KITA semua sekarang ini merasakan bahwa upaya kerja yang sudah mati-matian pun sering membuahkan hasil yang tidak dramatis. Jadwal kerja terasa sangat padat, lalu lintas macet, dan cuaca tidak bersahabat. Kita pun menghadapi tekanan-tekanan yang lebih instan, peran media sosial, dan pendapat masyarakat yang tidak terbendung. Terkadang kita pun sampai lupa untuk sesekali merenung, apa sih yang sebenarnya terjadi pada diri kita?
Dengan kondisi seperti ini, masihkah kita menyediakan waktu untuk sejenak berpikir tentang diri kita sendiri? Apakah kita sadar tentang jati diri, kekuatan dan kelemahan, juga kebiasaan, kepribadian dan nilai-nilai yang diyakini,serta bagaimana perilaku kita berdampak kepada orang lain, tim, dan teman kerja? Apakah kita hanya mau mendengar sanjungan lalu lupa mengumpulkan kritik-kritik membangun? Atau, kita lebih suka berkaca pada kemenangan dan tidak belajar dari kegagalan?
Self awareness atau kesadaran diri sepertinya tidak terdengar begitu menarik dibandingkan dengan kemampuan-kemampuan lain yang lebih ”high-class” semisal strategic planning, leadership, risk management ataupun business acumen. Namun, kesadaran diri menjadi salah satu pilar penting dalam menunjang efektifitas seorang pemimpin. Elon Musk, bos Tesla mengatakan bahwa penting sekali melakukan proses questioning yourself secara terus-menerus dan berusaha mendapatkan feedback untuk melakukan sesuatu lebih baik lagi.
Kurangnya kesadaran diri membuat kita mengambil risiko yang tidak perlu diluar kemampuan kita, bertindak tanpa memikirkan dampaknya kepada orang lain atau tidak mau belajar karena merasa tidak ada sesuatu yang salah. Ketika kita bersikap defensif dalam menghadapi kritik, mengedepankan agresi dibandingkan diskusi sehat, begitu sigap dalam menemukan excuse untuk “menetralkan” kegagalan, atau melebih-lebihkan keberhasilan untuk menutupi rasa insecure, itu pertanda bahwa kita memerlukan obat kesadaran diri dalam kadar yang lebih banyak. Bukankah kita sering tidak habis pikir, dengan kenyataan kenyataan sekarang, ketika orang sudah telak-telak salah, masih tidak sekedar membumi, meminta maaf, mengundurkan diri, tetapi bahkan masih berusaha membela diri dan mengenyek orang lain. Dimana kesadaran diri orang ini?
Kesadaran diri yang cukup padahal bisa menjadikan kita lebih efektif dalam kepemimpinan, karena kita lebih tahan benturan, tekanan dan entakan psikis yang melanda. Ketika orang menyingkap blind spots, kitapun tidak melihatnya sebagai hal baru, tetapi justru siap, bahkan sudah menyulapnya menjadi kekuatan. Pemimpin dengan kesadaran tinggilah yang saat sekarang bisa tahan badai perubahan dan perkembangan pesat jaman.
Sang flamboyan dan risk taker Richard Branson melakukan proses evaluasi diri ini secara konstan. Ketika ia gagal memasuki pasar soda dengan Virgin Cola-nya di pertengahan 1990-an, Branson mengakui bahwa cara-cara lama yang ia gunakan dalam mencapai keberhasilan pada masa lalu ternyata tidak efektif di pasar yang baru dimasukinya, ketika terdapat kompetitor-kompetitor besar dan mapan di dalamnya. “We always learn from our failures, which makes us better at being self-aware”, kata Branson. Dibutuhkan tingkat kesadaran diri yang tinggi untuk mengakui dengan jiwa besar bahwa kita telah melakukan kesalahan untuk kemudian bergerak melakukan langkah perbaikan.
Siapa yang tak kenal dengan Barack Obama, dengan kemampuan orasinya yang luar biasa serta penampilannya yang tenang dan karismatik. Namun, pada masa kampanye 2008, ketika debatnya dengan Mitt Romney berlangsung tidak memuaskan, Obama mengevaluasi diri dan menemukan bahwa mindset lamanya yang cenderung ingin membedah dan menguliti sebuah argumen justru memperlambat responnya dalam berdebat. Gaya komunikasi seperti ini yang mendapat kritik dari para penasihatnya, dan Obama pun mendengarkan mereka. Disiplin dalam mengevaluasi diri memberikan kita wawasan dan semangat baru untuk melangkah ke depan. Ia memberi kita semangat untuk mau berubah dan meninggalkan zona nyaman yang sesungguhnya tidak nyaman lagi, secara kontinu.
Di samping peran rutin yang dijalankan untuk memimpin dan mengarahkan orang lain, saat ini, kita perlu menjadi tameng bagi tim untuk menghadapi benturan dan perubahan. Hanya dengan kekuatan kesadaran dirilah kaki kuat berpijak, sementara kita tetap mampu mengkomunikasikan arah ke anggota tim.
Sama halnya dengan bertanya pada diri sendiri, maka bertanya pada orang lain juga membawa manfaat yang besar terhadap pengenalan diri. Pendapat yang jujur, apa adanya akan memberikan lebih banyak manfaat dibandingkan jawaban yang hanya sekedar menyenangkan hati kita, sesuai keinginan kita, atau menjaga image kita tetap baik. Hal-hal yang sama yang kita tanyakan pada diri sendiri bisa juga kita tanyakan kepada orang lain, entah itu keluarga, sahabat, kolega, anak buah, atau customer. Di dalam organisasi terdapat pula instrumen semacam 360 degree assessment maupun kuesioner lainnya yang dapat digunakan untuk mengumpulkan umpan balik secara sistematis dan terstruktur.
Para konselor maupun coach profesional bisa membantu untuk membangun kesadaran diri yang lebih tinggi. Pembicaraan yang bersifat reflektif maupun alat-alat psikometri yang digunakan dapat memberikan wawasan-wawasan baru tentang diri kita sendiri, yang membuka peluang pengembangan yang tak terhingga.
Pada akhirnya mengenali diri sendiri adalah basis penguatan untuk merancang tujuan baru di masa mendatang. Melihat diri kita secara utuh, berupaya connecting the dots dari seluruh pengalaman yang kita lalui dan memberinya makna, akan memberikan kita semangat baru untuk melangkah ke depan.
Dimuat dalam KOMPAS, 2 Juli 2016 - experd
Dengan kondisi seperti ini, masihkah kita menyediakan waktu untuk sejenak berpikir tentang diri kita sendiri? Apakah kita sadar tentang jati diri, kekuatan dan kelemahan, juga kebiasaan, kepribadian dan nilai-nilai yang diyakini,serta bagaimana perilaku kita berdampak kepada orang lain, tim, dan teman kerja? Apakah kita hanya mau mendengar sanjungan lalu lupa mengumpulkan kritik-kritik membangun? Atau, kita lebih suka berkaca pada kemenangan dan tidak belajar dari kegagalan?
Self awareness atau kesadaran diri sepertinya tidak terdengar begitu menarik dibandingkan dengan kemampuan-kemampuan lain yang lebih ”high-class” semisal strategic planning, leadership, risk management ataupun business acumen. Namun, kesadaran diri menjadi salah satu pilar penting dalam menunjang efektifitas seorang pemimpin. Elon Musk, bos Tesla mengatakan bahwa penting sekali melakukan proses questioning yourself secara terus-menerus dan berusaha mendapatkan feedback untuk melakukan sesuatu lebih baik lagi.
Kurangnya kesadaran diri membuat kita mengambil risiko yang tidak perlu diluar kemampuan kita, bertindak tanpa memikirkan dampaknya kepada orang lain atau tidak mau belajar karena merasa tidak ada sesuatu yang salah. Ketika kita bersikap defensif dalam menghadapi kritik, mengedepankan agresi dibandingkan diskusi sehat, begitu sigap dalam menemukan excuse untuk “menetralkan” kegagalan, atau melebih-lebihkan keberhasilan untuk menutupi rasa insecure, itu pertanda bahwa kita memerlukan obat kesadaran diri dalam kadar yang lebih banyak. Bukankah kita sering tidak habis pikir, dengan kenyataan kenyataan sekarang, ketika orang sudah telak-telak salah, masih tidak sekedar membumi, meminta maaf, mengundurkan diri, tetapi bahkan masih berusaha membela diri dan mengenyek orang lain. Dimana kesadaran diri orang ini?
Kesadaran diri yang cukup padahal bisa menjadikan kita lebih efektif dalam kepemimpinan, karena kita lebih tahan benturan, tekanan dan entakan psikis yang melanda. Ketika orang menyingkap blind spots, kitapun tidak melihatnya sebagai hal baru, tetapi justru siap, bahkan sudah menyulapnya menjadi kekuatan. Pemimpin dengan kesadaran tinggilah yang saat sekarang bisa tahan badai perubahan dan perkembangan pesat jaman.
Sang flamboyan dan risk taker Richard Branson melakukan proses evaluasi diri ini secara konstan. Ketika ia gagal memasuki pasar soda dengan Virgin Cola-nya di pertengahan 1990-an, Branson mengakui bahwa cara-cara lama yang ia gunakan dalam mencapai keberhasilan pada masa lalu ternyata tidak efektif di pasar yang baru dimasukinya, ketika terdapat kompetitor-kompetitor besar dan mapan di dalamnya. “We always learn from our failures, which makes us better at being self-aware”, kata Branson. Dibutuhkan tingkat kesadaran diri yang tinggi untuk mengakui dengan jiwa besar bahwa kita telah melakukan kesalahan untuk kemudian bergerak melakukan langkah perbaikan.
Siapa yang tak kenal dengan Barack Obama, dengan kemampuan orasinya yang luar biasa serta penampilannya yang tenang dan karismatik. Namun, pada masa kampanye 2008, ketika debatnya dengan Mitt Romney berlangsung tidak memuaskan, Obama mengevaluasi diri dan menemukan bahwa mindset lamanya yang cenderung ingin membedah dan menguliti sebuah argumen justru memperlambat responnya dalam berdebat. Gaya komunikasi seperti ini yang mendapat kritik dari para penasihatnya, dan Obama pun mendengarkan mereka. Disiplin dalam mengevaluasi diri memberikan kita wawasan dan semangat baru untuk melangkah ke depan. Ia memberi kita semangat untuk mau berubah dan meninggalkan zona nyaman yang sesungguhnya tidak nyaman lagi, secara kontinu.
Di samping peran rutin yang dijalankan untuk memimpin dan mengarahkan orang lain, saat ini, kita perlu menjadi tameng bagi tim untuk menghadapi benturan dan perubahan. Hanya dengan kekuatan kesadaran dirilah kaki kuat berpijak, sementara kita tetap mampu mengkomunikasikan arah ke anggota tim.
Sama halnya dengan bertanya pada diri sendiri, maka bertanya pada orang lain juga membawa manfaat yang besar terhadap pengenalan diri. Pendapat yang jujur, apa adanya akan memberikan lebih banyak manfaat dibandingkan jawaban yang hanya sekedar menyenangkan hati kita, sesuai keinginan kita, atau menjaga image kita tetap baik. Hal-hal yang sama yang kita tanyakan pada diri sendiri bisa juga kita tanyakan kepada orang lain, entah itu keluarga, sahabat, kolega, anak buah, atau customer. Di dalam organisasi terdapat pula instrumen semacam 360 degree assessment maupun kuesioner lainnya yang dapat digunakan untuk mengumpulkan umpan balik secara sistematis dan terstruktur.
Para konselor maupun coach profesional bisa membantu untuk membangun kesadaran diri yang lebih tinggi. Pembicaraan yang bersifat reflektif maupun alat-alat psikometri yang digunakan dapat memberikan wawasan-wawasan baru tentang diri kita sendiri, yang membuka peluang pengembangan yang tak terhingga.
Pada akhirnya mengenali diri sendiri adalah basis penguatan untuk merancang tujuan baru di masa mendatang. Melihat diri kita secara utuh, berupaya connecting the dots dari seluruh pengalaman yang kita lalui dan memberinya makna, akan memberikan kita semangat baru untuk melangkah ke depan.
Dimuat dalam KOMPAS, 2 Juli 2016 - experd