Bulan Muharam adalah bulan yang mulia. Namun demikian, tak banyak
kaum Muslim yang tau bagaimana memperlakukannya. Bahkan lebih banyak
salah memahaminya. Ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil dalam
masalah Bulan Muharam.
Pertama, Bulan Muharram Adalah Bulan Yang Mulia
Bulan Muharram adalah bulan yang mulia, hal itu dikarenakan beberapa hal:
1. Bulan ini dinamakan Allah
dengan “ Syahrullah “, yaitu bulan Allah. Penisbatan sesuatu kepada
Allah mengandung makna yang mulia, seperti “ Baitullah “ ( rumah Allah
), “Saifullah” ( pedang Allah ), “ Jundullah” ( tentara Allah) dan
lain-lainnya. Dan ini juga menunjukkan bahwa bulan tersebut mempunyai
keutamaan khusus yang tidak dimilili oleh bulan-bulan yang lain.
2. Bulan ini termasuk salah satu dari empat bulan yang dijadikan Allah sebagi bulan haram, sebagaimana firman Allah swt :
"Sesungguhnya bilangan bulan di
sisi Allah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah diwaktu Dia
menciptakan lanit dan bumi, diantaranya terdapat empat bulan haram."
(Q.S. at Taubah :36).
Dalam hadis Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda :
“Sesungguhnya zaman itu berputar
sebagaiman bentuknya semula di waktu Allah menciptakan langit dan bumi.
Setahun itu ada dua belas bulan, diantaranya terdapat empat bulan yang
dihormati : 3 bulan berturut-turut; Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram dan
Rajab Mudhar, yang terdapat diantara bulan Jumada Tsaniah dan Sya’ban.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
3. Bulan ini dijadikan awal
bulan dari Tahun Hijriyah, sebagaimana yang telah disepakati oleh para
sahabat pada masa khalifah Umar bin Khattab ra. Tahun Hijriyah ini
dijadikan momentum atas peristiwa hijrah nabi Muhammad saw.
Kedua, Pada Bulan ini Disunnahkan Untuk Berpuasa
Bulan Muharram adalah bulan yang
disunnahkan di dalamnya untuk berpuasa, bahkan merupakan puasa yang
paling utama sesudah puasa pada bulan Ramadhan, sebagaimana yang
tersebut dalam hadist Hurairah ra, di atas. Hadist di atas menunjukkan
bahwa Rasulullah saw menganjurkan kaum Muslimin untuk melakukan puasa
sebanyak-banyaknya pada bulan Muharram. Tetapi tidak dianjurkan puasa
satu bulan penuh, hal itu berdasarkan hadist Aisyah ra, bahwasanya ia
berkata : “Saya tidak pernah melihat sama sekali Rasulullah saw berpuasa
satu bulan penuh kecuali pada bulan Ramadhan, dan saya tidak melihat
beliau berpuasa paling banyak pada suatu bulan, kecuali bulan Sya’ban.
“( HR Muslim )
Pertanyaan yang muncul adalah
bagaimana Rasulullah saw menyebutkan bahwa bulan Muharram adalah bulan
yang paling mulia sesudah Ramadhan, padahal beliau sendiri lebih banyak
melakukan puasa pada bulan Sya’ban dan bukan pada bulan Muharram ?
Jawabannya : Para ulama memberikan beberapa alasan, diantaranya bahwa
Rasulullah saw belum mengetahui keutamaan bulan Muharram kecuali pada
detik-detik terakhir kehidupan beliau, sehingga belum sempat untuk
berpuasa sebanyak-banyaknya, atau mungkin adanya udzur syar’I yang
menghalangi beliau untuk memperbanyak puasa pada bulan tersebut, seperti
banyak melakukan perjalan jauh (safar) atau udzur-udzur yang lain.
Puasa bulan Muharram ini
berdasarkan hadist di atas adalah puasa yang paling utama dalam sesudah
Ramadhan dalam satu bulan. Sedangkan puasa Arafah adalah puasa yang
paling utama sesudah Ramadhan bila dilihat dari sisi hari.
عن أبي هريرة t قال : قال رسول الله r : ( أفضلُ الصيام بعد رمضان شهرُ الله المحرم ، وأفضلُ الصلاة بعد الفريضة صلاةُ الليل )
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah
saw bersabda : “Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa
di bulan Allah, yaitu Muharram. Sedangkan shalat yang paling utama
setelah shalat fardhu adalah shalat malam”. (HR. Muslim)
Ketiga, Bulan Muharram terhadap Hari Asyura’
Hari Asyura’ artinya hari
kesepuluh dari bulan Muharram. Pada hari itu dianjurkan untuk berpuasa,
sebagaimana yang tersebut di dalam hadist Ibnu Abbas ra berkata : “
Ketika Rasulullah saw. tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang
Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura’, maka beliau bertanya : "Hari apa
ini?”. Mereka menjawab :“Ini adalah hari istimewa, karena pada hari ini
Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya, oleh karena itu Nabi Musa
berpuasa pada hari ini. Rasulullah pun bersabda : "Aku lebih berhak
terhadap Musa daripada kalian“ . Maka beliau berpuasa dan memerintahkan
sahabatnya untuk berpuasa.”(HR Bukhari dan Muslim)
Bagaimana cara berpuasa pada
hari Asyura ? Menurut keterangan para ulama dan berdasarkan beberapa
hadist, maka puasa Asyura bisa dilakukan dengan empat pilihan : berpuasa
tanggal 9 dan 10 Muharram, atau berpuasa pada tanggal 10 dan 11
Muharram atau berpuasa pada tanggal 9,10, dan 11 Muharram, atau berpuasa
pada tanggal 10 Muharram saja, tetapi yang terakhir ini, sebagian ulama
memakruhkannya, karena menyerupai puasanya orang-orang Yahudi.
Cara berpuasa di atas
berdasarkan hadist Ibnu Abbas ra, bahwasanya ia berkata : Ketika
Rasulullah saw. berpuasa pada hari ‘Asyura’ dan memerintahkan kaum
Muslimin berpuasa, para shahabat berkata : "Wahai Rasulullah ini adalah
hari yang diagungkan Yahudi dan Nasrani". Maka Rasulullah pun bersabda
:"Jika tahun depan kita bertemu dengan bulan Muharram, kita akan
berpuasa pada hari kesembilan.“ (H.R. Bukhari dan Muslim).
Begitu juga hadist Ibnu Abbas
ra, bahwasanya Rasulullah saw. bersabda : "Puasalah pada hari Asyura’,
dan berbuatlah sesuatu yang berbeda dengan Yahudi dalam masalah ini,
berpuasalah sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya.“ ( HR Ahmad dan
Ibnu Khuzaimah ) Dalam riwayat Ibnu Abbas lainnya disebutkan :
“Berpuasalah sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya.“
Apa keutamaan puasa pada hari
Asyura’ ini ? Keutamaannya adalah barang siapa yang puasa dengan ikhlas
pada hari Asyura’ tersebut, niscaya Allah swt akan menghapus
dosa-dosanya yang telah dikerjakan selama satu tahun sebelumnya,
sebagaimana yang tersebut di dalam hadist Abu Qatadah ra, bahwasanya
seorang laki-laki pernah bertanya kepada Rasulullah saw tentang puasa
‘Asyura’, maka Rasulullah saw menjawab : “ Saya berharap dari Allah swt
agar menghapus dosa-dosa selama satu tahun sebelumnya. “ ( HR Muslim )
Dosa-dosa yang dihapus disini
adalah dosa-dosa kecil saja. Adapun dosa-dosa besar, maka seorang Muslim
harus bertaubat dengan taubat nasuha, jika ingin diampuni oleh Allah
swt.
Adapun hikmah puasa Asyura’
adalah sebagai bentuk kesyukuran atas selamatnya nabi Musa as dan
pengikutnya serta tenggelamnya Fir’aun dan bala tentaranya, sebagaimana
yang tersebut dalam hadist Ibnu Abbas di atas.
Keempat, Kekeliruan dalam menghadapi Bulan Muharram
Di dalam menghadapi Tahun Baru
Hijriyah, sebagian kaum Muslimin mengerjakan beberapa amalan yang tidak
pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw, maka hendaknya kekeliruan
tersebut bisa dihindarkan dari kita. Diantara kekeliruan tersebut adalah
:
1. Menjadikan tanggal 1 bulan
Muharram sebagai hari raya kaum Muslimin, mereka merayakannya dengan
cara saling berkunjung satu dengan yang lainnya, atau saling memberikan
hadiah satu dengan yang lainnya, bahkan sebagian dari mereka mengadakan
sholat tahajud dan doa’-do’a khusus pada malam tahun baru. Padahal
dalam Islam hari raya hanya ada dua, yaitu hari raya Idul Fitri dan hari
raya Idul Adha. Hal itu sesuai dengan hadist Anas bin Malik ra,
bahwasanya ia berkata : “Rasulullah saw datang ke kota Madinah, pada
waktu itu penduduk Madinah merayakan dua hari tertentu, maka Rasulullah
saw bertanya: Dua hari ini apa ? Mereka menjawab: “Ini adalah dua hari,
dimana kami pernah merayakannya pada masa Jahiliyah. Maka Rasulullah saw
bersabda : “ Sesungguhnya Allah swt telah menggantikannya dengan yan
lebih baik: yaitu hari raya Idul Adha dan hari raya Idul Fitri. (HR
Ahmad, Abu Daud dan Nasai )
Begitu juga, merayakan tahun
baru adalah kebiasaan orang-orang Yahudi dan Nasrani, maka kaum Muslimin
diperintahkan untuk menjauhi dari kebiasaan tersebut, sebagaimana yang
terdapat dalam hadist Abu Musa Al Asy’ari bahwasanya ia berkata : “Hari
Asyura adalah hari yang dimuliakan oleh Yahudi dan mereka menjadikannya
sebagai hari raya.” Dalam riwayat Al-Nasai dan Ibnu Hibban, Rasulullah
bersabda, “Bedalah dengan Yahudi dan berpuasalah kalian pada hari
Asyura.”
2. Menjadikan tanggal 10
Muharram sebagi hari berkabung, sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok
Syi’ah Rafidhah. Mereka meratapi kematian Husen bin Ali yang terbunuh
di Karbela. Bahkan sejak Syah Ismail Safawi menguasai wilayah Iran, dia
telah mengumumkan bahwa hari berkabung nasional berlaku di seluruh
wilayah kekuasaannya pada tanggal 10 hari pertama bulan Muharram. Ritual
meratapai kematian Husen ini dilakukan dengan memukul tangan-tangan
mereka ke dada, bahkan tidak sedikit dari mereka yang menyabet badan
mereka dengan pisau dan pedang hingga keluar darahnya, dan sebagian yang
lain melukai badan mereka dengan rantai.
3. Menjadikan malam 1 Muharram
untuk memburu berkah dengan berbondong-bondong menuju kota Solo dan
menyaksikan ritual kirab dan pelepasan kerbau bule, yang kemudian mereka
berebut mengambil kotorannya, yang menurut keyakinan mereka bisa
menyebabkan larisnya dagangan dan membawa berkah di dalam kehidupan
mereka. Semoga Allah menjauhkan kita dari perbuatan syirik dan bid’ah
dan menunjukkan kita kepada jalan yang lurus.(Dr. Ahmad Zain An-Najah,
M.A/ Hidayatullah)