'Nazi' Baru di Belanda

http://majalah.hidayatullah.com/wp-content/uploads/2010/12/NAZ.jpg
Partai untuk Kebebasan (Partij voor de Vrijheid/PVV) telah menjadi pemenang ketiga dalam pemilu Belanda Juni 2010 dengan perolehan 24 dari 150 kursi parlemen. Pemimpin PVV Geert Wilders (47 tahun), mendulang suara hampir 3 kali lipat dibanding pemilu 3 tahun lalu karena mengeksploitasi isu-isu anti Islam dan dukungan penuh kepada Israel.

Kini, atas restu Ratu Beatrix, PVV dirangkul Partai Liberal untuk memerintah bersama partai Kristen Demokrat. Provokasi Wilders yang sangat terkenal adalah pelarangan al-Qur`an dan jilbab, lalu penghentian pembangunan masjid baru di seluruh Belanda, dan moratorium imigran dari negara-negara Muslim selama 5 tahun.

Pada 2008, ia merilis film Fitna yang mendiskreditkan Islam dan al-Qur`an, dan menghasilkan ancaman serius bagi keamanannya. Mengapa fenomena Geert Wilders perlu dicermati, sedangkan Belanda hanyalah sebuah negara kecil dengan 17 juta penduduk?

Jawabannya tak lain, karena ada lebih sejuta Muslim (6%) tinggal di Belanda. Mereka mayoritas keturunan Afrika Utara, di samping keturunan Asia termasuk Indonesia. Jumlah ini memang masih jauh dibanding penganut Katolik (30%) dan kelompok atheis (40%). Akan tetapi, dengan rasio 1 Muslim dari setiap 17 orang Belanda, maka sebenarnya mereka ada di mana-mana.

Mari bandingkan dengan Indonesia. Orang Minang di Indonesia yang berkisar 3,6% saja dapat membangun rumah makan dari Sabang sampai Merauke? Begitupun keturunan Tionghoa yang jumlahnya kurang dari 4%, toko mereka eksis di kota besar maupun kecil. Maka dapatkah dibayangkan bila ada partai politik di Indonesia sengaja mengeksploitasi isu memusuhi orang Minang atau orang Tionghoa lalu menjadi pemenang ketiga dalam pemilu?
Provokasi terus-menerus Wilders terhadap Islam tidak dapat dianggap remeh, karena telah mulai mendapatkan dukungan internasional. Kelompok Yahudi Amerika, kini ikut menyokong dana bagi partainya, oleh karena ia menginginkan perubahan konstitusi dengan dominasi doktrin Kristen dan Yahudi, selain humanisme. Wilders juga ingin melarang semua jenis khutbah selain dalam Bahasa Belanda. Untuk menegaskan sikap pro-Yahudi, ia menyatakan terima kasih kepada Israel yang telah menjadi penghalang bagi pengembangan Islam dengan menguasai (sebagian) Palestina.

Menurut Wilders, bila Yerusalem jatuh ke tangan Muslim (Palestina), maka Roma dan Athena hanya menunggu giliran berikutnya. Keberhasilan isu anti-Islamisasi di negaranya telah menulari politisi di Eropa dan Amerika. Kunjungannya ke Ground Zero (lokasi pengeboman WTC di New York pada tragedi 9/11) didukung mantan capres Partai Republik Sarah Palin. Ia meninggalkan pesan di sana, “Jangan sampai New York akan menjadi New Mecca,” merujuk pada akan dibangunnya Cordoba House yang direstui Presiden Obama. Wilders juga segera membuka “anti-Islam” cabang di Amerika dan Kanada melalui jaringan barunya International Freedom Alliance (IFA).

Sementara di Eropa, ide serupa Wilders telah dimulai di Prancis, dengan lolosnya undang-undang anti penggunaan cadar atau burka di tempat umum. Pelanggarnya dapat didenda 150 Euro (lebih dari Rp 2 juta). Wilders bahkan mengusulkan denda lebih besar, yaitu 1000 Euro di Belanda. Tak heran, anggota parlemen dari daerah pemilihan Utrech ini akan segera menjadi ikon anti-Islam di negara Barat.

Hitler Kedua
Di dalam blognya,Wilders mem-posting pernyataan-pernyataannya, termasuk “my message to Muslim” yang menggambarkan pandangan miringnya terhadap Islam. Ia mengklaim cukup mengetahui Islam, karena pernah berkunjung ke Mesir, Jodan, dan Israel. Ia menganggap negara-negara Islam sangat terbelakang dan kotor, bertolak belakang dengan Israel yang bebas dan bersih. Ia bahkan menawarkan solusi konflik Israel-Palestina dengan gaya Israel-banget, “Ubah saja nama Jordania dengan Palestina, maka masalah selesai karena kedua negara sama-sama eksis tanpa harus berebut.”

Akar dari pemikiran Wilders adalah kekhawatiran akan perkembangan Islam di negara-negara Barat. Ia mengingatkan, seabad lalu hanya ada 50 orang Islam di Belanda, sekarang sudah sejuta. Hal serupa terjadi di seluruh Eropa dan Amerika. Akan tetapi menurutnya tidak ada yang peduli.

Jangankan mengkhawatiri, bahkan pemerintah di Eropa dan Amerika memberikan keleluasaan kepada kaum Muslim yang kebanyakan adalah pendatang. Ada sekolah Islam, bank Islam, orang berjilbab di jalanan, toko makanan halal, dan lain-lain yang semakin menjamur. “Padahal, semakin banyak syariah diadopsi, semakin sempit ruang untuk kebebasan,” katanya. Tanpa pencegahan yang serius, katanya identitas Barat akan segera lenyap.

Wilders selalu menggunakan alasan kebebasan berbicara untuk melindungi sikapnya. Bebas bicara, menurutnya, termasuk untuk hal-hal yang tidak disukai oleh pendengarnya. Dan untuk itu ia harus membayar mahal, yakni tidak pernah memiliki kebebasan pribadi. Ia harus dikawal 24 jam, selalu berpindah-pindah tempat, dan sangat selektif menerima tamu. Ia pernah dikatagorikan sebagai politisi paling populer di Negeri Kincir Angin, sekaligus yang paling terancam (nyawanya). Beberapa kalangan penting menyatakan tidak peduli bila ada orang menembak kepalanya.

Ihwal keinginannya melarang peredaran al-Qur`an, sebagaimana larangan terhadap buku Adolf Hitler ‘Mein Kampf’, Wilders menggunakan alibi ajaran kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan. Menurutnya, al-Qur`an adalah buku paling fasis di dunia. Untuk dapat beredar di Belanda, separuh isinya harus dibuang. “Saya tidak membenci orang Muslim, hanya membenci bukunya (al-Qur`an) dan ideologinya,” tulisnya. Namun ayat al-Qur`an yang dikutipnya sering tidak tepat, seperti surat al Zukhruf (43):17 yang digunakannya sebagai justifikasi diskriminasi terhadap perempuan, padahal ayat itu menceritakan perilaku orang musyrik yang tidak suka dengan anak perempuan.

Dari berbagai pernyataan –dan ia menolak mencabutnya meski menghadapi tuntutan di pengadilan—dapatlah dipahami isi kepala pria yang memiliki ibu kelahiran Sukabumi Jawa Barat ini. Kebencian terhadap Islam telah mendasari seluruh tindakannya. Sementara pemikiran pro-Israel dapat menjadikannya Hitler kedua sebagai balas dendam Yahudi dengan sasaran kaum muslimin, bila ia kelak bisa menjadi Perdana Menteri Belanda, jabatan yang telah sering disebutnya.

Orang mencari sensasi dengan memojokkan Islam sudah sering muncul, seperti Salman Rushdie yang difatwakan hukuman mati oleh Ayatullah Khomeini dan diberi gelar ‘Sir’ oleh Ratu Inggris. Tetapi yang memiliki kekuasaan karena menjadi anggota parlemen dan memimpin partai politik barulah Geert Wilders.

Selayaknya Ratu Belanda tidak meloloskan manusia paranoid ini memimpin pemerintahan. Kecuali bila menyulut perang saudara bukan lagi dianggap tabu. (Sumber: hidayatullah)