdakwah! Doanya mengangkasa, menembus udara, meretas ke atas langit; bersemayam di muara surga.
***
Tarman dengan segala kemantapannya melangkahkan kaki ke tempat itu, kampung Suka Endah. Satu langkah lagi, maka dia masuk ke tempat itu. Setelah berkomat-kamit, Tarman memberanikan diri untuk memasukinya. Dilihatnya pemandangan itu. Tak ada yang istimewa, tak ada wah disini. Tak ada beda dengan perkampungan lainnya. Kata orang-orang disini tempat iblis bersemayam, tapi saya tak melihat tanda-tandanya. Tarman berseloroh di sukmanya. Ustadz muda itu terus berjalan menyusuri sawah dan pematang, hingga dia bertemu dengan seorang tua, linggis di pundaknya. Tarman menyunggingkan senyum manisnya; tak dibalas. Tarman mengucapkan salam; tak terbalas. Tarman ingin berjabat tangan; tak dijabat. "Allah, aku tahu ini ujian untukku" kembali Tarman berseloroh, seloroh yang tak terucap.
"Maaf Pak, bolehkah saya bertanya?"
"Kamu telah bertanya Ustadz." Tarman agak kikuk.
"Ehm, begini Pak saya....'' Pak Tua itu menyekat pembicaraannya.
"Kamu seorang Ustadz yang ingin berdakwah bukan? Kamu jauh-jauh datang kesini karena banyak orang yang menyatakan bahwa di tempat ini maksiat sedang berkecamuk, dan kamu ingin memberantasnya bukan? Kamu ingin mengaplikasikan teori-teori yang kamu punya di tempat ini bukan?''
Pertanyaan yang bertubi-tubi itu sempat membuat mata Tarman tak bergeming dari kelopaknya, melotot.
"Dari mana bapak tahu?''
"Saya tahu dari matamu anak muda, saya tahu dari pakaianmu, saya tahu dari gerak gerikmu. Mari kita berteduh di pohon teduh itu.'' Tarman bergegas mengikuti Pak Tua. Kemudian mereka melanjutkan pembicaraan.
"Ketahuilah Ustadz, disini adalah kampung yang rukun. Warga disini orangnya baik-baik, bahkan terlampau baik. Kalau tadi saya tak merespon Ustadz, bukan berarti saya sombong.'' Sambil membetulkan tempat duduknya, Pak Tua melanjutkan kata-katanya. Tarman sibuk mencatat berbagai pertanyaan di benaknya.
"Warga kampung disini sudah bosan dengan pendatang yang hanya ingin memberi petuah, wejangan-wejangan dan dalil-dalil.''
"Ada yang harus saya luruskan Pak. Saya datang kesini semata-mata karena Allah, bukan ada maksud tertentu dibalik semua ini. Saya hanya ingin berbagi pengalaman dengan warga disini atas ilmu yang pernah saya dapatkan di pesantren. Lagi pula, saya yakin tidak semua warga taat beribadah bukan? Nah saya datang kesini untuk menyeru pada jalan kebenaran, jalan yang diridhoi Allah."
"Ustadz, saya mengerti maksud baik saudara. Saya juga mahfum bahwa tak semua warga baik. Itulah mengapa kami masih bisa bertahan hidup."
"Maksud Bapak?"
"Kalau semua Ustadz datang kemari, lantas kapan kami bisa berdakwah? Dakwah tidak hanya Ustadz saja bukan? Ustadz jangan serakah seperti itu dong. Allah tidak menyukai orang-orang serakah Ustadz. Kalau Ustadz berdakwah disini, lalu kami berdakwah dimana? Kalau kami tidak berdakwah, apakah kami masih bisa hidup?''
Tarman berpikir serius. Kata-kata yang dilontarkan oleh Pak Tua begitu menyeruak ke dasar otaknya. Tiba-tiba kepalanya manggut-manggut. Masih banyak tempat lain untuk berdakwah pikirnya.
"Baiklah Pak Tua saya mengerti. Semakin banyak orang-orang yang berdakwah, menyeru di jalan Allah, semakin banyak yang sadar bahwa hidup di dunia hanyalah untuk beribadah."
"Syukurlah kalau Ustadz mengerti." Tarman berpamit diri.
Ternyata sulit juga untuk berdakwah, pikirnya.
***
Akhirnya Tarman pergi ke kota. Menurutnya orang-orang kota pasti banyak yang berdosa. Apalagi kalau melihat acara-acara di TV, wah sensasional. Banyak yang harus diperbaiki. Tarman naik bis. Ternyata di dalam bis, dia melihat banyak wanita yang tak memakai jilbab, anak-anak muda yang merokok dan berpakaian tak sopan. Ada hasrat untuk berdakwah. Tarman bangkit dari tempat duduknya. Tarman mengucap salam. Namun sebelum keinginannya terlaksana, ada yang menepuk bahu dari belakang. Kondektur. Lalu kondektur itu berbisik di telinganya.
"Maaf Pak Ustadz, tadi sudah ada yang berdakwah disini. Kasihan penumpang, mereka sudah jemu dengan dalil-dalil. Biarkan mereka beristirahat barang sejenak. Bukankah mengganggu orang itu tidak disukai Allah?''
Lagi-lagi keinginannya tidak terlaksana. Tarman kembali duduk di kursinya. Berdakwah memang penuh tantangan. Allah pintar sekali menguji manusia.
Datanglah Tarman di kota.
"Saya harus mencari tempat yang butuh cahaya.'' Celotehnya dalam kalbu. Lalu dia masuk ke kafe.
"Saya yakin disini pasti membutuhkan tausiah." Tarman masuk ke tempat itu. "Masyaallah, musik apa ini, begitu mengantam-hantam jantung. Wanita-wanita dengan pakaian terbatas, hamr dimana-mana. Saya akan mencobanya. Ini dakwah pertama saya, saya harus terlihat memukau." Tarman memulai dakwahnya. Dia bicara lantang.
"Assalamualaikum warahmatullah wabarokatuh. Ibu-ibu dan bapak-bapak yang dimuliakan Allah, hari ini kita berjumpa disini karena Allah, jadi beribadahlah karena Allah. Tanpa Allah kita tidak bisa berbuat apa-apa..." Tarman menggebu-gebu bicaranya. Sayang kata-kata yang bekecamuk itu tak terdengar sama sekali, terkalahkan oleh dentuman musik yang hangar bingar. Tarman lemas. Mengapa mereka tidak mendengarkan, pikirnya. Gagal lagi. Tarman keluar dari tempat itu. Tarman terus memeras otakknya. "Mengapa mereka tidak mendengarkan tausiahnya? Bukankah berdakwah bisa dimana saja? Tapi memang tempat tadi kurang kondusif. Ah Allah saya butuh pertolonganmu. Satu-satunya jalan ya mesjid! Saya akan cari mesjid terdekat disini.'' Tarman menemukan mesjid itu. Mesjid yang megah. Banyak sekali jamaah berbondong-bondong memadati mesjid itu. Lalu Tarman bertanya ke salah seorang jamaah.
"Bisakah saya berdakwah di mesjid ini?"
"Maksud saudara ingin mendengarkan dakwah?"
"Tidak, maksud saya, saya yang menjadi ustadznya. Insyaallah saya punya ilmu yang bisa disampaikan. Saya lulusan dari pesantern di kampung Munjul."
"Sekarang yang akan memberikan tausiah itu K.H. Iqbal. Beliau ustadz yang terkenal.''
"Jadi saya tak bisa berdakwah disini?''
"Mungkin di mesjid lain bisa.'' Tarman agak kecewa. Lalu dia mencari mesjid lainnya.
"Sekarang K.H. Rummi beliau ustadz yang terkenal.''
"Jadi saya tak bisa berdakwah disini?" Lagi-lagi kecewa yang didapatnya.
"Sekarang K.H. Ghazali beliau ustadz yang terkenal.'' Tarman Kecewa.
"Sekarang K.H. Hallaj beliau ustadz yang terkenal.'' Tarman kecewa.
"Sekarang K.H. Siti Jenar beliau ustadz yang terkenal.'' Tarman kecewa.
Tarman tak mampu lagi membendung kekesalan. Ternyata di kota lebih parah lagi. Tarman tak bisa berdakwah. Di selasar mesjid Tarman terdiam, wajahnya kelabu. Pikirannya melesat ke kampung. Dia rindu adiknya yang tak pernah mengaji, bapaknya yang selalu berjudi, dan tetangganya yang selalu pamer kekayaan. Tarman tersenyum, wajahnya cerah kembali.
Sumber inspirasi : kota santri [dot] com ,
Republika [dot] com , helvitiana rosa ,
MQMedia[dot]com ,dakwah.org serta beberapa majalah dan buku kumpulan
cerpen