Beragam Perjalanan Spiritual Wanita Muallaf Menuju Islam

http://www.suaramedia.com/images/stories/4berita/2-12-islam/yvonne-ridley_pk.jpg
Ketika umat Kristen seluruh dunia merayakan salah satu hari tersuci dalam kalender tahunan mereka, Helena Frith Powell berbicara kepada tiga wanita barat yang telah memeluk Islam disamping adanya ketidaksetujuan dari orang-orang yang mereka cintai dan teman-teman mereka, dan belajar bagaimana Islam telah memberi mereka sebuah perspektif segar dalam kehidupan.

Ketika ia berpindah memeluk agama Islam, jurnalis Inggris Yvone Ridley membingungkan begitu banyak para pengamat. Ia adalah seorang wanita yang telah berada dalam tawanan Taliban di Afghanistan memeluk agama mereka. Dari seorang tawanan menjadi seorang muallaf? Hal ini nampaknya terdengar seperti sebuah film Hollywood.

Namun Ridley hanyalah salah satu dari jutaan wanita yang berpindah memeluk agama Islam setiap tahunnya. Pada faktanya, perpindahan agama menuju Islam berkembang lebih cepat dari pada populasi global: 2,9 persen dibanding dengan 2,3 persen.

Seperti halnya kebanyakan wanita Barat, Ridley awalnya berpikir bahwa Al-Qur'an sedikit lebih dari sebuah panduan instruksi tentang bagaimana menindas wanita.

"Saya tercengang oleh apa yang saya baca," ia mengatakan. "Saya menemukan bahwa Al-Qur'an dengan jelas menyebutkan bahwa para wanita adalah setara secara spiritual, pendidikan dan kehormatan. Para wanita setara dalam semua hal. Di dalam Islam, para wanita memiliki hak-hak yang setara dan mereka telah memiliki hal yang sama selama 1.400 tahun."

"Al-Qur'an mengatakan kepada Anda bahwa sebagai seorang wanita Anda memiliki sebuah tugas untuk mendidik diri kalian sendiri," kata Sara Hamoodi, yang berasal dari Washington, namun telah tinggal lama di Uni Emirat Arab dengan suami Emirat-nya sejak tahun 1987. "Dan jika Anda tidak dapat melakukannya di rumah, Anda harus pergi ke luar dan mendapatkan sebuah pendidikan. Kekerasan pada para wanita yang kita lihat tidaklah didikte oleh agama namun oleh kebudayaan."

Hamoodi merasa bahwa ia menemukan jalannya ketika ia menemukan Islam."Ada klise barat tentang para wanita yang harus mengerti diri mereka sendiri," ia mengatakan. "Saya menemukan diri saya sendiri di dalam Islam. Dalam kebudayaan kita, Anda adalah seorang istri dan seorang ibu ketika Anda menikah dan melahirkan anak. Di dalam Islam, Anda secara otomatis memiliki hak Anda untuk sebuah opini, untuk sebuah pendidikan, untuk bekerja, untuk memilih. Hal ini jauh lebih progresif dari sistem kita dan selama ini selalu seperti itu. Saya merasa bahwa saya adalah seorang wanita dalam hak saya sendiri dan pada usia muda, 24 tahun, sebagian besar wanita harus menunggu sampai mereka dengan baik memasuki usia 30 tahunan untuk benar-benar mengenal diri mereka sendiri."

Hamoodi bertemu suaminya ketika ia sedang belajar di AS dan Hamoodi masih berada di bangku sekolah menengah atas. "Ketika saya bertemu suami saya, saya tidak membayangkan bahwa saya akan menjadi seorang Muslim atau bahwa anak-anak saya akan menjadi Muslim juga," ia mengatakan, "Suami saya tidak pernah mengkritisi sudut pandang saya namun saya curiga bahwa ia secara rahasia berharap bahwa saya akan mengubah pikiran saya."

Mereka menikah satu tahun setengah setelah mereka bertemu dan pindah ke Uni Emirat Arab ketika anak pertama mereka berusia enam bulan. Sekarang mereka memiliki tujuh anak yang berusia antara 10 dan 20 tahun.

Hamoodi menggambarkan perpindahan akhirnya sebagai sebuah proses bertahap dan mulus yang dimulai dengan penutupan kepalanya untuk menghormati mertua di mana mereka tinggal.

"Saya ingat duduk di luar Masjid seperti ingatan tersebut memanggil saya," ia mengatakan. "Kami tiba pada bulan Juli dan saya akan duduk di luar di panasnya matahari hanya mendengarkan suara-suara. Untuk saya, anehnya hal tersebut menarik. Saya senang bunyi dari suara-suara tersebut, keseluruhan ritmenya, aliran dari bahasa Arab."

Ia mulai bejar Islam dan juga mengenakan abaya.

"Saya merasa semua pertanyaan saya dijawab dalam Islam," ia mengatakan. "Katolikisme selalu menjadi sebuah pertanyaan besar bagi saya. Dan karena saya telah mulai menutupinya semua hal tersebut meluncur ke dalam satu tempat. Itu sama sekali bukanlah sebuah langkah yang besar bagi saya."

Keluarganya di kampung halaman adalah penganut Katolik dan mereka dengan keras menentang perpindahannya. Namun sejak saat itu mereka melunak. "Mereka telah melihat bahwa saya telah menjadi seseorang yang lebih baik dan bahwa saya lebih bisa berdamai dengan diri saya sendiri," ia mengatakan. "Tidak ada orang yang memaksa saya. Saya memiliki sebuah kepribadian yang sangat kuat dan itu semua berdampingan dengan baik dengan menjadi seorang wanita Muslim. Saya dengan tegas percaya bahwa para wanita Muslim lebih kuat karena segala sesuatu yang kami miliki dalam hal hak yang kami miliki dari kelahiran kami. Semua hak tersebut secara otomatis diberikan kepada kita."

Hamoodi mengatakan bahwa sebagian besar teman-temannya, di sini dan di kampung halaman, di AS, adalah para wanita yang dinamis dengan kepribadian yang kuat. Jadi bagaimana mungkin semua hal tersebut duduk berdampingan dengan ayat-ayat Al-Qur'an mengatakan bahwa: "Dan mereka yang Anda takuti kemungkinan pemberontak, tegur; usir mereka dari ranjangnya dan pukul mereka."

"Lihatlah, ini ditulis dari masa yang sangat silam, dan tentu saja Anda dapat menginterpretasikannya apapun yang Anda sukai namun dalam pandangan saya, ini hanya mengatakan kepada seorang pria bahwa ia harus mengambil langkah untuk mengoreksi tindakan. Namun dalam pandangan saya ayat tersebut tidak mendorong untuk memukul atau memberikan sanksi apapun seperti tindakan semacam itu," ia mengatakan.

Ini adalah salah satu hal yang menarik perhatian Jennifer Brooks, seorang guru musik, terhadap Islam.

"Saya mengingat ketika pertama mulai mengenakan sebuah abaya dan sebuah jilbab, saya diperlihatkan sejumlah besar rasa hormat oleh para pria, terutama para pria Arab," kata Brooks, yang berasal dari Iowa, AS namun telah tinggal di Abu Dhabi sejak tahun 2000. "Anda dilihat sebagai seorang saudara Islam dan, diperlakukan dengan rasa hormat."

Brooks, 34 tahun, bertemu dengan suaminya – berasal dari Yaman namun dibesarkan di Abu Dhabi – segera setelah pindah ke sini. Mereka menikah pada tahun 2002, namun Jennifer tidak berpindah agama begitu saja. "Kami melakukan sebuah upacara pernikahan sipil di AS," ia menjelaskan. "Pada saat itu saya tidak merasa siap untuk berpindah agama. Saya harus mengikuti jalan saya sendiri."

Pada tahun 2005, ia melahirkan puterinya, Aisa, dan ketika ia berada di rumah sakit bahwa ia mengalami pencerahan yang membimbing ia pada pemindahannya ke Islam.

"Saya berbagi kamar dengan seorang wanita yang baru saja terbangun untuk sholat," Brooks mengingat. "Matahari besinar kepadanya dan segala hal mengatasi saya begitu saja. Saya sadar saya harus menjadi bagian dari agama ini, pada saat itu seperti sesuatu menghantam jiwa saya. Saya tahu bahwa saya harus melakukannya tidak hanya untuk pertumbuhan pribadi diri saya sendiri namun juga untuk putri saya. Ia terlahir di Emirat, jadi untuk membesarkannya di dalam kepercayaan yang lain akan menjadi sebuah dosa."

Brooks mengatakan bahwa ia akan menganut Islam dengan taat dengan caranya sendiri," ia mengatakan. "Saya akan membesarkan putri saya sebagai seorang Muslim juga, dan ketika ia seorang dewasa, ia akan menemukan jalannya sendiri."

Karen Clarke, seorang wanita 38 tahun yang berasal dari Newcastle, Inggris, yang telah tinggal di Dubai dengan suami Muslimnya selama tiga tahun, setuju dengan pandangan Hamoodi. "Untuk saya, titik balik, atau lebih kepada titik perpindahan saya, datang ketika saya menyadari bahwa di bawah Islam sebenarnya ada lebih banyak hak untuk wanita," ia mengatakan. "Dikatakan bahwa, di banyak negara, para pria berkuasa berusaha untuk membatasi hak-hak ini dan kebebasan. Apa yang banyak dari mereka lupa adalah para wanita di bawah Islam seharusnya dilindungi oleh ayah, saudara laki-laki, dan suami mereka. Namun hal ini terkadang disalahartikan. Gagasan di balik hal ini masuk akal. Di Inggris, jika ayah Anda pergi sampai ada kemungkinan Anda akan atau tidak akan pernah melihatnya lagi atau tidak mendapatkan dukungan anak darinya. Di bahwa Islam ada jalan lain, karena jika ia tidak menyediakan dukungan tersebut, saudara laki-lakinya akan harus menyediakannya. Para orang barat nampaknya memilki pandangan teguh tersebut tentang Islam bahwa agama tersebut secara murni negatif ketika menyangkut para wanita."

Apa yang kebanyakan wanita barat kemungkinan lihat sebagai sebuah alat penindasan, abaya, para wanita Muslim akan seirng menggambarkannya sebagai sesuatu yang positif.

"Mengenakan sebuah abaya tidaklah sebuah tampilan dari agama namun lebih kepada sesuatu yang kami lakukan untuk menghormati diri kita sendiri dan mereka yang ada disekeliling kita," Clarke mengatakan.

"Saya merasa jauh lebih yakin tentang diri saya sendiri mengenakan abaya saya. Saya begitu terbiasa sekarang sehingga untuk pergi ke luar tanpa abaya makan akan merasa seperti meninggalkan rumah tanpa mengenakan apapun. Abaya membuat saya merasa aman."

Apakah para mualaf tersebut memiliki saran bagi para wanita yang berpikir mengikuti contoh mereka dan memilih Islam?

"Saya akan katakan, lakukanlah penelian Anda, belajar, gunakan waktu Anda," kata Hamoodi. "Ini bukanlah sesuatu yang harus dilakukan terburu-buru. Ini adalah sebuah jalan hidup, Islam mengajarkan Anda bagaimana untuk hidup, bagaimana untuk makan, apa yang Anda minum dan yang Anda kenakan. Ini bukanlah sesuatu yang dapat Anda ambil atau Anda taruh kembali. Lakukanlah yang terbaik... yakinlah bahwa lebih baik menjadi seorang Muslim yang biasa saja daripada tidak menjadi seorang Muslim sama sekali."

Clarke menambahkan: "Pastikan bahwa Anda dan suami Anda menjaga keseimbangan agama pada tingkatan yang sama. Anda tidak ingin berakhir dengan seorang pria yang memulai di mana Anda berada namun kemudian berubah menjadi ekstrimis, terutama jika Anda tinggal di sebuah negara mayoritas Muslim."


(Sumber: SuaraMedia)