☼ Ziarah | contoh cerpen
karangan Anak bangsa ☼
Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh saudara saudariku
sobat asa blog yang kucintai karena Allah subhanawataalla. Asa blog
sendiri ingin menjawab keinginan sahabat
untuk membaca cerpen cerpen buatan anak bangsa Indonesia,
Berikut cerpennya selamat membaca kawan . J
SELEPAS shalat Dzuhur, Genta masih duduk di pojok masjid, di
atas sehelai sajadah. Ada beberapa remaja masjid berlalu lalang di dalam,
menyiapkan sesuatu di sana. Genta menutup Al-Quran yang ada diatas pangkuannya.
"Sadakallahul'adzim". Ia bangkit berdiri dan beranjak membawa kitab
suci itu menuju sebuah lemari kecil. Perpustakaan kecil milik masjid setempat.
Saat hendak memakai sepatunya, Genta mendengar ada suara menyapanya.
"Assalamu'alaikum, sahabat!" Seorang laki-laki mengulurkan tangannya sambil tersenyum.
"Waalaikumussalaam," jawab Genta menjabat tangannya.
"Maaf, kalau teman-teman saya mengganggu sahabat yang sedang mengaji tadi," katanya sambil meminta maaf.
Genta tersenyum kikuk, sambil berujar, "Ah, nggak apa-apa."
"Oh ya, saya Alief." Laki-laki itu memberi tahu namanya. Genta membalasnya.
"Sahabat hendak kemana? Berlibur?" tanya Alief ramah.
Genta menggeleng sambil bertutur, "Ke kampung Kalentambo. Ziarah."
"Orang tua?"
"Sahabat," jawab Genta tersenyum.
"Oh ..., tadinya saya hendak mengajak sahabat Genta untuk ikut berdiskusi di sini," ajak Alief bersahabat. Genta kembali tersenyum.
"Terima kasih, Kang ... Tapi …"
"Tidak apa-apa. Ziarah juga baik. Semoga sahabat Genta bisa mengambil banyak hikmah di sana."
"Kalau begitu saya permisi, Kang," pamit Genta.
"Hati-hati, sahabat"
"Assalamu'alaikum"
"Waalaikumussalaam"
***
GENTA berjalan di sepanjang tegalan tembakau. Sesekali dia melihat tambak-tambak udang milik para nelayan, mewarnai siang yang cerah. Di pesisir pantai Patimban, Pamanukan, yang airnya tampak kotor dan pasirnya yang hitam, tampak warung-warung dadakan berdiri berjejer. Beberapa warung menyediakan alat-alat pancing, namun ada juga yang menyediakan kerang bakar dan minuman beralkohol.
Genta berjalan kearah sebuah bukit kecil. Bukit kecil yang rindang, teduh, dan damai. Di bukit kecil itulah pusara sahabatnya berbaring. Sebuah area perkuburan keluarga berdarah biru. Ada seorang anak kecil melintasi dirinya. Di tangannya ada sebuah arit.
"Mau kemana, Dik?" Genta menegur anak kecil itu.
"Ke sana, Kak," jawab anak kecil itu sambil menunjukkan jarinya ke arah bukit.
"Ke bukit sana?" tanya Genta lagi. Si anak mengangguk.
"Ngapain?"
"Bersihin kuburan, Kak"
"Bersihin kuburan? Kuburan siapa?" Genta pura-pura kaget.
Lalu anak kecil itu menyebutkan sebuah nama. Nama keluarga sahabatnya. Genta menawarkan bantuan untuk ikut membersihkan kuburan. Dan anak kecil itu langsung saja mengiyakan.
***
GENTA mencari-cari letak kuburan sahabatnya. Dia berjalan ke sana ke mari sambil menunduk, membaca nama sahabatnya pada batu nisan. Tidak dia temukan. Lalu matanya membentur sebuah kuburan yang terpisah dan terkucilkan. Rumput dan tumpukan daun menutupi gundukan tanah merah itu. Bahkan batu nisannya pun terhalang rumput liar.
"Kuburan siapa itu?" Genta menunjuk kuburan yang terpencil itu.
"Oh … itu. Nggak tahu, atuh!"
"Kok, nggak tahu?" tanya Genta lagi.
"Bapak nggak bilang itu kuburan siapa. Dan lagi, saat mau dibersihkan, Bapak juga melarangnya."
"Kenapa?" tanya Genta penasaran.
"Kata Bapak sih, orang yang dikuburkan di situ, orang yang bikin malu keluarga."
"Masak, sih!?" Genta terlihat jengkel sekali. Dia jadi ingat dan tahu bahwa kuburan yang tidak terurus dan terkucilkan itu adalah kuburan sahabatnya, Agah, saat anak kecil itu mengatakan bahwa orang yang dikuburkan itu adalah orang yang bikin malu nama keluarga.
"Duh, Gusti Allah !! Orang yang sudah mati berarti sudah putus hubungan dengan hal-hal keduniawian. Tapi, kenapa sahabatku, Agah, masih juga diributkan? Kenapa pusaranya mesti dikucilkan? Kenapa almarhum masih saja diributkan?" batinnya berteriak, seakan Gusti Allah berada dan duduk di depannya. Tidak ada seorang pun yang bisa dia ajak bicara selain Ilahi yang selama ini menjadi tempatnya bermanja dan mengadu. Karena kesendirian dan kesepian sudah jadi sahabatnya, maka dia hanya bisa pasrahkan semua itu kepada-Nya.
Ya, itu memang ulah sahabatnya. Sewaktu hidupnya, Agah memang terlibat obat-obatan. Dia pernah membunuh orang hanya karena obat-obatan. Akhirnya, dia pun terbunuh di sel penjara, juga hanya karena obat-obatan.
Genta mengusap wajahnya dan menarik nafas panjang. Kelegaan masuk ke dalam rongga dadanya, setelah perasaan jengkel dan sedihnya dia pasrahkan pada Allah.
"Pinjam aritnya, Dik!" Genta mengambil arit yang ada di tangan anak kecil itu. Lantas, dia mulai membabat rumput yang ada pada gundukan tanah kuburan sahabatnya itu.
"Jangan, Kak!"anak kecil itu menghalangi Genta.
"Sudahlah. Kamu bersihkan saja kuburan-kuburan yang lain!" bentak Genta.
Anak kecil itu jadi takut. "Kalau Bapakku tahu, Wah… bisa dimarahi aku. Dan kalau saja 'yang punya kuburan' tahu, bisa dipecat Bapakku nanti," batin si anak. Lalu anak kecil itu mulai berani. Dia sadar bahwa laki-laki yang sedang membabati rumput itu, bukan lawannya, tapi sebuah perlawanan harus diberikan, apalagi ini menyangkut sumber kehidupan keluarganya.
Kalau saja anak kecil itu tahu, betapa kelopak mata Genta berkaca-kaca saat mengusap batu nisan itu dan mengambil daun-daun yang menutupinya. Kalau saja anak kecil itu tahu, bahwa kuburan itu adalah kuburan sahabatnya. Kalau saja anak kecil itu tahu, Genta yang sedang dilanda kesedihan, jiwanya yang merintih saat dia memperhatikan kuburan sahabatnya yang terkucilkan, mungkin anak kecil itu tidak akan berani mengganggunya. Tidak akan berani lagi untuk mencegah atau menghalangi Genta membabati rumput itu.
"Kak!" anak kecil itu berkata keras di belakang tubuh Genta.
Genta mengusap air matanya dan menoleh ke arah anak kecil itu. Dan saat itu, seperti bertemu hantu yang didongengkan Ibunya, kala hantu itu akan memakan anak kecil yang bermain hingga larut malam, anak kecil yang dihadapan Genta, terkejut. Dia kaget begitu melihat Genta sedang terisak sambil meremas tanah merah itu.
"Kakak menangis?" tanyanya perlahan.
Genta membenahi perasaannya. Buru-buru dia kuasai emosinya, agar tidak terlihat oleh anak kecil itu.
"Nggak!" jawab Genta.
"Bohong! Kakak menangis, ya?" kata anak kecil itu.
Memang, anak kecil adalah mahluk yang paling perasa. Bersikap pura-pura tidak bisa terhadap mereka. Dan anak kecil yang dihadapan Genta, dapat menangkapnya. Akhirnya Genta mengangguk pelan.
"Kakak ingat sahabat kakak" katanya lirih.
"Sudah meninggal, Kak?" tanya anak kecil itu.
"Ya, sedih sekali ditinggal dia. Seperti ditinggal orang tua kita. Makanya, adik nggak boleh nakal sama orang tua, ya" Genta menasehati sambil menepuk bahunya.
***
SUARA adzan sedang memanggil umatnya. Genta beranjak untuk memenuhi panggilannya. Dia membasuh kedua lengannya lalu berkumur, membasuh muka, tangan, mengusap rambut, hidung, telinga dan kakinya. Dia berwudhu. Lalu bersujud. Berdo'a.
"Ya, Allah … ampunilah dosa-dosa Agah." Hanya itu saja doa yang keluar dari mulutnya. Seakan dia tak mampu berkata-kata lagi, karena dia hanya bisa menangis membayangkan wajah almarhum sahabatnya
"Assalamu'alaikum, sahabat!" Seorang laki-laki mengulurkan tangannya sambil tersenyum.
"Waalaikumussalaam," jawab Genta menjabat tangannya.
"Maaf, kalau teman-teman saya mengganggu sahabat yang sedang mengaji tadi," katanya sambil meminta maaf.
Genta tersenyum kikuk, sambil berujar, "Ah, nggak apa-apa."
"Oh ya, saya Alief." Laki-laki itu memberi tahu namanya. Genta membalasnya.
"Sahabat hendak kemana? Berlibur?" tanya Alief ramah.
Genta menggeleng sambil bertutur, "Ke kampung Kalentambo. Ziarah."
"Orang tua?"
"Sahabat," jawab Genta tersenyum.
"Oh ..., tadinya saya hendak mengajak sahabat Genta untuk ikut berdiskusi di sini," ajak Alief bersahabat. Genta kembali tersenyum.
"Terima kasih, Kang ... Tapi …"
"Tidak apa-apa. Ziarah juga baik. Semoga sahabat Genta bisa mengambil banyak hikmah di sana."
"Kalau begitu saya permisi, Kang," pamit Genta.
"Hati-hati, sahabat"
"Assalamu'alaikum"
"Waalaikumussalaam"
***
GENTA berjalan di sepanjang tegalan tembakau. Sesekali dia melihat tambak-tambak udang milik para nelayan, mewarnai siang yang cerah. Di pesisir pantai Patimban, Pamanukan, yang airnya tampak kotor dan pasirnya yang hitam, tampak warung-warung dadakan berdiri berjejer. Beberapa warung menyediakan alat-alat pancing, namun ada juga yang menyediakan kerang bakar dan minuman beralkohol.
Genta berjalan kearah sebuah bukit kecil. Bukit kecil yang rindang, teduh, dan damai. Di bukit kecil itulah pusara sahabatnya berbaring. Sebuah area perkuburan keluarga berdarah biru. Ada seorang anak kecil melintasi dirinya. Di tangannya ada sebuah arit.
"Mau kemana, Dik?" Genta menegur anak kecil itu.
"Ke sana, Kak," jawab anak kecil itu sambil menunjukkan jarinya ke arah bukit.
"Ke bukit sana?" tanya Genta lagi. Si anak mengangguk.
"Ngapain?"
"Bersihin kuburan, Kak"
"Bersihin kuburan? Kuburan siapa?" Genta pura-pura kaget.
Lalu anak kecil itu menyebutkan sebuah nama. Nama keluarga sahabatnya. Genta menawarkan bantuan untuk ikut membersihkan kuburan. Dan anak kecil itu langsung saja mengiyakan.
***
GENTA mencari-cari letak kuburan sahabatnya. Dia berjalan ke sana ke mari sambil menunduk, membaca nama sahabatnya pada batu nisan. Tidak dia temukan. Lalu matanya membentur sebuah kuburan yang terpisah dan terkucilkan. Rumput dan tumpukan daun menutupi gundukan tanah merah itu. Bahkan batu nisannya pun terhalang rumput liar.
"Kuburan siapa itu?" Genta menunjuk kuburan yang terpencil itu.
"Oh … itu. Nggak tahu, atuh!"
"Kok, nggak tahu?" tanya Genta lagi.
"Bapak nggak bilang itu kuburan siapa. Dan lagi, saat mau dibersihkan, Bapak juga melarangnya."
"Kenapa?" tanya Genta penasaran.
"Kata Bapak sih, orang yang dikuburkan di situ, orang yang bikin malu keluarga."
"Masak, sih!?" Genta terlihat jengkel sekali. Dia jadi ingat dan tahu bahwa kuburan yang tidak terurus dan terkucilkan itu adalah kuburan sahabatnya, Agah, saat anak kecil itu mengatakan bahwa orang yang dikuburkan itu adalah orang yang bikin malu nama keluarga.
"Duh, Gusti Allah !! Orang yang sudah mati berarti sudah putus hubungan dengan hal-hal keduniawian. Tapi, kenapa sahabatku, Agah, masih juga diributkan? Kenapa pusaranya mesti dikucilkan? Kenapa almarhum masih saja diributkan?" batinnya berteriak, seakan Gusti Allah berada dan duduk di depannya. Tidak ada seorang pun yang bisa dia ajak bicara selain Ilahi yang selama ini menjadi tempatnya bermanja dan mengadu. Karena kesendirian dan kesepian sudah jadi sahabatnya, maka dia hanya bisa pasrahkan semua itu kepada-Nya.
Ya, itu memang ulah sahabatnya. Sewaktu hidupnya, Agah memang terlibat obat-obatan. Dia pernah membunuh orang hanya karena obat-obatan. Akhirnya, dia pun terbunuh di sel penjara, juga hanya karena obat-obatan.
Genta mengusap wajahnya dan menarik nafas panjang. Kelegaan masuk ke dalam rongga dadanya, setelah perasaan jengkel dan sedihnya dia pasrahkan pada Allah.
"Pinjam aritnya, Dik!" Genta mengambil arit yang ada di tangan anak kecil itu. Lantas, dia mulai membabat rumput yang ada pada gundukan tanah kuburan sahabatnya itu.
"Jangan, Kak!"anak kecil itu menghalangi Genta.
"Sudahlah. Kamu bersihkan saja kuburan-kuburan yang lain!" bentak Genta.
Anak kecil itu jadi takut. "Kalau Bapakku tahu, Wah… bisa dimarahi aku. Dan kalau saja 'yang punya kuburan' tahu, bisa dipecat Bapakku nanti," batin si anak. Lalu anak kecil itu mulai berani. Dia sadar bahwa laki-laki yang sedang membabati rumput itu, bukan lawannya, tapi sebuah perlawanan harus diberikan, apalagi ini menyangkut sumber kehidupan keluarganya.
Kalau saja anak kecil itu tahu, betapa kelopak mata Genta berkaca-kaca saat mengusap batu nisan itu dan mengambil daun-daun yang menutupinya. Kalau saja anak kecil itu tahu, bahwa kuburan itu adalah kuburan sahabatnya. Kalau saja anak kecil itu tahu, Genta yang sedang dilanda kesedihan, jiwanya yang merintih saat dia memperhatikan kuburan sahabatnya yang terkucilkan, mungkin anak kecil itu tidak akan berani mengganggunya. Tidak akan berani lagi untuk mencegah atau menghalangi Genta membabati rumput itu.
"Kak!" anak kecil itu berkata keras di belakang tubuh Genta.
Genta mengusap air matanya dan menoleh ke arah anak kecil itu. Dan saat itu, seperti bertemu hantu yang didongengkan Ibunya, kala hantu itu akan memakan anak kecil yang bermain hingga larut malam, anak kecil yang dihadapan Genta, terkejut. Dia kaget begitu melihat Genta sedang terisak sambil meremas tanah merah itu.
"Kakak menangis?" tanyanya perlahan.
Genta membenahi perasaannya. Buru-buru dia kuasai emosinya, agar tidak terlihat oleh anak kecil itu.
"Nggak!" jawab Genta.
"Bohong! Kakak menangis, ya?" kata anak kecil itu.
Memang, anak kecil adalah mahluk yang paling perasa. Bersikap pura-pura tidak bisa terhadap mereka. Dan anak kecil yang dihadapan Genta, dapat menangkapnya. Akhirnya Genta mengangguk pelan.
"Kakak ingat sahabat kakak" katanya lirih.
"Sudah meninggal, Kak?" tanya anak kecil itu.
"Ya, sedih sekali ditinggal dia. Seperti ditinggal orang tua kita. Makanya, adik nggak boleh nakal sama orang tua, ya" Genta menasehati sambil menepuk bahunya.
***
SUARA adzan sedang memanggil umatnya. Genta beranjak untuk memenuhi panggilannya. Dia membasuh kedua lengannya lalu berkumur, membasuh muka, tangan, mengusap rambut, hidung, telinga dan kakinya. Dia berwudhu. Lalu bersujud. Berdo'a.
"Ya, Allah … ampunilah dosa-dosa Agah." Hanya itu saja doa yang keluar dari mulutnya. Seakan dia tak mampu berkata-kata lagi, karena dia hanya bisa menangis membayangkan wajah almarhum sahabatnya
Sumber inspirasi : kota santri [dot] com ,
Republika [dot] com , helvitiana rosa ,
MQMedia[dot]com ,dakwah.org serta beberapa majalah dan buku kumpulan
cerpen