☼ Ketika malaikat
Izrail ingin Bertandang | contoh cerpen islami ☼
Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh saudara saudariku
sobat asa blog yang kucintai karena Allah subhanawataalla. Asa blog
sendiri ingin menjawab keinginan sahabat
untuk membaca cerpen cerpen buatan anak bangsa Indonesia,
Berikut cerpennya selamat membaca kawan . J
Pagi agak mendung hari ini, sisa-sisa hujan semalam masih
basahi bumi. Mentari masih malu-malu, mungkin enggan karena tak punya jaket.
Tapi tidak deng an kicau burung kecil, meski tak seceria payung bunga-bunga
aneka warna. Titik-titik air makin merapat. Taman
rumah sakit yang berumput hijau kini laksana kolam ikan.
"Hei mau ngambil air panas gak?" tiba-tiba ada suara membuyarkan lamunanku.
"Gak, ah. Kemarin termosku pecah!"
"Yaa, termos pecah aja nangisnya sampe diwakili langit. Kasian tuh yang mau besuk pada kehujanan"
"Hehe. Hamba beriman sih, jadi aja langitpun turut merasakan duka"
"Akurlah, saya keruang gizi dulu ya !" ungkapnya sambil berlalu
Yang menyapaku tadi itu, Mas Kun. Baru kukenal sepuluh hari yang lalu. Aku mengenalnya karena kami sama-sama menunggui orang sakit dirumah sakit ini. aku menunggui adikku dan ia menunggui ibunya. Perawakannya tinggi, rambutnya bergelombang. Aku masih ingat kejadian semalam. Kami menenangkan dua orang histerian. Pasalnya, putri terkasih mereka harus menghadap Illahi diusianya yang kedelapan belas. Liver akut, katanya. Miris hatiku jika kuingat kembali kejadiannya.
Malam tepat pukul sebelas, aku baru saja hendak tidur. Tadi dikantor, banyak sekali naskah masuk yang harus kuedit dan disunting ulang. Belum lagi setumpuk terjemahan sosial politik yang kadang bikin kepalaku puyeng. Kudengar suara riuh memasuki ruangan. Tepat didepan tempat tidur adikku, suara riuh itu berpusat. Seorang gadis muda dalam keadaan kritis sedang ditangani dokter. Ah, aku baru ingat itu kan yang kulihat diruang emergensi tadi. Aku melihatnya, saat jalan-jalan didepan koridor rumah sakit sambil menunggu ibu datang. Seorang ibu muda dan seorang wanita tua. Kedua matanya sembab, sirat gelisah terpancar diwajah mereka. Kudekati ibu muda itu. Kugamit tangannya agar sedikit tenang.
"Sudah lama sakitnya, Bu" tanyaku pada wanita yang mengaku ibunya si gadis.
"tepatnya saya tidak tahu, tahu-tahu sudah parah begini" jawabnya
"Sudah dibawa kedokter mana ?"
"Anaknya tidak mau, tapi karena kami khawatir jadi kami bawa kesini"
"Lalu apa kata dokter?" aku sedikit menyelidik.
"Katanya liver, tapi sudah infeksi ke otak, saya juga tidak mengerti apa maksudnya!"
Aku menghela nafas panjang, ah aku tidak mengerti. Tapi melihat dari kondisinya yang begitu mengkhawatirkan, aku yakin anak gadis ini sudah lama menderita penyakit ini. kulihat dokter dan Ko-As itu begitu sibuk. Tiba-tiba tubuh anak itu mengejang. Suara tangis mulai keluar dari dua wanita disampingku diiringi istighfar yang terpatah-patah dengan seribu khawatir. Hingga akhirnya dokter dan Ko-As itu saling berpandangan. Menggelengkan kepala. Dua wanita itu tetap berdiri disampingku, tak menyadari apa yang sebenarnya baru terjadi, lalu kukatakan pada mereka jika anak gadis telah pergi. Suara jerit tangis pun keluar dari kedua wanita itu dan hampir memecahkan dua telingaku. Keduanya bergegas memeluk jenazah yang masih baru itu. Aku segera menariknya karena itu berbahaya bagi mereka, karena saat itulah kuman penyakit keluar untuk mencari sarang yang baru. Keduanya silih berganti pingsan dan menangis. Aku merasa sedikit putus asa menenangkan mereka. Beruntung ada Mas Kun. Ia mencoba membantuku untuk menenangkan kedua wanita itu.
"Berhadapan dengan realita lebih menegur kita buat sadar, ya Ci!" Mas Kun mencoba mengawali pembicaraan setelah kami lelah membantu orang-orang terkena musibah tadi.
"maksudnya?"
"Kalau didunia ini banyak yang butuh perhatian kita!"
"Jangan ge-er ah…"
"Dua orang tadi itu satu bukti nyata lho Ci!"
"Oh, tapi bisa juga…" Kudorong kursi roda melintasi ruang jenazah. Yang tadi kupakai untuk mengantar ibu tua yang tak henti pingsan dan meraung-raung menangisi anak gadisnya. Tiba-tiba diruang jenazah yang kulewati, kulihat sesosok mayat laki-laki terbaring. Ia belum begitu tua. Kulihat ada luka ditubuhnya yang dibalut perban. Bau amis dari air bercampur darah didalam ember mendorong mual diperutku. Aku sedikit bergidik. Akhirnya kurambah juga ruang jenazah ini, pikirku.
"Hei, hobi ngelamun apa hobi nungguin hujan?" Ah, dia lagi. Ingatanku tentang kisah semalam yang berakhir di pukul tiga pagi pun membuyar. Aku hanya tersenyum. .
"Mikirin apaan sih?" Tanya Mas Kun yang berdiri disampingku
"Kejadian semalam !"
"Oh, orang mati itu kan wajar"
"Iya, Tapi aku baru pertama kali lho melihat kejadian seperti semalam, Aku juga berpikir, gimana ya kalau terjadi padaku !"
"gimana apanya?" Ia balik bertanya
"Andai terjadi sama orang yang kamu sayangi?" tanyaku lagi
"Namanya juga takdir !"
"Gak, sedih?"
"Sedikit"
Aku diam. Dimemoriku telah tercatat kata 'sedikit'. Seperti apakah tafsirannya aku tidak tahu. Aku teringat lagi dua orang wanita tadi yang berdoa dengan harap cemas saat tim dokter mencoba menyelamatkan anaknya dari maut. Masih kuingat bagaimana gadis muda itu diguyur dengan cairan yang entah apa namanya melalui selang infus. Tapi tetap saja, alam sadar gadis itu tidak kembali. Dan mungkin memang tempat terbaiknya adalah disisi Rabbnya.
"Yaa ngelamun lagi!. Eh, jadi pulang hari ini ya?"
"Iya. Biil-nya lagi diurus bunda"
"Saya juga mau pulang, besok. Doain ya biar mudah urusannya!"
"Insya Allah, Aku pikir mas Kun masih betah disini ?"
"Enak aja !"
Hari mulai diterangi matahari dzuhur. Alhamdulillah Bunda pun menyelesaikan administrasi dengan baik. Aku pamit pada semua pasien dan penunggunya yang kadung jadi temanku. Tak lupa kusapa ibunya Mas Kun yang kulihat lebih segar dari hari-hari sebelumnya. Lalu kujabat tangan kurus itu sebelum akhirnya kutinggalkan ruangan tersebut. Mas Kun mengantar kami hingga halaman rumah sakit.
####
Pagi ini telepon berdring pukul sepuluh. Aku baru saja selesai mandi. "Halo Assalamulaikum, Mbak Uci nya ada ?" suara diseberang sana mencariku.
"Ya, saya sendiri, siapa ini?"
"Mbak, Ibunya Mas Kun meninggal tadi pagi". Kabar pemilik suara itu, tanpa memberitahu identitasnya.
"Innalilahi wainnailaihi rojiun , lalu bagaimana dengan Mas Kun ?"
"entahlah mbak, saat ini Mas Kun hanya terdiam sambil memegangi tangan ibunya".
Aku terduduk, tiba-tiba saja aku teringat kembali dengan kata-kata Mas Kun tentang kata 'Sedikit'. Aku ingin sekali tahu bagaimana penafsirannya. Dengan diamkah?. Entahlah…., yang ada dalam pikirku adalah, Ibu Mas Kun sekarang telah dipanggil Pemiliknya. Tinggal giliranku suatu saat nanti. aku tidak tahu kapan Izroil bertandang menjemputku?
"Hei mau ngambil air panas gak?" tiba-tiba ada suara membuyarkan lamunanku.
"Gak, ah. Kemarin termosku pecah!"
"Yaa, termos pecah aja nangisnya sampe diwakili langit. Kasian tuh yang mau besuk pada kehujanan"
"Hehe. Hamba beriman sih, jadi aja langitpun turut merasakan duka"
"Akurlah, saya keruang gizi dulu ya !" ungkapnya sambil berlalu
Yang menyapaku tadi itu, Mas Kun. Baru kukenal sepuluh hari yang lalu. Aku mengenalnya karena kami sama-sama menunggui orang sakit dirumah sakit ini. aku menunggui adikku dan ia menunggui ibunya. Perawakannya tinggi, rambutnya bergelombang. Aku masih ingat kejadian semalam. Kami menenangkan dua orang histerian. Pasalnya, putri terkasih mereka harus menghadap Illahi diusianya yang kedelapan belas. Liver akut, katanya. Miris hatiku jika kuingat kembali kejadiannya.
Malam tepat pukul sebelas, aku baru saja hendak tidur. Tadi dikantor, banyak sekali naskah masuk yang harus kuedit dan disunting ulang. Belum lagi setumpuk terjemahan sosial politik yang kadang bikin kepalaku puyeng. Kudengar suara riuh memasuki ruangan. Tepat didepan tempat tidur adikku, suara riuh itu berpusat. Seorang gadis muda dalam keadaan kritis sedang ditangani dokter. Ah, aku baru ingat itu kan yang kulihat diruang emergensi tadi. Aku melihatnya, saat jalan-jalan didepan koridor rumah sakit sambil menunggu ibu datang. Seorang ibu muda dan seorang wanita tua. Kedua matanya sembab, sirat gelisah terpancar diwajah mereka. Kudekati ibu muda itu. Kugamit tangannya agar sedikit tenang.
"Sudah lama sakitnya, Bu" tanyaku pada wanita yang mengaku ibunya si gadis.
"tepatnya saya tidak tahu, tahu-tahu sudah parah begini" jawabnya
"Sudah dibawa kedokter mana ?"
"Anaknya tidak mau, tapi karena kami khawatir jadi kami bawa kesini"
"Lalu apa kata dokter?" aku sedikit menyelidik.
"Katanya liver, tapi sudah infeksi ke otak, saya juga tidak mengerti apa maksudnya!"
Aku menghela nafas panjang, ah aku tidak mengerti. Tapi melihat dari kondisinya yang begitu mengkhawatirkan, aku yakin anak gadis ini sudah lama menderita penyakit ini. kulihat dokter dan Ko-As itu begitu sibuk. Tiba-tiba tubuh anak itu mengejang. Suara tangis mulai keluar dari dua wanita disampingku diiringi istighfar yang terpatah-patah dengan seribu khawatir. Hingga akhirnya dokter dan Ko-As itu saling berpandangan. Menggelengkan kepala. Dua wanita itu tetap berdiri disampingku, tak menyadari apa yang sebenarnya baru terjadi, lalu kukatakan pada mereka jika anak gadis telah pergi. Suara jerit tangis pun keluar dari kedua wanita itu dan hampir memecahkan dua telingaku. Keduanya bergegas memeluk jenazah yang masih baru itu. Aku segera menariknya karena itu berbahaya bagi mereka, karena saat itulah kuman penyakit keluar untuk mencari sarang yang baru. Keduanya silih berganti pingsan dan menangis. Aku merasa sedikit putus asa menenangkan mereka. Beruntung ada Mas Kun. Ia mencoba membantuku untuk menenangkan kedua wanita itu.
"Berhadapan dengan realita lebih menegur kita buat sadar, ya Ci!" Mas Kun mencoba mengawali pembicaraan setelah kami lelah membantu orang-orang terkena musibah tadi.
"maksudnya?"
"Kalau didunia ini banyak yang butuh perhatian kita!"
"Jangan ge-er ah…"
"Dua orang tadi itu satu bukti nyata lho Ci!"
"Oh, tapi bisa juga…" Kudorong kursi roda melintasi ruang jenazah. Yang tadi kupakai untuk mengantar ibu tua yang tak henti pingsan dan meraung-raung menangisi anak gadisnya. Tiba-tiba diruang jenazah yang kulewati, kulihat sesosok mayat laki-laki terbaring. Ia belum begitu tua. Kulihat ada luka ditubuhnya yang dibalut perban. Bau amis dari air bercampur darah didalam ember mendorong mual diperutku. Aku sedikit bergidik. Akhirnya kurambah juga ruang jenazah ini, pikirku.
"Hei, hobi ngelamun apa hobi nungguin hujan?" Ah, dia lagi. Ingatanku tentang kisah semalam yang berakhir di pukul tiga pagi pun membuyar. Aku hanya tersenyum. .
"Mikirin apaan sih?" Tanya Mas Kun yang berdiri disampingku
"Kejadian semalam !"
"Oh, orang mati itu kan wajar"
"Iya, Tapi aku baru pertama kali lho melihat kejadian seperti semalam, Aku juga berpikir, gimana ya kalau terjadi padaku !"
"gimana apanya?" Ia balik bertanya
"Andai terjadi sama orang yang kamu sayangi?" tanyaku lagi
"Namanya juga takdir !"
"Gak, sedih?"
"Sedikit"
Aku diam. Dimemoriku telah tercatat kata 'sedikit'. Seperti apakah tafsirannya aku tidak tahu. Aku teringat lagi dua orang wanita tadi yang berdoa dengan harap cemas saat tim dokter mencoba menyelamatkan anaknya dari maut. Masih kuingat bagaimana gadis muda itu diguyur dengan cairan yang entah apa namanya melalui selang infus. Tapi tetap saja, alam sadar gadis itu tidak kembali. Dan mungkin memang tempat terbaiknya adalah disisi Rabbnya.
"Yaa ngelamun lagi!. Eh, jadi pulang hari ini ya?"
"Iya. Biil-nya lagi diurus bunda"
"Saya juga mau pulang, besok. Doain ya biar mudah urusannya!"
"Insya Allah, Aku pikir mas Kun masih betah disini ?"
"Enak aja !"
Hari mulai diterangi matahari dzuhur. Alhamdulillah Bunda pun menyelesaikan administrasi dengan baik. Aku pamit pada semua pasien dan penunggunya yang kadung jadi temanku. Tak lupa kusapa ibunya Mas Kun yang kulihat lebih segar dari hari-hari sebelumnya. Lalu kujabat tangan kurus itu sebelum akhirnya kutinggalkan ruangan tersebut. Mas Kun mengantar kami hingga halaman rumah sakit.
####
Pagi ini telepon berdring pukul sepuluh. Aku baru saja selesai mandi. "Halo Assalamulaikum, Mbak Uci nya ada ?" suara diseberang sana mencariku.
"Ya, saya sendiri, siapa ini?"
"Mbak, Ibunya Mas Kun meninggal tadi pagi". Kabar pemilik suara itu, tanpa memberitahu identitasnya.
"Innalilahi wainnailaihi rojiun , lalu bagaimana dengan Mas Kun ?"
"entahlah mbak, saat ini Mas Kun hanya terdiam sambil memegangi tangan ibunya".
Aku terduduk, tiba-tiba saja aku teringat kembali dengan kata-kata Mas Kun tentang kata 'Sedikit'. Aku ingin sekali tahu bagaimana penafsirannya. Dengan diamkah?. Entahlah…., yang ada dalam pikirku adalah, Ibu Mas Kun sekarang telah dipanggil Pemiliknya. Tinggal giliranku suatu saat nanti. aku tidak tahu kapan Izroil bertandang menjemputku?
Sumber inspirasi : kota santri [dot] com ,
Republika [dot] com , serta beberapa majalah dan buku kumpulan cerpen