Ketika umat Kristen seluruh dunia merayakan salah satu hari tersuci
dalam kalender tahunan mereka, Helena Frith Powell berbicara kepada tiga
wanita barat yang telah memeluk Islam disamping adanya ketidaksetujuan
dari orang-orang yang mereka cintai dan teman-teman mereka, dan belajar
bagaimana Islam telah memberi mereka sebuah perspektif segar dalam
kehidupan.
Ketika ia berpindah memeluk
agama Islam, jurnalis Inggris Yvone Ridley membingungkan begitu banyak
para pengamat. Ia adalah seorang wanita yang telah berada dalam tawanan
Taliban di Afghanistan memeluk agama mereka. Dari seorang tawanan
menjadi seorang muallaf? Hal ini nampaknya terdengar seperti sebuah film
Hollywood.
Namun Ridley hanyalah salah satu
dari jutaan wanita yang berpindah memeluk agama Islam setiap tahunnya.
Pada faktanya, perpindahan agama menuju Islam berkembang lebih cepat
dari pada populasi global: 2,9 persen dibanding dengan 2,3 persen.
Seperti halnya kebanyakan wanita
Barat, Ridley awalnya berpikir bahwa Al-Qur'an sedikit lebih dari
sebuah panduan instruksi tentang bagaimana menindas wanita.
"Saya tercengang oleh apa yang
saya baca," ia mengatakan. "Saya menemukan bahwa Al-Qur'an dengan jelas
menyebutkan bahwa para wanita adalah setara secara spiritual, pendidikan
dan kehormatan. Para wanita setara dalam semua hal. Di dalam Islam,
para wanita memiliki hak-hak yang setara dan mereka telah memiliki hal
yang sama selama 1.400 tahun."
"Al-Qur'an mengatakan kepada
Anda bahwa sebagai seorang wanita Anda memiliki sebuah tugas untuk
mendidik diri kalian sendiri," kata Sara Hamoodi, yang berasal dari
Washington, namun telah tinggal lama di Uni Emirat Arab dengan suami
Emirat-nya sejak tahun 1987. "Dan jika Anda tidak dapat melakukannya di
rumah, Anda harus pergi ke luar dan mendapatkan sebuah pendidikan.
Kekerasan pada para wanita yang kita lihat tidaklah didikte oleh agama
namun oleh kebudayaan."
Hamoodi merasa bahwa ia
menemukan jalannya ketika ia menemukan Islam."Ada klise barat tentang
para wanita yang harus mengerti diri mereka sendiri," ia mengatakan.
"Saya menemukan diri saya sendiri di dalam Islam. Dalam kebudayaan kita,
Anda adalah seorang istri dan seorang ibu ketika Anda menikah dan
melahirkan anak. Di dalam Islam, Anda secara otomatis memiliki hak Anda
untuk sebuah opini, untuk sebuah pendidikan, untuk bekerja, untuk
memilih. Hal ini jauh lebih progresif dari sistem kita dan selama ini
selalu seperti itu. Saya merasa bahwa saya adalah seorang wanita dalam
hak saya sendiri dan pada usia muda, 24 tahun, sebagian besar wanita
harus menunggu sampai mereka dengan baik memasuki usia 30 tahunan untuk
benar-benar mengenal diri mereka sendiri."
Hamoodi bertemu suaminya ketika
ia sedang belajar di AS dan Hamoodi masih berada di bangku sekolah
menengah atas. "Ketika saya bertemu suami saya, saya tidak membayangkan
bahwa saya akan menjadi seorang Muslim atau bahwa anak-anak saya akan
menjadi Muslim juga," ia mengatakan, "Suami saya tidak pernah
mengkritisi sudut pandang saya namun saya curiga bahwa ia secara rahasia
berharap bahwa saya akan mengubah pikiran saya."
Mereka menikah satu tahun
setengah setelah mereka bertemu dan pindah ke Uni Emirat Arab ketika
anak pertama mereka berusia enam bulan. Sekarang mereka memiliki tujuh
anak yang berusia antara 10 dan 20 tahun.
Hamoodi menggambarkan
perpindahan akhirnya sebagai sebuah proses bertahap dan mulus yang
dimulai dengan penutupan kepalanya untuk menghormati mertua di mana
mereka tinggal.
"Saya ingat duduk di luar Masjid
seperti ingatan tersebut memanggil saya," ia mengatakan. "Kami tiba
pada bulan Juli dan saya akan duduk di luar di panasnya matahari hanya
mendengarkan suara-suara. Untuk saya, anehnya hal tersebut menarik. Saya
senang bunyi dari suara-suara tersebut, keseluruhan ritmenya, aliran
dari bahasa Arab."
Ia mulai bejar Islam dan juga mengenakan abaya.
"Saya merasa semua pertanyaan
saya dijawab dalam Islam," ia mengatakan. "Katolikisme selalu menjadi
sebuah pertanyaan besar bagi saya. Dan karena saya telah mulai
menutupinya semua hal tersebut meluncur ke dalam satu tempat. Itu sama
sekali bukanlah sebuah langkah yang besar bagi saya."
Keluarganya di kampung halaman
adalah penganut Katolik dan mereka dengan keras menentang
perpindahannya. Namun sejak saat itu mereka melunak. "Mereka telah
melihat bahwa saya telah menjadi seseorang yang lebih baik dan bahwa
saya lebih bisa berdamai dengan diri saya sendiri," ia mengatakan.
"Tidak ada orang yang memaksa saya. Saya memiliki sebuah kepribadian
yang sangat kuat dan itu semua berdampingan dengan baik dengan menjadi
seorang wanita Muslim. Saya dengan tegas percaya bahwa para wanita
Muslim lebih kuat karena segala sesuatu yang kami miliki dalam hal hak
yang kami miliki dari kelahiran kami. Semua hak tersebut secara otomatis
diberikan kepada kita."
Hamoodi mengatakan bahwa
sebagian besar teman-temannya, di sini dan di kampung halaman, di AS,
adalah para wanita yang dinamis dengan kepribadian yang kuat. Jadi
bagaimana mungkin semua hal tersebut duduk berdampingan dengan ayat-ayat
Al-Qur'an mengatakan bahwa: "Dan mereka yang Anda takuti kemungkinan
pemberontak, tegur; usir mereka dari ranjangnya dan pukul mereka."
"Lihatlah, ini ditulis dari masa
yang sangat silam, dan tentu saja Anda dapat menginterpretasikannya
apapun yang Anda sukai namun dalam pandangan saya, ini hanya mengatakan
kepada seorang pria bahwa ia harus mengambil langkah untuk mengoreksi
tindakan. Namun dalam pandangan saya ayat tersebut tidak mendorong untuk
memukul atau memberikan sanksi apapun seperti tindakan semacam itu," ia
mengatakan.
Ini adalah salah satu hal yang menarik perhatian Jennifer Brooks, seorang guru musik, terhadap Islam.
"Saya mengingat ketika pertama
mulai mengenakan sebuah abaya dan sebuah jilbab, saya diperlihatkan
sejumlah besar rasa hormat oleh para pria, terutama para pria Arab,"
kata Brooks, yang berasal dari Iowa, AS namun telah tinggal di Abu Dhabi
sejak tahun 2000. "Anda dilihat sebagai seorang saudara Islam dan,
diperlakukan dengan rasa hormat."
Brooks, 34 tahun, bertemu dengan
suaminya – berasal dari Yaman namun dibesarkan di Abu Dhabi – segera
setelah pindah ke sini. Mereka menikah pada tahun 2002, namun Jennifer
tidak berpindah agama begitu saja. "Kami melakukan sebuah upacara
pernikahan sipil di AS," ia menjelaskan. "Pada saat itu saya tidak
merasa siap untuk berpindah agama. Saya harus mengikuti jalan saya
sendiri."
Pada tahun 2005, ia melahirkan
puterinya, Aisa, dan ketika ia berada di rumah sakit bahwa ia mengalami
pencerahan yang membimbing ia pada pemindahannya ke Islam.
"Saya berbagi kamar dengan
seorang wanita yang baru saja terbangun untuk sholat," Brooks mengingat.
"Matahari besinar kepadanya dan segala hal mengatasi saya begitu saja.
Saya sadar saya harus menjadi bagian dari agama ini, pada saat itu
seperti sesuatu menghantam jiwa saya. Saya tahu bahwa saya harus
melakukannya tidak hanya untuk pertumbuhan pribadi diri saya sendiri
namun juga untuk putri saya. Ia terlahir di Emirat, jadi untuk
membesarkannya di dalam kepercayaan yang lain akan menjadi sebuah dosa."
Brooks mengatakan bahwa ia akan
menganut Islam dengan taat dengan caranya sendiri," ia mengatakan. "Saya
akan membesarkan putri saya sebagai seorang Muslim juga, dan ketika ia
seorang dewasa, ia akan menemukan jalannya sendiri."
Karen Clarke, seorang wanita 38
tahun yang berasal dari Newcastle, Inggris, yang telah tinggal di Dubai
dengan suami Muslimnya selama tiga tahun, setuju dengan pandangan
Hamoodi. "Untuk saya, titik balik, atau lebih kepada titik perpindahan
saya, datang ketika saya menyadari bahwa di bawah Islam sebenarnya ada
lebih banyak hak untuk wanita," ia mengatakan. "Dikatakan bahwa, di
banyak negara, para pria berkuasa berusaha untuk membatasi hak-hak ini
dan kebebasan. Apa yang banyak dari mereka lupa adalah para wanita di
bawah Islam seharusnya dilindungi oleh ayah, saudara laki-laki, dan
suami mereka. Namun hal ini terkadang disalahartikan. Gagasan di balik
hal ini masuk akal. Di Inggris, jika ayah Anda pergi sampai ada
kemungkinan Anda akan atau tidak akan pernah melihatnya lagi atau tidak
mendapatkan dukungan anak darinya. Di bahwa Islam ada jalan lain, karena
jika ia tidak menyediakan dukungan tersebut, saudara laki-lakinya akan
harus menyediakannya. Para orang barat nampaknya memilki pandangan teguh
tersebut tentang Islam bahwa agama tersebut secara murni negatif ketika
menyangkut para wanita."
Apa yang kebanyakan wanita barat
kemungkinan lihat sebagai sebuah alat penindasan, abaya, para wanita
Muslim akan seirng menggambarkannya sebagai sesuatu yang positif.
"Mengenakan sebuah abaya
tidaklah sebuah tampilan dari agama namun lebih kepada sesuatu yang kami
lakukan untuk menghormati diri kita sendiri dan mereka yang ada
disekeliling kita," Clarke mengatakan.
"Saya merasa jauh lebih yakin
tentang diri saya sendiri mengenakan abaya saya. Saya begitu terbiasa
sekarang sehingga untuk pergi ke luar tanpa abaya makan akan merasa
seperti meninggalkan rumah tanpa mengenakan apapun. Abaya membuat saya
merasa aman."
Apakah para mualaf tersebut memiliki saran bagi para wanita yang berpikir mengikuti contoh mereka dan memilih Islam?
"Saya akan katakan, lakukanlah
penelian Anda, belajar, gunakan waktu Anda," kata Hamoodi. "Ini bukanlah
sesuatu yang harus dilakukan terburu-buru. Ini adalah sebuah jalan
hidup, Islam mengajarkan Anda bagaimana untuk hidup, bagaimana untuk
makan, apa yang Anda minum dan yang Anda kenakan. Ini bukanlah sesuatu
yang dapat Anda ambil atau Anda taruh kembali. Lakukanlah yang
terbaik... yakinlah bahwa lebih baik menjadi seorang Muslim yang biasa
saja daripada tidak menjadi seorang Muslim sama sekali."
Clarke menambahkan: "Pastikan
bahwa Anda dan suami Anda menjaga keseimbangan agama pada tingkatan yang
sama. Anda tidak ingin berakhir dengan seorang pria yang memulai di
mana Anda berada namun kemudian berubah menjadi ekstrimis, terutama jika
Anda tinggal di sebuah negara mayoritas Muslim."
(Sumber: SuaraMedia)