₪ Membaca Teks Suci (1) | contoh tarbiyah ₪
Nabi wafat dan meninggalkan dua pusaka,
al-Qur'an al-Karim dan Hadis Nabi. Dipesankan oleh Nabi Muhammad saw, bila kita
berpegang teguh pada kedua pusaka itu, niscaya kita akan selamat di dunia dan
akherat.
Petunjuk suci itu hadir di tengah kita
kini dalam bentuk teks. Petunjuk suci itu lahir lima belas abad yang lampau.
Kedua pusaka itu telah melintasi ruang dan waktu. Sudah banyak lahir karya
ulama besar yang memberi tafsir terhadap kedua teks suci itu sehingga teks suci
itu selalu dapat dijadikan petunjuk untuk menghadapi tantangan zaman.
Ya, tafsir merupakan kata kunci dalam
usaha "membumikan" kedua teks suci itu. Semakin cerdas kita membaca
teks, semakin cerdas pula teks itu memberikan jawaban. Pada titik ini, yang
terjadi adalah dialog terus menerus antara si pembaca teks dengan teks suci
tersebut. Karena itu kualitas "bacaan" terhadap teks dipengaruhi oleh
kualifikasi pembaca.
Ayat-ayat mengenai jihad yang dibaca
oleh pejuang di Palestina dan di Bosnia tentu berbeda nuansanya bila dibaca
oleh Muslim yang tinggal di kaki gunung yang penuh kedamaian. Ayat mengenai
solidaritas sosial tentu menjadi lebih hidup ketika diberi muatan tafsir oleh
aktivis sosial. Begitu pula ayat-ayat tentang alam semesta menjadi sumber
inspirasi dan konfirmasi bagi ilmuwan.
Semua umat Islam memiliki hak yang sama
untuk mengakses kedua pusaka itu; tidak peduli latar belakang dan spesialisasi
keilmuan mereka. Sayang, sebagian orang membatasi hak penafsiran itu pada orang
tertentu (yang lazimnya dikenal dengan sebutan ulama). Lebih celaka lagi,
sebagian orang menyalahgunakan haknya dalam mengakses teks suci itu. Seorang
ahli ekonomi tiba-tiba membahas aspek syari'ah dalam kedua teks suci tersebut.
Seorang ahli peternakan tiba-tiba tampil membahas ayat-ayat tentang teologi.
Seorang pakar hukum Islam keluar dari jalurnya ketika ia bicara ayat dan hadis
tentang tekhnologi. Pendek kata, menyalahgunakan hak jauh lebih berbahaya
dibanding tidak menggunakan hak itu.
Tafsir adalah kata kunci dalam
menjalankan Islam, khususnya ketika kedua pusaka suci mengirimkan sinyal-sinyal
yang samar dan remang-remang. Tafsir diperlukan untuk membuat sinyal itu
menjadi jelas. Sayang, banyak yang suka melakukan monopoli penafsiran. Banyak
yang emoh dengan pluralitas penafsiran. Bahkan, banyak pula yang anti dengan
perbedaan pendapat. Tidak jarang sebuah perbedaan pendapat disikapi dengan
kecurigaan, tuduhan, dan hamburan emosi.
Membaca teks suci dan mengamalkannya
adalah pesan Nabi yang harus diikuti. Namun banyak yang lupa, bahwa perbedaan
pendapat dan keragaman penafsiran terhadap kedua teks suci itu justru lahir
karena mengamalkan pesan Nabi itu. Selain tafsir, tampaknya kata kunci dalam
memahami kedua pusaka peninggalan Nabi adalah pluralitas.
Masalahnya, sudah siapkah kita menerima
pluralitas penafsiran terhadap kedua teks suci itu? Atau kita masih saja merasa
bahwa tafsiran kitalah yang paling benar, dan orang lain yang berbeda
penafsiran dengan kita dianggap mempraktekkan bid'ah, sesat, ataupun kafir?
Oleh : Nadirsyah Hosen
Sumber referensi : At-tarbiyah,majalah islami,dan kiriman saudara
muslim