☼ Kibere | contoh cerpen karangan Anak bangsa ☼
Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh saudara saudariku
sobat asa blog yang kucintai karena Allah subhanawataalla. Asa blog
sendiri ingin menjawab keinginan sahabat
untuk membaca cerpen cerpen buatan anak bangsa Indonesia,
Berikut cerpennya selamat membaca kawan . J
Kibere, Yono, Tigor dan Maming adalah empat sahabat. Mereka
duduk di kelas lima,
SD Komoro, Dili.
Kibere asli dari Timor-Timur. Ia kurus dan hitam. Bibirnya tebal. Rambutnya keriting-keriting kecil. Ia hampir sama dengan semua anak di sekolah ini. Hanya Kibere lebih manis, sebab ia suka tersenyum.
Pagi-pagi, sebelum pergi sekolah, Kibere selalu membantu Ibunya. Mereka mendorong gerobak sayur, ke Pasar Komoro. Kibere memanggil ibunya Amaa. Amaa berjualan karena ayah Kibere sudah tiada.
Tigor, Yono dan Maming sering disebut Kibere sebagai anak pendatang. Tigor berasal dari Sumatera Utara. Wajahnya persegi, rambutnya hitam lurus. Di antara yang lain, tubuh dan suaranya paling besar.
Yono anak Jawa Tengah. Desa asalnya tak jauh dari Candi Borobudur yang indah itu. Berbeda dengan Tigor, badan Yono lebih kecil. Ia juga hitam manis. Ia suka membawa burung perkutut kesayangannya ke sekolah. Burung yang masih kecil itu ditaruh di dalam sangkar mungil. Dititipkan pada penjaga sekolah, bila ia akan masuk kelas.
Sedang Maming, sekilas mirip Tigor. Tetapi ia lebih putih. Rambutnya berombak. Ia berasal dari Sulawesi. Pernah Kibere, Yono dan Tigor main ke rumah Maming. Ibunya menyediakan mereka makan siang dengan Coto Makasar. Enak sekali.
Hampir setiap pulang sekolah, mereka bermain bola di tanah lapang. Tanah lapang itu tepat berada di samping SD Komoro. Kibere, Yono, Maming dan Tigor bermain sampai keringatan. Sering pula mereka kehujanan. Tetapi dengan riang, mereka menendang bola ke sana ke mari. Kadang mereka terpeleset di tanah becek. Baju dan badan mereka menjadi kotor. Juga berlumpur. Mereka tertawa bersama-sama.
Suatu hari, Kibere, Yono, Maming dan Tigor pernah berjanji. Kalau sudah besar, ingin menjadi tim sepak bola Indonesia yang hebat.
Tetapi hari ini berbeda.
Sepulang sekolah, Kibere, Tigor, Yono dan Maming hanya duduk di tepi lapangan. Mereka saling diam. Merasakan hembusan angin, di Kota Dili yang panas ini.
"Jadi kalian akan pergi?" suara Kibere pelan.
Tigor, Yono dan Maming saling pandang.
"Saya belum tahu. Tadinya orangtua saya ingin tetap di sini. Tapi sekarang banyak orang jahat. Tahun kemarin, mereka membakar warung makan Bapak," suara Yono sedih. "Terus, bulan lalu mereka membakar rumah kami. Sampai kami pindah ke tempat Pak RT. Bapak sudah ndak tahan. Katanya sekarang zaman bahaya," tambah Yono.
Maming menggaruk-garuk kepalanya."Iya. Bapak dan Ibu saya mau kembali ke Sulawesi. Padahal, di Sulawesi sudah tak ada saudara kami. Mereka takut. Soalnya di sini banyak orang bawa senjata tajam…."
"Kamu, Gor?" tanya Kibere. Suaranya bergetar.
"Itu yang tak kumengerti. Papi dan Mami ingin pergi dari sini secepatnya. Maunya ke Medan atau Jakarta. Padahal tak ada uang kami sekarang," kata Tigor.
Kibere mengangkat kepalanya,memandang langit biru. Menahan matanya yang berkaca-kaca.
Diam. Keempat anak itu sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Sementara sekolah makin sepi. Para guru dan murid-murid yang lain, telah pulang sejak tadi.
Kibere ingat beberapa tahun lalu. Saat pertama mereka bertemu. Tigor, Yono dan Maming sangat ramah. Mereka suka olahraga, juga membaca.
Maming selalu meminjamkan Kibere buku-buku cerita. Cerita Tintin, Mogly Si Anak Rimba dan yang lainnya. Juga buku-buku pelajaran dan buku prakarya.
Yono sering membungkuskan Kibere makanan Jawa. Ada semur kentang, tempe mendoan. Kadang namanya lebih aneh lagi. Seperti gudeg yang manis itu. Kibere dan adik-adiknya senang, karena berarti tak usah makan jagung kering.
Dan Tigor? Ia memberikan baju pada Kibere, karena sering melihat Kibere bertelanjang dada di rumah.
"Terimakasih. Obrigado," kata Kibere waktu itu. Sungguh. Ia tidak mengharapkan semua buku, makanan dan baju. Hanya persahabatan. Persahabatan yang indah dan tulus.
Tigor, Yono dan Maming masih duduk termenung.
Seperti Kibere, mereka pun ingat saat pertama kali bersekolah di sini. Tidak semua anak menyukai mereka. Ada yang mengajak berkelahi atau meminta uang. Yono pernah dipukul sampai giginya patah. Maming pernah ditinju hingga berdarah.
Kibere-lah yang selalu menolong. Anak-anak nakal itu tidak berani pada Kibere. Sebab selain baik budi, ia jago bela diri. Temannya pun banyak.
"Terimakasih, Kibere!"
"Tak perlu. Bukankah kita teman?" kata Kibere. Kadang diucapkannya itu dalam bahasa Tetun. Bahasa yang banyak digunakan orang di Timor-Timur.
Ah, Kini Kibere menatap lapangan bola yang sepi. Diliriknya ketiga sahabatnya. Ia ingin ketiganya di sini sampai mereka tumbuh besar. Bersama membangun Timor-Timur tercinta.
Tetapi bagaimana?
Kibere menarik napas panjang. Seakan-akan dadanya sesak.
Sekarang banyak orang berbicara tentang Timor-Timur. Seperti mereka saja yang paling tahu. Mereka turun ke jalan-jalan. Menuntut ini, menuntut itu. Terkadang ribut. Rusuh.
Sungguh, Kibere tidak terlalu mengerti. Juga saat Guru Da Silva bertanya, "Apa kalian suka jadi orang Indonesia?"
Beberapa teman Kibere mengangguk. Ada juga yang menggeleng atau diam saja. Dan Kibere selalu berteriak, "Saya cinta tanah ini. Saya cinta Indonesia!"
Kini hari sudah sangat siang. Kibere, Tigor, Maming dan Yono, masih duduk di tempat yang sama. Lapar. Perut mereka sudah berbunyi minta diisi.
Tiba-tiba, Tigor, Yono, Maming dan Kibere terkejut! Dari jauh terdengar suara-suara gemuruh! Orang-orang berlari-larian dan berteriak-teriak. Semua terlihat dari tempat mereka duduk kini. Dari samping sekolah yang tidak berpagar.
"Fila! Fila! Fila!" beberapa orang melintasi mereka, sambil berteriak ketakutan.
"Mereka menyuruh kita lari!" kata Kibere.
Anak-anak itu saling berpandangan. Wajah mereka pucat. Tak lama, dari kejauhan terlihat percikan api. Juga asap yang mengepul. Jeritan dan tembakan!
Kibere mengajak teman-temannya lari. Mereka masuk ke dalam kelas yang kosong. Mereka mencoba menutup pintu. Suara pintu berderit-derit. Ah, sukar sekali menutupnya! Engsel pintu ini sudah berkarat! Sekuat tenaga mereka terus mendorong. Berhasil! Mereka segera mengangkat kursi-kursi. Mengganjal pintu. Jantung-jantung mereka berdetak semakin keras. Keringat bercucuran.
Mereka tak dapat mengerti juga. Mengapa harus ada keributan? Mengapa menyerang saudara sendiri? Mengapa?
Anak-anak itu ingin menangis. Kibere, Yono, Tigor dan Maming saling berpegangan tangan. Kuat sekali.
"Ya Allah, Ya Robbi, tolong kami," doa Yono dan Maming.
"Tuhan, selamatkan kami," suara Tigor parau.
Kibere menatap teman-temannya. Agama mereka berbeda. Tetapi mereka mempunyai doa yang sama. "Yesus Raja,…, damaikanlah," katanya dengan mata terpejam.
Sampai malam masih terjadi keributan. Benar-benar menakutkan! Menegangkan! Seperti perang saja! Namun akhirnya mereka kecapaian. Tertidur di dalam kelas. Berteman nyamuk dan rasa lapar.
Esoknya, cahaya matahari yang menerobos lewat jendela, membangunkan mereka. Takut-takut mereka mengintip. Suasana di luar sunyi. Bahkan tak ada orang yang lewat. Hanya tampak sisa-sisa pembakaran.
"Kita harus pulang. Kasihan orangtua kita," kata Tigor.
Semua mengangguk. Mereka berpandangan.
"Apakah kita akan bertemu lagi?" tanya Kibere.
Sepi. Hanya ada anggukan kepala. Mereka seakan tak mampu berkata-kata. Apalagi menyampaikan perpisahan. Mereka berjabat tangan. Berpelukan. Lama sekali. Lalu secepat kilat berlari berpencaran. Meninggalkan tempat itu.
Itulah hari terakhir Kibere melihat Tigor, Yono dan Maming. Seminggu, sebulan, dua bulan, Kibere menanti mereka. Ia menunggu di sekolah. Kadang di lapangan bola. Pernah pula Kibere mendatangi rumah ketiga sahabatnya. Kosong. Mereka telah pindah!
Malam hari, Kibere berada di lapangan sepi itu. Menatap bintang-bintang. Juga rembulan.
"Kita akan menjadi tim sepak bola Indonesia. Tim yang hebat!" bisik Kibere. Ia seperti melihat bayangan mereka bermain bola, di tanah lapang yang becek itu. "Yonoooooo! Mamiiiiiing! Tigoooor!" teriaknya.
Di tempat yang berbeda-beda. Jauh sekali dari Dili….
Maming,Yono dan Tigor juga memandang bintang-bintang. Mereka tak akan lupa pada saudara mereka: Kibere. Seperti bintang-bintang yang tak pernah lupa pada rembulan.
(HTR, dari: Pangeranku, Penerbit Syaamil, 2000)
obrigado: terimakasih
fila: kembali, pulang
amaa: ibu
Kibere asli dari Timor-Timur. Ia kurus dan hitam. Bibirnya tebal. Rambutnya keriting-keriting kecil. Ia hampir sama dengan semua anak di sekolah ini. Hanya Kibere lebih manis, sebab ia suka tersenyum.
Pagi-pagi, sebelum pergi sekolah, Kibere selalu membantu Ibunya. Mereka mendorong gerobak sayur, ke Pasar Komoro. Kibere memanggil ibunya Amaa. Amaa berjualan karena ayah Kibere sudah tiada.
Tigor, Yono dan Maming sering disebut Kibere sebagai anak pendatang. Tigor berasal dari Sumatera Utara. Wajahnya persegi, rambutnya hitam lurus. Di antara yang lain, tubuh dan suaranya paling besar.
Yono anak Jawa Tengah. Desa asalnya tak jauh dari Candi Borobudur yang indah itu. Berbeda dengan Tigor, badan Yono lebih kecil. Ia juga hitam manis. Ia suka membawa burung perkutut kesayangannya ke sekolah. Burung yang masih kecil itu ditaruh di dalam sangkar mungil. Dititipkan pada penjaga sekolah, bila ia akan masuk kelas.
Sedang Maming, sekilas mirip Tigor. Tetapi ia lebih putih. Rambutnya berombak. Ia berasal dari Sulawesi. Pernah Kibere, Yono dan Tigor main ke rumah Maming. Ibunya menyediakan mereka makan siang dengan Coto Makasar. Enak sekali.
Hampir setiap pulang sekolah, mereka bermain bola di tanah lapang. Tanah lapang itu tepat berada di samping SD Komoro. Kibere, Yono, Maming dan Tigor bermain sampai keringatan. Sering pula mereka kehujanan. Tetapi dengan riang, mereka menendang bola ke sana ke mari. Kadang mereka terpeleset di tanah becek. Baju dan badan mereka menjadi kotor. Juga berlumpur. Mereka tertawa bersama-sama.
Suatu hari, Kibere, Yono, Maming dan Tigor pernah berjanji. Kalau sudah besar, ingin menjadi tim sepak bola Indonesia yang hebat.
Tetapi hari ini berbeda.
Sepulang sekolah, Kibere, Tigor, Yono dan Maming hanya duduk di tepi lapangan. Mereka saling diam. Merasakan hembusan angin, di Kota Dili yang panas ini.
"Jadi kalian akan pergi?" suara Kibere pelan.
Tigor, Yono dan Maming saling pandang.
"Saya belum tahu. Tadinya orangtua saya ingin tetap di sini. Tapi sekarang banyak orang jahat. Tahun kemarin, mereka membakar warung makan Bapak," suara Yono sedih. "Terus, bulan lalu mereka membakar rumah kami. Sampai kami pindah ke tempat Pak RT. Bapak sudah ndak tahan. Katanya sekarang zaman bahaya," tambah Yono.
Maming menggaruk-garuk kepalanya."Iya. Bapak dan Ibu saya mau kembali ke Sulawesi. Padahal, di Sulawesi sudah tak ada saudara kami. Mereka takut. Soalnya di sini banyak orang bawa senjata tajam…."
"Kamu, Gor?" tanya Kibere. Suaranya bergetar.
"Itu yang tak kumengerti. Papi dan Mami ingin pergi dari sini secepatnya. Maunya ke Medan atau Jakarta. Padahal tak ada uang kami sekarang," kata Tigor.
Kibere mengangkat kepalanya,memandang langit biru. Menahan matanya yang berkaca-kaca.
Diam. Keempat anak itu sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Sementara sekolah makin sepi. Para guru dan murid-murid yang lain, telah pulang sejak tadi.
Kibere ingat beberapa tahun lalu. Saat pertama mereka bertemu. Tigor, Yono dan Maming sangat ramah. Mereka suka olahraga, juga membaca.
Maming selalu meminjamkan Kibere buku-buku cerita. Cerita Tintin, Mogly Si Anak Rimba dan yang lainnya. Juga buku-buku pelajaran dan buku prakarya.
Yono sering membungkuskan Kibere makanan Jawa. Ada semur kentang, tempe mendoan. Kadang namanya lebih aneh lagi. Seperti gudeg yang manis itu. Kibere dan adik-adiknya senang, karena berarti tak usah makan jagung kering.
Dan Tigor? Ia memberikan baju pada Kibere, karena sering melihat Kibere bertelanjang dada di rumah.
"Terimakasih. Obrigado," kata Kibere waktu itu. Sungguh. Ia tidak mengharapkan semua buku, makanan dan baju. Hanya persahabatan. Persahabatan yang indah dan tulus.
Tigor, Yono dan Maming masih duduk termenung.
Seperti Kibere, mereka pun ingat saat pertama kali bersekolah di sini. Tidak semua anak menyukai mereka. Ada yang mengajak berkelahi atau meminta uang. Yono pernah dipukul sampai giginya patah. Maming pernah ditinju hingga berdarah.
Kibere-lah yang selalu menolong. Anak-anak nakal itu tidak berani pada Kibere. Sebab selain baik budi, ia jago bela diri. Temannya pun banyak.
"Terimakasih, Kibere!"
"Tak perlu. Bukankah kita teman?" kata Kibere. Kadang diucapkannya itu dalam bahasa Tetun. Bahasa yang banyak digunakan orang di Timor-Timur.
Ah, Kini Kibere menatap lapangan bola yang sepi. Diliriknya ketiga sahabatnya. Ia ingin ketiganya di sini sampai mereka tumbuh besar. Bersama membangun Timor-Timur tercinta.
Tetapi bagaimana?
Kibere menarik napas panjang. Seakan-akan dadanya sesak.
Sekarang banyak orang berbicara tentang Timor-Timur. Seperti mereka saja yang paling tahu. Mereka turun ke jalan-jalan. Menuntut ini, menuntut itu. Terkadang ribut. Rusuh.
Sungguh, Kibere tidak terlalu mengerti. Juga saat Guru Da Silva bertanya, "Apa kalian suka jadi orang Indonesia?"
Beberapa teman Kibere mengangguk. Ada juga yang menggeleng atau diam saja. Dan Kibere selalu berteriak, "Saya cinta tanah ini. Saya cinta Indonesia!"
Kini hari sudah sangat siang. Kibere, Tigor, Maming dan Yono, masih duduk di tempat yang sama. Lapar. Perut mereka sudah berbunyi minta diisi.
Tiba-tiba, Tigor, Yono, Maming dan Kibere terkejut! Dari jauh terdengar suara-suara gemuruh! Orang-orang berlari-larian dan berteriak-teriak. Semua terlihat dari tempat mereka duduk kini. Dari samping sekolah yang tidak berpagar.
"Fila! Fila! Fila!" beberapa orang melintasi mereka, sambil berteriak ketakutan.
"Mereka menyuruh kita lari!" kata Kibere.
Anak-anak itu saling berpandangan. Wajah mereka pucat. Tak lama, dari kejauhan terlihat percikan api. Juga asap yang mengepul. Jeritan dan tembakan!
Kibere mengajak teman-temannya lari. Mereka masuk ke dalam kelas yang kosong. Mereka mencoba menutup pintu. Suara pintu berderit-derit. Ah, sukar sekali menutupnya! Engsel pintu ini sudah berkarat! Sekuat tenaga mereka terus mendorong. Berhasil! Mereka segera mengangkat kursi-kursi. Mengganjal pintu. Jantung-jantung mereka berdetak semakin keras. Keringat bercucuran.
Mereka tak dapat mengerti juga. Mengapa harus ada keributan? Mengapa menyerang saudara sendiri? Mengapa?
Anak-anak itu ingin menangis. Kibere, Yono, Tigor dan Maming saling berpegangan tangan. Kuat sekali.
"Ya Allah, Ya Robbi, tolong kami," doa Yono dan Maming.
"Tuhan, selamatkan kami," suara Tigor parau.
Kibere menatap teman-temannya. Agama mereka berbeda. Tetapi mereka mempunyai doa yang sama. "Yesus Raja,…, damaikanlah," katanya dengan mata terpejam.
Sampai malam masih terjadi keributan. Benar-benar menakutkan! Menegangkan! Seperti perang saja! Namun akhirnya mereka kecapaian. Tertidur di dalam kelas. Berteman nyamuk dan rasa lapar.
Esoknya, cahaya matahari yang menerobos lewat jendela, membangunkan mereka. Takut-takut mereka mengintip. Suasana di luar sunyi. Bahkan tak ada orang yang lewat. Hanya tampak sisa-sisa pembakaran.
"Kita harus pulang. Kasihan orangtua kita," kata Tigor.
Semua mengangguk. Mereka berpandangan.
"Apakah kita akan bertemu lagi?" tanya Kibere.
Sepi. Hanya ada anggukan kepala. Mereka seakan tak mampu berkata-kata. Apalagi menyampaikan perpisahan. Mereka berjabat tangan. Berpelukan. Lama sekali. Lalu secepat kilat berlari berpencaran. Meninggalkan tempat itu.
Itulah hari terakhir Kibere melihat Tigor, Yono dan Maming. Seminggu, sebulan, dua bulan, Kibere menanti mereka. Ia menunggu di sekolah. Kadang di lapangan bola. Pernah pula Kibere mendatangi rumah ketiga sahabatnya. Kosong. Mereka telah pindah!
Malam hari, Kibere berada di lapangan sepi itu. Menatap bintang-bintang. Juga rembulan.
"Kita akan menjadi tim sepak bola Indonesia. Tim yang hebat!" bisik Kibere. Ia seperti melihat bayangan mereka bermain bola, di tanah lapang yang becek itu. "Yonoooooo! Mamiiiiiing! Tigoooor!" teriaknya.
Di tempat yang berbeda-beda. Jauh sekali dari Dili….
Maming,Yono dan Tigor juga memandang bintang-bintang. Mereka tak akan lupa pada saudara mereka: Kibere. Seperti bintang-bintang yang tak pernah lupa pada rembulan.
(HTR, dari: Pangeranku, Penerbit Syaamil, 2000)
obrigado: terimakasih
fila: kembali, pulang
amaa: ibu
Sumber inspirasi : kota santri [dot] com ,
Republika [dot] com , MQMedia[dot]com serta beberapa majalah dan buku kumpulan
cerpen