DI ANTARA banyak perusahaan yang mengalami krisis karena tidak mampu mengikuti perkembangan zaman, kita dapat menyaksikan hal-hal menarik yang dilakukan oleh para pemimpinnya, termasuk bagaimana mereka bersikap kepada tim.
Suatu ketika, sebuah perusahaan yang sudah sangat mapan dan dipimpin oleh seorang perempuan muda, tengah memasuki masa-masa krisis. Masalah muncul dalam pengelolaan dana untuk membayar gaji karyawan. Demikian pula halnya banyak kendala terjadi dalam kaitan dengan para pemasok. Beberapa direktur perusahaan tersebut sangat mengkhawatirkan loyalitas para karyawan. Di media sosial, sering terbaca celoteh karyawan yang mencerminkan kurangnya respek kepada pimpinan yang juga pemilik perusahaan. Mereka merasa bahwa si pemimpin masih saja sibuk dengan diri sendiri dan dunia pergaulannya, sehingga terkesan tidak berempati pada karyawan, yang justru tengah merasa was-was akan kemungkinan terjadinya pemotongan anggaran dan penyicilan gaji. Akibatnya, tercipta atmosfer yang menegangkan di dalam perusahaan.
Pada saat yang sama, sang pemimpin masih terdengar melakukan berbagai perjalanan ke luar negeri. Jika sedang tidak bepergian, suaranya yang melengking tinggi terdengar di seluruh penjuru kantor, memaksa bawahan agar mengikuti kemauannya. Ia mengeluh karena hanya dirinyalah yang mencari solusi atas berbagai masalah. “Masa harus selalu saya sih?” demikian komentarnya. Bisa kita bayangkan betapa narsisistiknya pemimpin seperti ini.
Pemimpin lain yang perusahaannya bernasib sama mempunyai pendekatan yang berbeda. Ia lebih banyak melakukan urun rembuk dengan para bawahan. Ia mengingatkan para karyawan akan misi mulia perusahaan, sambil juga lebih bersikap terbuka dengan fakta-fakta keuangan perusahaan. Ia mau menerima masukan dan banyak bergaul dengan bawahan. Dengan demikian, tidak sulit baginya untuk mendapatkan informasi tentang keadaan lapangan, kondisi emosi karyawan, dan atmosfer perusahaan. Anak buah banyak yang terkesan dengan kebaikan sang pemimpin. Padahal ia sendiri tidak tidak setuju dengan anggapan tersebut. “Saya lebih setuju bila dijuluki sebagai pemimpin yang fair saja,” ujarnya.
Kita, sebagai pemimpin, kecil, atau besar, memang perlu menyeimbangkan concern kita tentang diri sendiri versus anggota tim kita, atau orang lain. Kepemimpinan sering ditafsirkan sebagai kesempatan untuk menonjolkan ego pemimpin. Tak sedikit pemimpin yang bersikap terlalu egosentris. Padahal, tidak dapat dimungkiri bahwa pemimpin seharusnya membawa kelompok menuju sasaran bersama dan menolong anggota kelompok melakukan tugasnya masing-masing. Tidak hanya itu, pemimpin perlu menjaga atmosfer dan motivasi anggota-anggotanya, terutama di masa-masa sulit.
Dunia sekarang dengan kompleksitasnya, menciptakan tantangan yang tidak mudah bagi para pemimpin. Sulit sekali menentukan model pemimpin yang pas, yang bisa menjadi resep manjur untuk menyikapi perubahan. Namun, jelas, seorang pemimpin perlu berpikir tidak hanya untuk dirinya sendiri. Sasarannya haruslah untuk mencapai tujuan bersama. Pemimpin boleh mengembangkan jati dirinya, dan menguatkan egonya, tetapi tetap berfokus pada pencapaian kelompok. Di sinilah kita bisa menyoroti aspek humanitas seorang pemimpin. Bukankah pemimpin perlu berkomitmen untuk melupakan kepentingannya dulu? Bukankah ia perlu memfokuskan diri pada kepentingan orang banyak?
Seorang SVP people operations di Google menyatakan, untuk merekrut pemimpin pemimpin muda, ia menekankan calon pemimpin yang berani mengalahkan kepentingan dirinya demi lingkungan sosial yang lebih luas. Mengapa? Dalam dunia yang semakin kompleks ini, tidak ada satu pun orang yang mempunyai satu jawaban bagi semua persoalan. Sementara itu, pemimpin dituntut untuk memecahkan masalah. Pemimpin yang egosentris, tidak mungkin bisa memperoleh hasil yang optimal. Seninya justru adalah memberi ruang kepada anggota tim untuk berkontribusi. Bahkan, suasana mengalah juga perlu dicontohkan. Seseorang yang sudah berkontribusi, mesti mundur dan berusaha mendengar pendapat individu lain. Jadi, pemimpin sekarang perlu memiliki intelectual humility sehingga suasana belajar, kontribusi, dan urun rembuk dapat tercipta.
Altruisme pemimpin
Pemimpin yang berhasil pada era saat ini adalah pemimpin yang bisa peka terhadap kritik dan berani mengakui kesalahan. Selain itu, pemimpin sekarang haruslah berorientasi pada pembelajaran. Tentunya keberanian melawan arus, menghadapi risiko, mengambil keputusan yang tidak tidak populer, dan menjaga perasaan tim haruslah menjadi perhatiannya. Penelitian mengatakan bahwa bawahan, yang atasannya bersikap manusiawi dan penuh komitmen ke anggota timnya, akan menjadi lebih inovatif, dan mampu memprediksi masa depan. Jadi dalam memimpin, perlu ada taktik untuk membangkitkan perilaku citizenship yang otomatis.
Bagaimana mempercepat prosesnya? Pemimpin perlu berani mengakui kesalahannya dan membahasnya agar individu dalam tim biasa belajar dari kesalahan dan tidak usah mengulanginya. Hasil sampingan dari situasi ini adalah anggota tim merasa diberlakukan secara manusia dan lebih mudah percaya pada pemimpin. Kultur yang inklusif ini juga bisa didapat dari pembiasaan dialog ketimbang debat. Melalui dialog selain akan didapat hasil rembuk yang berkualitas, setiap individu juga akan lebih happy. Kita perlu membangun suasana kondusif dan positif ini karena ketidakpastian dan kompleksitas hidup sudah terjadi. Oleh karena itu, inilah satu-satunya gaya kepemimpinan yang mempan di era ini. Kepemimpinan yang lebih humanistik.
Dimuat dalam KOMPAS, 17 September 2016 - experd