☼ Ibu Tua Pemotong
Padi | contoh cerpen karangan Anak bangsa ☼
Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh saudara saudariku
sobat asa blog yang kucintai karena Allah subhanawataalla. Asa blog
sendiri ingin menjawab keinginan sahabat
untuk membaca cerpen cerpen buatan anak bangsa Indonesia,
Berikut cerpennya selamat membaca kawan . J
Semburat merah di ujung langit menyapa bumi di pagi yang
cerah. Padi di atas sepetak sawah yang kuning merunduk menanti para pemotong
yang berlari diatas pematang dari berbagai arah, seolah-olah berlomba untuk
tiba lebih dulu dari yang lainnya, ada pula yang telah datang sejak hari masih
gelap setelah mendengar dari mulut ke mulut bahwa sawah ini akan dipanen pagi
ini.
Terdengar aba-aba dari penyawah, orang-orang pun tidak menunda waktu langsung pada berloncatan ke atas sawah untuk menebaskan parangnya, dengan tebasan-tebasannya yang begitu cepat segenggam demi segenggam padi dari tangan kiri mereka berpindah tempat membangun gundukan-gundukan kecil.
Seorang Ibu Tua nampak dari kejauhan masih berlari kecil diatas pematang, tangan kirinya menggepit sebuah telombong, sebuah parang pun kelihatan berayun ditangan kanannya.
"Ini bagian saya!"
"Belah sini semuanya sudah ada yang punya, coba ke sebelah sana."
Para pemotong saling bersahutan berteriak ketika Ibu Tua itu tiba pada sudut sawah yang terdekat kepadanya. Dia pun berlari lagi menuju ke tepi-tepi yang lainnya dari sepetak sawah itu, meskipun masih banyak padi yang belum terpotong namun semua telah menjadi daerah teritori orang-orang yang datang lebih dulu dan tak tersisa bagian untuknya.
"Kamu sih kesiangan, coba ke sawah Haji Anu, katanya hari ini akan dipanen juga." Salah seorang pemotong berteriak menyuruhnya pergi.
"Tadi juga kesana dulu tapi sudah tidak kebagian." Jawab Ibu Tua dengan berteriak pula sambil menyimpan parang di telombongnya, kemudian berjalan dengan lunglai kearah dimana aku berdiri. Setelah dekat terlihat jelas wajahnya yang penuh kerutan tampak kecewa.
Dia meletakkan telombong dan membuka sepasang kaos kaki kumal yang membungkus tangannya, lalu mengusap peluh diwajahnya dengan ujung kemeja rombeng berlengan pendek yang melapisi kebaya tua yang dikenakannya. Aku hanya menatap dan tersenyum, ingin menyapa tapi tak tahu namanya.
"Kesana tidak kebagian, kesini juga sudah tidak kebagian." Keluhnya sambil duduk diatas pematang, melonjorkan kakinya yang telanjang.
"Dulu meskipun datang belakangan sepanjang ada yang tersisa untuk dipotong masih bisa ikutan, tidak ditandai bagian siapa-siapanya seperti ini." Dia melanjutkan keluhannya.
Tak enak rasanya berdiri sementara orang lain yang mengajak berbicara duduk dibawah, aku pun lalu berjongkok disebelahnya. Kasihan, tapi tak tahu harus bilang apa selain mencoba menghibur hatinya.
"Tidak apa-apa Nek, mendingan kita menonton saja, nanti kalau sudah selesai saya kasih deh."
"Aduh... terima kasih banyak Neng, nyamperin sini bukan mau minta dikasihani koq, cuma mau duduk saja dulu, tapi kalau Neng mau ngasih ya terima kasih." Jawabnya dengan mata berbinar, wajahnya yang penuh dihiasi kerut merut pun mengembangkan senyum.
Kami menyaksikan orang menuai padi yang suasananya semakin ramai dan gaduh dengan saling berteriak untuk mengobrol, bercanda dan bergossip, sekali-kali diselingi juga oleh tawa. Pantaslah sepupuku bila musim panen sering mencuri-curi dari suaminya untuk ikut menuai padi ke sawah orang meskipun ahirnya setelah pulang kerumah kadang menimbulkan pertengkaran, bagi dia katanya ikut menuai padi sudah jadi hobi yang memberikan kegembiraan tersendiri bukan karena butuh upahnya yang justru suka dikasihkan ke orang lain agar tidak ketahuan oleh suami.
Lain halnya dengan Ibu Tua ini, dia bercerita bahwa kalau tidak kebagian jatah untuk ikut menuai padi maka dia tak akan punya beras untuk dimasak esok hari karena itulah mata pencaharian dia satu-satunya. Apa Ibu Tua ini tidak punya anak yang bisa meringankan beban hidupnya? Ah kalaupun dia punya anak, mungkin anaknya pun sama miskinnya sehingga dalam usia lanjut ini dia sendiri masih harus berlomba dengan orang lain untuk menuai padi. Aku bicara sendiri dalam hati.
Matahari telah meninggi, sawah dihadapanku sudah merata, yang tertinggal hanya pangkal-pangkal tanaman padi. Orang-orang sudah mengemasi padi yang telah mereka potong dan lepaskan dari tangkainya. Satu demi satu mereka pergi membawa butiran padi di telombongnya masing-masing untuk disetorkan pada penyawah dan menerima satu pertujuh bagian dari padi itu sebagai upahnya.
Aku berjalan kearah mereka pergi dengan diikuti oleh Ibu Tua, terbersit ide di kepala, selama ini di Indonesia telah banyak program-program anak-asuh untuk membantu anak-anak dari keluarga yang tidak mampu, begitu pula program-program bea siswa. Tapi belum terdengar ada program orang tua asuh untuk membantu orang-orang lanjut usia yang miskin agar tidak terlalu berat beban hidupnya demi sesuap nasi sebagai penyambung hidup hingga ajal tiba.
Wickford, 4 Maret 2004
Terdengar aba-aba dari penyawah, orang-orang pun tidak menunda waktu langsung pada berloncatan ke atas sawah untuk menebaskan parangnya, dengan tebasan-tebasannya yang begitu cepat segenggam demi segenggam padi dari tangan kiri mereka berpindah tempat membangun gundukan-gundukan kecil.
Seorang Ibu Tua nampak dari kejauhan masih berlari kecil diatas pematang, tangan kirinya menggepit sebuah telombong, sebuah parang pun kelihatan berayun ditangan kanannya.
"Ini bagian saya!"
"Belah sini semuanya sudah ada yang punya, coba ke sebelah sana."
Para pemotong saling bersahutan berteriak ketika Ibu Tua itu tiba pada sudut sawah yang terdekat kepadanya. Dia pun berlari lagi menuju ke tepi-tepi yang lainnya dari sepetak sawah itu, meskipun masih banyak padi yang belum terpotong namun semua telah menjadi daerah teritori orang-orang yang datang lebih dulu dan tak tersisa bagian untuknya.
"Kamu sih kesiangan, coba ke sawah Haji Anu, katanya hari ini akan dipanen juga." Salah seorang pemotong berteriak menyuruhnya pergi.
"Tadi juga kesana dulu tapi sudah tidak kebagian." Jawab Ibu Tua dengan berteriak pula sambil menyimpan parang di telombongnya, kemudian berjalan dengan lunglai kearah dimana aku berdiri. Setelah dekat terlihat jelas wajahnya yang penuh kerutan tampak kecewa.
Dia meletakkan telombong dan membuka sepasang kaos kaki kumal yang membungkus tangannya, lalu mengusap peluh diwajahnya dengan ujung kemeja rombeng berlengan pendek yang melapisi kebaya tua yang dikenakannya. Aku hanya menatap dan tersenyum, ingin menyapa tapi tak tahu namanya.
"Kesana tidak kebagian, kesini juga sudah tidak kebagian." Keluhnya sambil duduk diatas pematang, melonjorkan kakinya yang telanjang.
"Dulu meskipun datang belakangan sepanjang ada yang tersisa untuk dipotong masih bisa ikutan, tidak ditandai bagian siapa-siapanya seperti ini." Dia melanjutkan keluhannya.
Tak enak rasanya berdiri sementara orang lain yang mengajak berbicara duduk dibawah, aku pun lalu berjongkok disebelahnya. Kasihan, tapi tak tahu harus bilang apa selain mencoba menghibur hatinya.
"Tidak apa-apa Nek, mendingan kita menonton saja, nanti kalau sudah selesai saya kasih deh."
"Aduh... terima kasih banyak Neng, nyamperin sini bukan mau minta dikasihani koq, cuma mau duduk saja dulu, tapi kalau Neng mau ngasih ya terima kasih." Jawabnya dengan mata berbinar, wajahnya yang penuh dihiasi kerut merut pun mengembangkan senyum.
Kami menyaksikan orang menuai padi yang suasananya semakin ramai dan gaduh dengan saling berteriak untuk mengobrol, bercanda dan bergossip, sekali-kali diselingi juga oleh tawa. Pantaslah sepupuku bila musim panen sering mencuri-curi dari suaminya untuk ikut menuai padi ke sawah orang meskipun ahirnya setelah pulang kerumah kadang menimbulkan pertengkaran, bagi dia katanya ikut menuai padi sudah jadi hobi yang memberikan kegembiraan tersendiri bukan karena butuh upahnya yang justru suka dikasihkan ke orang lain agar tidak ketahuan oleh suami.
Lain halnya dengan Ibu Tua ini, dia bercerita bahwa kalau tidak kebagian jatah untuk ikut menuai padi maka dia tak akan punya beras untuk dimasak esok hari karena itulah mata pencaharian dia satu-satunya. Apa Ibu Tua ini tidak punya anak yang bisa meringankan beban hidupnya? Ah kalaupun dia punya anak, mungkin anaknya pun sama miskinnya sehingga dalam usia lanjut ini dia sendiri masih harus berlomba dengan orang lain untuk menuai padi. Aku bicara sendiri dalam hati.
Matahari telah meninggi, sawah dihadapanku sudah merata, yang tertinggal hanya pangkal-pangkal tanaman padi. Orang-orang sudah mengemasi padi yang telah mereka potong dan lepaskan dari tangkainya. Satu demi satu mereka pergi membawa butiran padi di telombongnya masing-masing untuk disetorkan pada penyawah dan menerima satu pertujuh bagian dari padi itu sebagai upahnya.
Aku berjalan kearah mereka pergi dengan diikuti oleh Ibu Tua, terbersit ide di kepala, selama ini di Indonesia telah banyak program-program anak-asuh untuk membantu anak-anak dari keluarga yang tidak mampu, begitu pula program-program bea siswa. Tapi belum terdengar ada program orang tua asuh untuk membantu orang-orang lanjut usia yang miskin agar tidak terlalu berat beban hidupnya demi sesuap nasi sebagai penyambung hidup hingga ajal tiba.
Wickford, 4 Maret 2004
Sumber inspirasi : kota santri [dot] com , Republika [dot] com ,
serta beberapa majalah dan buku kumpulan cerpen