Alkisah, di zaman dulu tentang orang atheist yang tidak percaya dengan
Tuhan. Dia mengajak berdebat seorang alim mengenai ada atau tidak adanya
Tuhan. Di antara pertanyaannya adalah: “Benarkah Tuhan itu ada” dan
“Jika ada, di manakah Tuhan itu?”
Ketika orang atheist itu
menunggu bersama para penduduk di kampung tersebut, orang alim itu belum
juga datang. Ketika orang atheist dan para penduduk berpikir bahwa
orang alim itu tidak akan datang, barulah muncul orang alim tersebut.
“Maaf jika kalian menunggu lama.
Karena hujan turun deras, maka sungai menjadi banjir, sehingga
jembatannya hanyut dan saya tak bisa menyeberang. Alhamdulillah
tiba-tiba ada sebatang pohon yang tumbang. Kemudian, pohon tersebut
terpotong-potong ranting dan dahannya dengan sendirinya, sehingga jadi
satu batang yang lurus, hingga akhirnya menjadi perahu. Setelah itu,
baru saya bisa menyeberangi sungai dengan perahu tersebut.” Begitu orang
alim itu berkata.
Si Atheist dan juga para
penduduk kampung tertawa terbahak-bahak. Dia berkata kepada orang
banyak, “Orang alim ini sudah gila rupanya. Masak pohon bisa jadi perahu
dengan sendirinya. Mana bisa perahu jadi dengan sendirinya tanpa ada
yang membuatnya!” Orang banyak pun tertawa riuh.
Setelah tawa agak reda, orang
alim pun berkata, “Jika kalian percaya bahwa perahu tak mungkin ada
tanpa ada pembuatnya, kenapa kalian percaya bahwa bumi, langit, dan
seisinya bisa ada tanpa penciptanya? Mana yang lebih sulit, membuat
perahu, atau menciptakan bumi, langit, dan seisinya ini?”
Mendengar perkataan orang alim tersebut, akhirnya mereka sadar bahwa mereka telah terjebak oleh pernyataan mereka sendiri.
“Kalau begitu, jawab
pertanyaanku yang kedua,” kata si Atheist. “Jika Tuhan itu ada, mengapa
dia tidak kelihatan. Di mana Tuhan itu berada?” Orang atheist itu
berpendapat, karena dia tidak pernah melihat Tuhan, maka Tuhan itu tidak
ada.
Orang alim itu kemudian menampar pipi si atheist dengan keras, sehingga si atheist merasa kesakitan.
“Kenapa anda memukul saya? Sakit sekali.” Begitu si Atheist mengaduh.
Si Alim bertanya, “Ah mana ada sakit. Saya tidak melihat sakit. Di mana sakitnya?”
“Ini sakitnya di sini,” si Atheist menunjuk-nunjuk pipinya.
“Tidak, saya tidak melihat sakit. Apakah para hadirin melihat sakitnya?” Si Alim bertanya ke orang banyak.
Orang banyak berkata, “Tidak!”
“Nah, meski kita tidak bisa
melihat sakit, bukan berarti sakit itu tidak ada. Begitu juga Tuhan.
Karena kita tidak bisa melihat Tuhan, bukan berarti Tuhan itu tidak ada.
Tuhan ada. Meski kita tidak bisa melihatNya, tapi kita bisa merasakan
ciptaannya.” Demikian si Alim berkata.
Sederhana memang pembuktian
orang alim tersebut. Tapi pernyataan bahwa Tuhan itu tidak ada hanya
karena panca indera manusia tidak bisa mengetahui keberadaan Tuhan
adalah pernyataan yang keliru.
Berapa banyak benda yang tidak bisa dilihat atau didengar manusia, tapi pada kenyataannya benda itu ada?
Betapa banyak benda langit yang
jaraknya milyaran, bahkan mungkin trilyunan cahaya yang tidak pernah
dilihat manusia, tapi benda itu sebenarnya ada?
Berapa banyak zakat berukuran
molekul, bahkan nukleus (rambut dibelah 1 juta), sehingga manusia tak
bisa melihatnya, ternyata benda itu ada? (manusia baru bisa melihatnya
jika meletakan benda tersebut ke bawah mikroskop yang amat kuat).
Berapa banyak gelombang (entah radio, elektromagnetik. Listrik, dan lain-lain) yang tak bisa dilihat, tapi ternyata hal itu ada.
Benda itu ada, tapi panca indera manusia lah yang terbatas, sehingga tidak mengetahui keberadaannya.
Kemampuan manusia untuk melihat
warna hanya terbatas pada beberapa frekuensi tertentu, demikian pula
suara. Terkadang sinar yang amat menyilaukan bukan saja tak dapat
dilihat, tapi dapat membutakan manusia. Demikian pula suara dengan
frekuensi dan kekerasan tertentu selain ada yang tak bisa didengar juga
ada yang mampu menghancurkan pendengaran manusia. Jika untuk mengetahui
keberadaan ciptaan Allah saja manusia sudah mengalami kesulitan, apalagi
untuk mengetahui keberadaan Sang Maha Pencipta!
Memang sulit membuktikan bahwa
Tuhan itu ada. Tapi jika kita melihat pesawat terbang, mobil, TV, dan
lain-lain, sangat tidak masuk akal jika kita berkata semua itu terjadi
dengan sendirinya. Pasti ada pembuatnya.
Jika benda-benda yang sederhana seperti korek api saja ada pembuatnya, apalagi dunia yang jauh lebih kompleks.
Bumi yang sekarang didiami oleh
sekitar 8 milyar manusia, keliling lingkarannya sekitar 40 ribu
kilometer panjangnya. Matahari, keliling lingkarannya sekitar 4,3 juta
kilometer panjangnya. Matahari, dan 9 planetnya yang tergabung dalam
Sistem Tata Surya, tergabung dalam galaksi Bima Sakti yang panjangnya
sekitar 100 ribu tahun cahaya (kecepatan cahaya=300 ribu
kilometer/detik!) bersama sekitar 100 milyar bintang lainnya. Galaksi
Bima Sakti, hanyalah 1 galaksi di antara ribuan galaksi lainnya yang
tergabung dalam 1 “Cluster”. Cluster ini bersama ribuan Cluster lainnya
membentuk 1 Super Cluster. Sementara ribuan Super Cluster ini akhirnya
membentuk “Jagad Raya” (Universe) yang bentangannya sejauh 30 Milyar
Tahun Cahaya! Harap diingat, angka 30 Milyar Tahun Cahaya baru angka
estimasi saat ini, karena jarak pandang teleskop tercanggih baru sampai
15 Milyar Tahun Cahaya.
Bayangkan, jika jarak bumi
dengan matahari yang 150 juta kilometer ditempuh oleh cahaya hanya dalam
8 menit, maka seluruh Jagad Raya baru bisa ditempuh selama 30 milyar
tahun cahaya. Itulah kebesaran ciptaan Allah! Jika kita yakin akan
kebesaran ciptaan Tuhan, maka hendaknya kita lebih meyakini lagi
kebesaran penciptanya.
Dalam Al Qur’an, Allah menjelaskan bahwa Dialah yang menciptakan langit, bintang, matahari, bulan, dan lain-lain:
“Maha Suci Allah yang menjadikan
di langit gugusan-gugusan bintang dan Dia menjadikan juga padanya
matahari dan bulan yang bercahaya.” [Al Furqoon:61]
Ada jutaan orang yang mengatur
lalu lintas jalan raya, laut, dan udara. Mercusuar sebagai penunjuk arah
di bangun, demikian pula lampu merah dan radar. Menara kontrol bandara
mengatur lalu lintas laut dan udara. Sementara tiap kendaraan ada
pengemudinya. Bahkan untuk pesawat terbang ada Pilot dan Co-pilot,
sementara di kapal laut ada Kapten, juru mudi, dan lain-lain. Toh,
ribuan kecelakaan selalu terjadi di darat, laut, dan udara. Meski ada
yang mengatur, tetap terjadi kecelakaan lalu lintas.
Sebaliknya, bumi, matahari,
bulan, bintang, dan lain-lain selalu beredar selama milyaran tahun lebih
(umur bumi diperkirakan sekitar 4,5 milyar tahun) tanpa ada tabrakan.
Selama milyaran tahun, tidak pernah bumi menabrak bulan, atau bulan
menabrak matahari. Padahal tidak ada rambu-rambu jalan, polisi, atau pun
pilot yang mengendarai. Tanpa ada Tuhan yang Maha Mengatur, tidak
mungkin semua itu terjadi. Semua itu terjadi karena adanya Tuhan yang
Maha Pengatur. Allah yang telah menetapkan tempat-tempat perjalanan
(orbit) bagi masing-masing benda tersebut. Jika kita sungguh-sungguh
memikirkan hal ini, tentu kita yakin bahwa Tuhan itu ada.
“Dia-lah yang menjadikan
matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya
manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu
mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak
menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan
tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.”
[Yunus:5]
“Tidaklah mungkin bagi matahari
mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan
masing-masing beredar pada garis edarnya.” [Yaa Siin:40]
Sungguhnya orang-orang yang memikirkan alam, insya Allah akan yakin bahwa Tuhan itu ada:
“Allah-lah Yang meninggikan
langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia
bersemayam di atas `Arsy, dan menundukkan matahari dan bulan.
Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur
urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya
kamu meyakini pertemuan (mu) dengan Tuhanmu.” [Ar Ra’d:2]
“(yaitu) orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring
dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan
sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”
[Ali Imron:191]
Terhadap manusia-manusia yang
sombong dan tidak mengakui adanya Tuhan, Allah menanyakan kepada mereka
tentang makhluk ciptaannya. Manusiakah yang menciptakan, atau Tuhan yang
Maha Pencipta:
“Maka terangkanlah kepadaku
tentang nutfah yang kamu pancarkan. Kamukah yang menciptakannya, atau
Kamikah yang menciptakannya?” [Al Waaqi’ah:58-59]
“Maka terangkanlah kepadaku
tentang yang kamu tanam? Kamukah yang menumbuhkannya ataukah Kami yang
menumbuhkannya?” [Al Waaqi’ah:63-64]
“Kamukah yang menjadikan kayu itu atau Kamikah yang menjadikannya?” [Al Waaqi’ah:72]
Di ayat lain, bahkan Allah
menantang pihak lain untuk menciptakan lalat jika mereka mampu. Manusia
mungkin bisa membuat robot dari bahan-bahan yang sudah diciptakan oleh
Allah. Tapi untuk menciptakan seekor lalat dari tiada menjadi ada serta
makhluk yang bisa bereproduksi (beranak-pinak), tak ada satu pun yang
bisa menciptakannya kecuali Allah:
“…Sesungguhnya segala yang kamu
seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun,
walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu
merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali
dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah)
yang disembah.” [Al Hajj:73]
Sesungguhnya, masih banyak
ayat-ayat Al Qur’an lainnya yang menjelaskan bahwa sesungguhnya, Tuhan
itu ada, dan Dia lah yang Maha Pencipta. (Sumber: Media Islam)