Ketika demokrasi yang kafir menyerang negeri kita dan disambut
gembira oleh para intelektual yang rusak pemikirannya lagi tak bermoral,
dan ketika demokrasi begitu dipuji oleh orang-orang yang sesat dan
takluk di hadapan peradaban Barat, justru Anda akan melihat bahwa para
ahli politik Eropa telah melancarkan kritik yang tajam terhadap
demokrasi, sebagaimana yang telah dilakukan sebelumnya oleh Plato. Di
bawah ini sebagian kritikan dari mereka.
Michael Stewart dalam bukunya Sistem-Sistem Pemerintahan Modern halaman 459 mengatakan :
”Kaum komunis bersikeras bahwa
hukum demokrasi yang tegak di atas dasar kebebasan berkreasi,
berpendapat, bertingkah laku dan berkepribadian, hanyalah sebuah prinsip
yang kotor dan rusak. Mereka berargumentasi bahwa demokrasi kapitalisme
telah mentolelir pengrusakan masyarakat --khususnya para pemudanya--
melalui film-film dan bioskop-bioskop serta penyebaran kemungkaran serta
kekejian.”
Benjamin Constan berkata :
”Demokrasi membawa kita menuju jalan yang menakutkan, yaitu kediktatoran parlemen.”
Barchmi berkata :
“Prinsip kedaulatan di tangan
rakyat sebenarnya tidak pernah ada, yaitu bahwa kedaulatan rakyat
dianggap selalu mewujudkan kebenaran dan keadilan. Paham ini mengklaim
bahwa kekuasaan menjadi legal dengan melihat sumbernya. Atas dasar ini
maka setiap aspirasi yang muncul dari kehendak rakyat, dianggap telah
memenuhi parameter kebenaran dan keadilan. Aspirasi rakyat itu juga
dianggap tak perlu diragukan dan diperdebatkan lagi dari segi ini
(memenuhi kebenaran dan keadilan-penerj.), bukan karena argumentasinya
kuat, melainkan karena ia muncul dari kehendak rakyat. Jadi prinsip
kedaulatan rakyat ini memberikan sifat maksum (mustahil keliru/dosa)
kepada rakyat. Oleh karena itu, prinsip kedaulatan rakyat akan membawa
rakyat (atau para wakilnya) berpeluang melahirkan kekuasaan absolut,
yaitu kesewenang-wenangan (kediktatoran). Karena apabila kehendak rakyat
dianggap kehendak yang legal hanya karena muncul dari rakyat, maka
dengan demikian dari segi legislasi undang-undang, rakyat akan dapat
berbuat apa saja. Jadi rakyat pada dasarnya tidak perlu lagi
mendatangkan justifikasi-justifikasi terhadap apa yang diinginkannya.”
Dougey berkata :
”Sesungguhnya teori kedaulatan
rakyat, meskipun ia adalah teori buatan, ia telah menjadi teori yang
layak didukung andaikata ia dapat menafsirkan hakikat-hakikat dan
fakta-fakta politik pada masa modern, dan andaikata hasil-hasilnya
praktisnya cukup baik. Akan tetapi kenyataannya ternyata bertolak
belakang dengan apa yang kita ramalkan.”
Orientalis Polandia bernama Boogena Giyanah Stchijfska mengatakan :
“Hukum-hukum positif buatan
manusia yang lahir dari konsensus-konsensus demokratis tidaklah bersifat
tetap. Teks-teksnya tidak membolehkan atau melarang sesuatu secara
mutlak, khususnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban
individu dan tanggung jawab pribadi. Semua itu didasarkan pada
kepentingan dan kebutuhan yang selalu berkembang. Padahal sudah
diketahui bahwa kepentingan dan kebutuhan itu selalu berganti dan
berubah sesuai dengan situasi dan kondisi. Bukan suatu hal yang aneh
dalam sejarah hukum-hukum positif buatan manusia, bahwa hukum yang
terakhir akan bertentangan dengan hukum yang pertama dalam
rincian-rinciannya. Demikian pula yang dibenci dapat berubah menjadi
disukai, yang dilarang dapat berubah menjadi boleh, dan yang ganjil
dapat berubah menjadi wajar.”
Ulama-ulama Islam yang
mengkritik demokrasi yang kafir antara lain adalah Dr. Fathi Ad Darini,
salah seorang ulama besar dalam fiqih siyasah. Dalam kitabnya
Khasha`ish At Tasyri’ Al Islami fi As Siyasah wa Al Hukm halaman 370 Dr.
Fathi Ad Darini berkata :
”Sesungguhnya sistem-sistem
demokrasi Barat, dalam substansinya hanyalah merupakan ungkapan dari
politik tersebut (sekularisme—penerj.) dan sudah diketahui bahwa
demokrasi –pada asalnya— bersifat individualistis dan etnosentris.
Bahwa demokrasi bersifat
individualistis, dikarenakan tujuan tertinggi demokrasi adalah individu
dan pengutamaan kepentingan individu di atas kepentingan masyarakat.
Sudah banyak koreksi-koreksi yang diberikan pada prinsip ini pada abad
XX M.
Bahwa demokrasi bersifat
etnosentris, dikarenakan demokrasi itu sendirilah yang telah melakukan
penjajahan politik dan ekonomi dalam berbagai bentuknya sejak abad XV M
sampai abad XX M. Dahulu Inggris misalnya mempunyai departemen yang
bernama Departemen Wilayah Jajahan dan mempunyai pula menteri yang
mengelola urusan-urusan penjajahan, yaitu Menteri Wilayah Jajahan. Hal
ini masih ada hingga beberapa waktu yang lalu.
Demikianlah. Politik ini didasarkan pada prinsip-prinsip yang ringkasnya adalah sebagai berikut :
1. Memisahkan politik dari morak dan agama, dan menegakkan politik di atas dasar prinsip-prinsip khusus.
2. Etnosentrisme, yaitu paham bahwa manusia Eropa adalah manusia yang terunggul.
3. Menjadikan sistem perwakilan sebagai cara dalam mengatur pemerintahan.
4. Menerapkan prinsip “kebebasan umum/masyarakat” dalam pengertiannya yang individualistis, tradisional, dan absolut.
5. Kebebasan ekonomi, sebagai cabang dari kecenderungan prinsip individualisme yang ekstrem.
6. Sesungguhnya demokrasi
politik adalah sistem yang membiarkan, bukan sistem yang meluruskan.
Artinya demokrasi mendekati mayoritas rakyat dengan membiarkan mereka
dalam keadaan apa adanya dan memperlakukan mereka mengikuti asas ini
atas nama kebebasan.”
Syaikh Abul A’la Al Maududi dalam kitabnya Al Islam wa Al Madaniyah Al Haditsah halaman 36 mengatakan :
“Telah saya katakan sebelumnya
bahwa pengertian demokrasi dalam peradaban moderen adalah memberikan
wewenang membuat hukum kepada mayoritas rakyat (hakimiyah al jamahir).
Artinya, individu-individu suatu negeri dapat secara bebas mewujudkan
kepentingan-kepentingan masyarakat dan bahwa undang-undang negeri ini
mengikuti hawa nafsu mereka. Demikian juga tujuan dari pembentukan
pemerintahan –dengan bantuan struktur organisasinya dan potensi-potensi
materilnya— bukanlah untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan
masyarakat, berkebalikan dengan apa yang seharusnya diwujudkan...
Maka dari itu, kita menentang
sistem sekuler yang nasionalistis-demokratis baik yang ditegakkan oleh
orang-orang Barat maupun Timur, muslim ataupun non muslim. Setiap kali
bencana ini turun dan di mana pun dia ada, maka kita akan mencoba untuk
menyadarkan hamba-hamba Allah akan bahayanya yang besar dan akan
mengajak mereka untuk memeranginya.”
Muhammad Yusuf Musa dalam kitabnya Nizham Al Hukm fi Al Islam halaman 245 berkata :
“Sesungguhnya sistem
pemerintahan Islam bukanlah sistem demokrasi, baik dalam pengertiannya
menurut kaum Yunani kuno maupun dalam pengertiannya yang moderen.”
Muhammad Asad dalam kitabnya Minhaj Al Islam fi Al Hukm halaman 52 mengatakan :
“Adalah merupakan penyesatan
yang sangat luar biasa, jika ada orang yang mencoba menerapkan
istilah-istilah yang tidak ada hubungannya dengan Islam pada pemikiran
dan peraturan/sistem Islam.”
Utsman Khalil, meskipun telah
menulis kitab yang diberinya judul Ad Dimuqrathiyah Al Islamiyah
(Demokrasi Islami), namun sebenarnya dia sendiri menentang demokrasi.
Utsman Khalil berkata dalam kitab Ad Dimuqrathiyah Al Islamiyah halaman 8
:
“Sesungguhnya sistem-sistem
demokrasi modern yang diimpor dari Barat, di negara-negara Barat sendiri
dianggap sebagai hal baru yang diada-adakan pada abad ke-20 ini.”
Jadi demokrasi adalah bid’ah dalam hal pemikiran dan politik yang diimpor dari Barat.
Di antara sedikit pemikir yang
membongkar perbedaan-perbedaan substansial antara demokrasi dan sistem
politik Islam adalah Anwar Al Jundi. Karena pentingnya, kami kutipkan
secara panjang lebar pendapatnya dalam kitabnya Sumum Al Istisyraq wa Al
Mustasyriqun fi Al Ulum Al Islamiyah halaman 96. Anwar Al Jundi
mengatakan :
“Pemikiran politik Islam berbeda dengan pemikiran demokrasi Barat dalam beberapa segi :
1. Pemikiran politik Islam lebih menekankan kesatuan aqidah daripada kesatuan wilayah.
2. Pemikiran politik Islam menekankan pandangan yang menghimpun secara sempurna aspek yang material dan yang spiritual.
3. Pemikiran politik Islam bersandar pada landasan akhlaq (moral). Jadi terdapat standar moral bagi setiap aktivitas politik.
4. Jika kedaulatan dalam
sistem demokrasi Barat terletak di tangan rakyat secara total, maka umat
Islam dalam pemikiran politik Islaminya mengaitkan kedaulatannya dengan
hukum-hukum Syariat Islam yang jauh dari hawa nafsu manusia.
5. Pemikiran politik Islam
tidak dapat dinamakan sebagai pemikiran demokratis, atau pemikiran
sosialistis-diktatoris. Sebab ia bertolak belakang dengan semua
pemikiran itu. Jadi pemikiran politik Islam sangat jauh dari sikap
ekstrem, memaksa, atau mendominasi.
6. Kedaulatan dalam sistem
politik Islam bukanlah di tangan umat --seperti sistem demokrasi-- juga
bukan di tangan kepala negara --seperti sistem kediktatoran--, melainkan
ada dalam penerapan Syariat Islam. Dengan demikian sistem politik Islam
sangat jauh berbeda dengan sistem apa pun yang telah menyimpang itu.
7. Pemikiran politik Islam
menetapkan bahwa masyarakat itu penting demi untuk kelestarian kehidupan
individu, dan bahwa masyarakat tidak mungkin berjalan dengan lurus
kecuali dengan adanya kekuasaan yang bertanggung untuk mewujudkan
kemajuan dan kestabilan.
8. Negara dalam pemikiran
politik Islam berdiri di atas dasar Undang-Undang Islami (Syariah) dan
bahwa segala perundang-undang yang digunakan untuk mengatur masyarakat
tidak akan dapat berlaku efektif kecuali bila mempunyai sifat sebagai
penerapan dari As Sunnah An Nabawiyah dan ijtihad-ijtihad Ahlul Halli
wal Aqdi. Negara harus mengawasi perilaku individu sebab negara
bertanggung jawab untuk mewujudkan kebahagiaan pihak lain serta
kebahagiaan dan kesatuan umat seluruhnya. Negara juga bertanggung jawab
menjaga ajaran-ajaran dan tujuan-tujuan Islami.
9. Islam tidak mengakui
adanya penguasa yang absolut. Sebaliknya yang diakui adalah penguasa
yang dapat dipercaya (amanah) sesuai pedoman :
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk (manusia) dalam maksiat kepada Al Khalik.”
Penguasa harus melepaskan diri
dari hawa nafsu, berpegang teguh dengan kebenaran dan keadilan. Umat
mempunyai kebebasan untuk memilih penguasa dan mengoreksinya jika
penguasa menyimpang dari kebenaran atau berbuat salah.
10. Pemikiran politik Islam
menetapkan adanya kebebasan berpikir dan kebebasan beragama. Maka setiap
orang --tentu harus tetap sesuai Syariat Islam— berhak untuk meyakini
pemikiran apa saja yang dikehendaki dan tak ada seorang pun yang dapat
memaksanya untuk meninggalkan pemikirannya itu.
11. Sistem konstitusi Islam
diambil dari sumber Al Qur`anul Karim dan As Sunnah An Nabawiyah dengan
tiga asas, yaitu keadilan, musyawarah, dan rahmah (kasih sayang). Dalam
hubungannya dengan undang-undang internasional, Al Qur`an Al Karim
dipandang sebagai hukum pertama yang menyerukan persamaan di antara umat
manusia.
12. Sesungguhnya keluwesan
Syariat Islam dan kemungkiannya untuk berkembang, harus tetap berpegang
pada dasar-dasar syariat (ushul syar’iyah), tujuan-tujuan syariah
(maqashid asy syariah), dan prinsip-prinsip umum syariah (kulliyatu asy
syariah). Jadi jelas ada perbedaan antara yang konstruktif dan yang
destruktif, antara perkembangan dengan penyesuaian (dengan hawa nafsu).
Tidak diragukan lagi bahwa ada bagian dari hukum-hukum Syariat Islam
yang tidak menerima perkembangan dan bahwa hukum yang telah ditetapkan
dalam nash tidak boleh ditinggalkan atau diganti penerapannya sampai
kapan pun. Jadi pemeliharaan terhadap kemaslahatan bukanlah perkara
yang tidak mempunyai batasan, melainkan harus tetap berpatokan dengan
dasar-dasar syariat (ushul syar’iyah). Secara umum dapat dikatakan bahwa
jika dalam suatu hukum terdapat nash, maka nash itu wajib diikuti. Jika
hukum itu berupa perkara yang diqiyaskan (pada suatu hukum), maka kita
terikat dengan qiyas itu. Tetapi jika tidak terdapat nash, kita
mempertimbangkan kemaslahatan yang ditunjukkan syara’ (mashalih asy
syar’i) dengan tetap berpegang pada prinsip memelihara lima tujuan
syariat yang dharuri (penting, harus) (dharurat al khams), menolak
kesulitan (daf’ul haraj), dan mewujudkan manfaat (tahqiq al manafi’).
13. Sistem politik Islam
berbeda dengan dengan dua sistem politik lainnya, yaitu kapitalisme dan
sosialisme. Sebab sistem kapitalisme membatasi tujuannya pada
pemeliharaan kebebasan individu dan hak-hak pribadi, sedang sistem
sosialisme membatasi tujuannya pada pencegahan perjuangan kelas dan
ekspolitasi kelas.
14. Pemikiran politik Islam
tidak memberikan hak/otoritas dalam kekuasaan kepada penguasa, tetapi
sebaliknya kekuasaan dianggap sebagai hak umat semata melalui syura yang
Islami oleh Ahlul Halli wal Aqdi. Islam tidak melarang perempuan untuk
turut berpendapat dalam masalah-masalah umum (publik). Namun Islam
mengharamkan budak untuk berperan serta dalam menyampaikan pendapat dan
bermusyawarah.
15. Pemikiran politik Islam
menolak istilah-istilah demokrasi, sosialisme, nasionalisme, dan tidak
mengkaitkannya dengan Islam. Islam memandang pemikiran-pemikiran itu
sebagai aliran-aliran pemikiran (mazhab) yang asing yang sangat jelas
perbedaannya dengan pemikiran Islam yang komprehensif. Ketika Barat
menggunakan istilah-istilah itu, yang hadir dalam benak mereka adalah
peristiwa-peristiwa sejarah Barat, situasi dan kondisi yang terjadi di
Barat, dan tantangan-tantangan yang dihadapi Barat.
16. Perbedaan sifat-sifat
khas antara negara Islam dan negara moderen akan mengungkapkan adanya
sistem unik yang khas bagi negara Islam, yang tidak terdapat dalam
sistem mana pun dari sistem-sistem pemerintahan moderen. Pilar utama
negara Islam adalah pengkaitan agama dengan negara
17. Perjanjian (kontrak)
politik Islam adalah kesepakatan politik antara penguasa dengan rakyat.
Perjanjian politik dalam Islam didasarkan pada pemikiran-pemikiran dasar
yang merdeka, yang tidak kalah pentingnya dengan pemikiran-pemikiran
politik moderen, yaitu yang terpenting adalah kemerdekaan untuk memilih
(dari pihak rakyat), dan kesepakatan dari pihak penguasa (atau
khalifah) untuk memegang kekuasaan sebagai wakil dari umat. Dari sini
diketahui bahwa teori perjanjian politik Islam sebenarnya mendahului
teori-teori J.J.Rousseau dan John Locke. (Syaikh Ali Belhaj)
Sumber: Suara-Islam)